Kedaulatan Rakyat 5 Agustus 2014
*Ahmad Khotim Muzakka
Bagaimana nasib pluralitas pasca-pemilihan presiden 2014? Pertanyaan ini patut dikemukakan mengingat Indonesia dihuni Beragam manusia dari berbagai kultur, kebudayaan, dan agama. Berbicara pluralistas tidak sekedar menonjolkan hitung-hitungan matematis seberapa besar anggaran Negara yang dialokasikan kepada tiap golongan ataupun kelompok. Namun, juga memperhatikan bagaimana pemerintah mengakomodasi berbagai kecenderungan dengan tidak menegasikan eksistensi minoritas.
Kebijakan pemerintah Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang memasukkan Kong Hu Cu ke dalam enam agama besar di Indonesia merupakan bukti sahih keseriusan pemerintahan (terdahulu) dalam mengakomodir eksistensi minoritas. Lewat itu, segala pernak pernik berbau Tionghoa yang semua dilarang bereder bebas di zaman Orde Baru, sekarang bisa diakses dan dipakai kapan dan di mana pun.
Sayangnya pencapaian itu terlihat rapuh justru ketika kita merayakan perhantian presiden tahun ini. Menyambut pemilu 9 Juli lalu, grafik sentimen agama di antara pendukung capres-cawapres cenderung meningkat. Lihat saja bagaimana persoalan ini begitu tamai diperbincangkan di media social, beberapa waktu terakhir ini. Sentimen ini tidak berhenti pada persoala agama apa yang dipeluk oleh capres dan keluarga, tapi juga menukik ke dalam, memunculkan wacana sejauh mana ia mengamalkan sejumlah doktrin agama, semisal salat, kefasihan mengaji Alquran, hingga persoalan haji. Baca selengkapnya Harmoni Setelah Pilpres.
Ahmad Khotim Muzakka
adalah mahasiswa Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), UGM
angkatan 2013.