• Tentang UGM
  • Portal Akademik
  • Pusat TI
  • Perpustakaan
  • Penelitian
Universitas Gadjah Mada
  • About Us
    • About CRCS
    • Vision & Mission
    • People
      • Faculty Members and Lecturers
      • Staff Members
      • Students
      • Alumni
    • Facilities
    • Library
  • Master’s Program
    • Overview
    • Curriculum
    • Courses
    • Schedule
    • Admission
    • Scholarship
    • Accreditation and Certification
    • Academic Collaborations
      • Crossculture Religious Studies Summer School
      • Florida International University
    • Student Satisfaction Survey
    • Academic Documents
  • Article
    • Perspective
    • Book Review
    • Event Report
    • Class Journal
    • Interview
    • Wed Forum Report
    • Thesis Review
    • News
  • Publication
    • Reports
    • Books
    • Newsletter
    • Monthly Update
    • Infographic
  • Research
    • CRCS Researchs
    • Resource Center
  • Community Engagement
    • Film
      • Indonesian Pluralities
      • Our Land is the Sea
    • Wednesday Forum
    • ICIR
    • Amerta Movement
  • Beranda
  • Berita Alumni
  • Hastho Bramantyo: Pemikiran dan Buku Barunya

Hastho Bramantyo: Pemikiran dan Buku Barunya

  • Berita Alumni
  • 17 November 2009, 00.00
  • Oleh:
  • 0

Aktivitas dari seorang Hastho Bramanto, alumni CRCS angkatan 2002, semakin bertambah dengan launching buku yang baru saja ia terjemahkan ke bahasa Indonesia, “Kakawin Sutasoma”. Laki-laki yang kerap disapa “Bram” ini telah berkeliling beberapa tempat di Jawa dan Bali untuk launching tersebut. “Buku ini menjelaskan bagaimana pada jaman Majapahit masyarakat dengan segala perbedaannya dapat hidup bersama dengan local wisdom yang mereka miliki,” jelas Bram.

Sebagai Ketua dari Sekolah Tinggi Agama Buddha Syailendra, Kopeng, Kabupaten Semarang, Bram melihat bahwa dialog dan penghargaan terhadap perbedaan itu sangat dibutuhkan. Hal ini seturut dengan gagasan dalam buku barunya itu. Ia merasakan bahwa pengalaman belajarnya selama di CRCS telah banyak membantu pemikiran dan pekerjaannya sebagai seorang pengajar dan penulis.

Menurut Bram ada dua hal yang menarik dari CRCS. “Pertama itu, secara metodologis CRCS menyediakan psikoanalis, anthropologis, sosiologis, dan lainnya,” ungkap Bram. “Kedua, secara material kita langsung bertemu dengan orang-orang yang berbeda agama dan itu sangat membantu mencairkan stereotype kita sewaktu perjumpaan itu berlangsung,” jelas Bram dengan semangat.

Kedua hal tersebut mempengaruhinya juga dalam mengajar Mahayana, Filsafat Umum dan Agama-agama di Indonesia, di kampusnya. “Materi CRCS banyak yang dipakai, kita cangkokkan pada mata kuliah mahasiswa, jadi pembelajaran yang baru bagi mereka. Mahasiswa menjadi lebih kritis, mereka jadi lebih memahami orang lain di luar Buddhis,” tegas Bram.

Laki-laki yang menulis tesis dengan judul “The Dalai Lama’s Response to Religious Diversity” ini, merasa senang mendapatkan kuliah dari pemikir-pemikir terkenal, seperti Paul F. Knitter. Selain itu, pertemuannya dengan teman-teman seangkatannya yang sebagian besar adalah tokoh-tokoh agama, merupakan kenangan yang tak terlupakan. Acara-acara religius, seperti perayaan hari besar agama, sering mereka lakukan bersama-sama.

Aktifitasnya saat ini juga mensyaratkannya untuk berdialog dengan rekan-rekan LSM dan akademisi lainnya yang berlatar belakang agama berbeda, khususnya di Salatiga. Pengalamannya di CRCS sangat berguna sekali dalam aktifitasnya tersebut. “Saya seakan disiapkan lahir dan batin sewaktu di CRCS dalam berdialog,” ucap Bram.

Ketika ditanyakan kepadanya mengenai kritik atau saran terhadap CRCS, Bram melihat ada dua hal yang perlu dikembangkan lagi. “Pertama, bahwa CRCS sudah kaya dengan encounter. Coba ada dialog tentang permasalahan etik dan masalah kemiskinan struktural. Yang kedua, hal filosofis, maksudnya hal-hal berat, seperti klaim tentang kebenaran yang tunggal, theodicy, perlu adanya pertemuan. Perlu difasilitasi dengan pertemuan tertentu,” jelas Bram. (JMI)

Leave A Comment Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Instagram

Human are the creature who live between the mounta Human are the creature who live between the mountain and the sea. Yet, human are not the only one who live between the mountain and the sea. Human are the one who lives by absorbing what above and beneath the mountain and the sea. Yet, human are the same creature who disrupt and destroy the mountain, the sea, and everything between. Not all human, but always human. By exploring what/who/why/and how the life between the mountain and the sea is changing, we learn to collaborate and work together, human and non-human, for future generation—no matter what you belief, your cultural background.

Come and join @wednesdayforum with Arahmaiani at UGM Graduate School building, 3rd floor. We provide snacks and drinks, don't forget to bring your tumbler. This event is free and open to public.
R A G A Ada beberapa definisi menarik tentang raga R A G A
Ada beberapa definisi menarik tentang raga di KBBI. Raga tidak hanya berarti tubuh seperti yang biasa kita pahami dalam olah raga dan jiwa raga. Raga juga dapat berarti keranjang buah dari rotan, bola sepak takraw, atau dalam bahasa Dayak raga berarti satuan potongan daging yang agak besar. Kesemua  pengertian itu menyiratkan raga sebagai upaya aktif berdaya cipta yang melibatkan alam. Nyatanya memang keberadaan dan keberlangsungan raga itu tak bisa lepas dari alam. Bagi masyarakat Dondong, Gunungkidul, raga mereka mengada dan bergantung pada keberadaan telaga. Sebaliknya, keberlangsungan telaga membutuhkan juga campur tangan raga warga. 

Simak pandangan batin @yohanes_leo27  dalam festival telaga Gunungkidul di web crcs ugm
K O S M O P O L I S Kosmo bermakna semesta, sement K O S M O P O L I S
Kosmo bermakna semesta, sementara polis itu mengacu pada kota yang seupil. Sungguh istilah oksimoron dengan daya khayal maksimal. Namun, nyatanya, yang kosmopolis itu sudah hadir sejak dulu dan Nusantara adalah salah satu persimpangan kosmopolis paling ramai sejagad. Salah satu jejaknya ialah keberadaan Makco di tanah air. Ia bukan sekadar dewa samudra, melainkan kakak perempuan yang mengayomi saudara-saudara jauhnya. Tak heran, ketika sang kakak berpesta, saudara-saudara jauh itu ikut melebur dan berdendang dalam irama kosmopolis. Seperti di Lasem beberapa waktu silam, Yalal Wathon dinyanyikan secara koor oleh masyarakat keturunan tionghoa dan para santri dengan iringan musik barongsai. Klop!

Simak ulasan @seratrefan tentang makco di situs web crcs!
At first glance, religious conversion seems like a At first glance, religious conversion seems like a one-way process: a person converts to a new religion, leaving his old religion. In fact, what changes is not only the person, but also the religion itself. The wider the spread of religion from its place of origin, the more diverse the face of religion becomes. In fact, it often gives birth to variants of local religious expressions or even "new" religions. On the other hand, the Puritan movement emerged that wanted to curb and eradicate this phenomenon. But everywhere there has been a reflux, when people became disaffected with Puritan preachers and tried to return to what they believed their religion was before.

Come and join the #wednesdayforum discussion  at the UGM Graduate School building, 3rd floor. We provide snacks and drinks, don't forget to bring your tumbler. This event is free and open to public.
Follow on Instagram

Twitter

Tweets by crcsugm

Universitas Gadjah Mada

Gedung Sekolah Pascasarjana UGM, 3rd Floor
Jl. Teknika Utara, Pogung, Yogyakarta, 55284
Email address: crcs@ugm.ac.id

 

© CRCS - Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY

[EN] We use cookies to help our viewer get the best experience on our website. -- [ID] Kami menggunakan cookie untuk membantu pengunjung kami mendapatkan pengalaman terbaik di situs web kami.I Agree / Saya Setuju