• Tentang UGM
  • Portal Akademik
  • Pusat TI
  • Perpustakaan
  • Penelitian
Universitas Gadjah Mada
  • About Us
    • About CRCS
    • Vision & Mission
    • People
      • Faculty Members and Lecturers
      • Staff Members
      • Students
      • Alumni
    • Facilities
    • Library
  • Master’s Program
    • Overview
    • Curriculum
    • Courses
    • Schedule
    • Admission
    • Scholarship
    • Accreditation and Certification
    • Academic Collaborations
      • Crossculture Religious Studies Summer School
      • Florida International University
    • Student Satisfaction Survey
    • Academic Documents
  • Article
    • Perspective
    • Book Review
    • Event Report
    • Class Journal
    • Interview
    • Wed Forum Report
    • Thesis Review
    • News
  • Publication
    • Reports
    • Books
    • Newsletter
    • Monthly Update
    • Infographic
  • Research
    • CRCS Researchs
    • Resource Center
  • Community Engagement
    • Film
      • Indonesian Pluralities
      • Our Land is the Sea
    • Wednesday Forum
    • ICIR
    • Amerta Movement
  • Beranda
  • Articles
  • Syiah Sampang : Hidup Sebagai Pengungsi Adalah Mimpi Buruk

Syiah Sampang : Hidup Sebagai Pengungsi Adalah Mimpi Buruk

  • Articles, Headline, News
  • 10 March 2016, 05.53
  • Oleh:
  • 0

Ilma Sovri Yanti Ilyas | CRCS | Artikel
Bangunan kembar yang terdiri dari lima lantai dengan cat berwarna biru dan putih nampak kokoh dilihat dari seberang jalan (pasar induk Puspa Agra). Di dalamnya masing-masing gedung itu memiliki sekitar 76 kamar di blok A dan 76 kamar lagi di blok B dengan total 152 kamar, dan hanya 76 kamar yang dihuni oleh warga pengungsi Syiah yang berjumlah 82 KK. Selebihnya kamar diisi oleh masyarakat yang mengontrak di sana. Sementara masih ada sekitar 7 KK hingga penulis membuat tulisan ini mereka belum mendapatkan kamar, dan terpaksa tinggal menumpang di kamar lain dengan bersempit-sempitan.

Gedung Pengungsi-Sampang di Sidoarjo. Sumber: http://jatim.metrotvnews.com/read/2015/05/27/130346/psks-untuk-warga-syiah-sampang-dihantar-ke-sidoarjo
Gedung Pengungsi-Sampang di Sidoarjo. http://jatim.metrotvnews.com/

Berdasarkan data yang penulis himpun, saat ini sejumlah 332 jiwa menjadi pengungsi akibat konflik yang terjadi (th 2015), terdiri dari 154 anak-anak usia sekolah dan 9 usia batita (0-3 th). Dan saat penulis berada di lokasi, terhitung hanya sekitar 234 jiwa yang menetap di rusun lima lantai tersebut. Lalu di mana yang lainnya.
“Yang lain tinggal bersama keluarganya karena menikah dengan orang luar (non pengungsi),” ujar Nur Cholish, pendamping pengungsi yang menemani penulis. “Ada juga yang bekerja di Malaysia, ada juga yang tinggal bersama orang tuanya karena mengurus orang tua yang sudah tua.”
Kondisi Pengungsi Syiah Sampang
Area rusun, mulai dari gapura Puspa Argo, dijaga 24 jam oleh petugas parkir atau satpam pada malam harinya. Dan khusus untuk warga pengungsi yang berlalu lalang dengan motor mau pun sepeda dibebaskan biaya tiket masuk area. Sementara sekitar 200 meter dari gapura, ada juga pos keamanan yang dijaga oleh petugas keamanan, tetapi nampaknya tidak begitu ketat karena pos sering terlihat kosong penjaganya. Namun pada sore hari menjelang malam pos dijaga oleh petugas keamanan.
Area rusun nampak berhalaman luas dan berjalan beton. Pepohonan tampak beberapa batang saja, selebihnya pemandangan luas bebas pohon. Kondisi penerangan lampu sekitar rusun sangat minim. Jika memasuki gedung, pada bagian bawah bangunan kembar ini terdapat lokasi parkiran untuk motor dan sepeda milik warga pengungsi Sampang dan juga ada warga lain (non pengungsi) yang mengontrak di rusun tersebut. Umumnya warga non-pengungsi tinggal di kamar lantai II Gedung B, selebihnya berada di Gedung A. Interaksi antara warga non pengungsi dengan warga pengungsi nampak biasa-biasa saja, namun terlihat warga pengungsi Sampang yang selalu menjaga sikap agar tidak menganggu aktivitas warga lain yang tinggal di rusun tersebut. Hal ini penulis simpulkan saat melihat kondisi beraktivitas di dalam dan di luar bangunan. Untuk aktivitas pengajian dan belajar anak-anak selalu menggunakan lantai 5 atau di lokasi parkiran motor (bawah).
Suasana gedung tempat para pengungsi. Dokumentasi Pribadi.Untuk kondisi kamar yang dihuni seluruh warga berukuran 6 x 6. Ada satu kamar dengan pembatas dari triplek, sedikit ruang untuk kumpul keluarga, ruang tamu, dapur dan kamar mandi. Ada sedikit ruang kosong yang disediakan tiap kamar untuk menjemur pakaian. Kondisi air di sana menggunakan mesin pompa air. Artinya air yang dikonsumsi adalah air tanah yang, walau jernih, namun agak sedikit bergetah bila dirasakan di badan. Pompa air sejak dua tahun terakhir ini sering mengalami kerusakan. “Sudah 8 kali rusak dan itu pun lama baru diperbaiki,” kata Fitri. “Terbayang kan bagaimana para orang tua yang tinggal di lantai atas harus mengambil air ke bawah dan membawanya lagi ke atas.”
Kondisi pembuangan atau saluran air di kamar mandi cukup rendah sehingga mudah sekali air menjadi penuh dan dapat membenamkan kaki saat menggunakan kamar mandi. Karena itu, setiap rumah terpaksa lubang saluran air dipecah agar penyaluran air lancar, walau hasilnya tidak merubah situasi yang penulis alami. Untuk sarana dan fasilitas tengah gedung yang seharusnya dapat digunakan untuk penghijauan menanam tanaman, dibiarkan kosong melompong sehingga banyak terdapat kotoran kucing mau pun ayam dan membuat aroma kurang sedap. Belum lagi teras rumah di atas milik beberapa warga terdapat kandang burung dan kotoran burung peliharaan.
Tangki air pun tidak berfungsi otomatisnya, sehingga jika air penuh akan tumpah ke bawah bak air hujan lebat jika terlambat mematikan saklar air. Risikonya pun jika saklar lampu terkena percikan air akan terjadi konslet menyebabkan listrik padam seluruh gedung dan menunggu untuk diperbaiki bukanlah hal yang cepat dapat dilakukan.
Terasing di Kampung Sendiri
Selengkapnya di satuharapan.com
Penulis adalah alumnus Sekolah Pengelolaan Keragaman (SPK) CRCS UGM Angkatan ke VI, 2015

Leave A Comment Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Instagram

When faith meets extraction, what or whose priorit When faith meets extraction, what or whose priority comes first: local communities, organizations, or the environment?

Both Nahdlatul Ulama and Muhammadiyah have voiced their acceptance of mining concessions, each with their own set of carefully considered perspectives. But what lies beneath their words?  In this upcoming #wednesdayforum, @chitchatsalad will dive deep using critical discourse analysis to unravel the layers of these powerful statements. We'll explore how these two of the world’s largest Islamic mass organizations justify their positions and what it reveals about their goals, values, and the bigger narratives in play.

This is more than just a conversation about mining. Come and join #wednesdayforum discussion at UGM Graduate School building, 3rd floor. We provide snacks and drinks, don't forget to bring your tumbler. This event is free and open to public.
J O G E D Kapan terakhir kali kamu menyapa teman d J O G E D
Kapan terakhir kali kamu menyapa teman dengan sebuah gestur tubuh, alih-alih meminjam seperangkat huruf dan emoji  dari balik layar? Tubuh kita menyimpan potensi ruang untuk berbicara satu sama lain, menggunakan perangkat bahasa yang sama-sama kita punya, saling menyelaraskan frekuensi melalui gerak. 

Simak artikel dari alexander GB pada seri amerta di web crcs ugm.
L I B A T Berbicara tentang kebebasan beragama ata L I B A T
Berbicara tentang kebebasan beragama atau berkeyakinan itu tidak cukup hanya di kelas; ataupun sebaliknya, bertungkus lumus penuh di lapangan. Keduanya saling melengkapi. Mengalami sendiri membuat pengetahuan kita lebih masuk dan berkembang. Menarik diri dan berefleksi membuat pengetahuan itu mengendap dan matang. Melibatkan diri adalah kunci.

Simak laporan lengkap Fellowship KBB 2025 hanya di situs web crcs ugm.
The Ecumenical Patriarchate has quietly built a mi The Ecumenical Patriarchate has quietly built a mission in Indonesia, nurturing faith while navigating a tough reality. Inside, the community faces its own struggles. Outside, it confronts Indonesia’s rigid rules on “legal religions,” leaving them without full recognition. This research uncovers their journey. This is a story of resilience, challenge, and the ongoing question of what religious freedom really means in Indonesia.

Come and join @wednesdayforum discussion at UGM Graduate School building, 3rd floor. We provide snacks and drinks, don't forget to bring your tumbler. This event is free and open to public.
Follow on Instagram

Twitter

Tweets by crcsugm

Universitas Gadjah Mada

Gedung Sekolah Pascasarjana UGM, 3rd Floor
Jl. Teknika Utara, Pogung, Yogyakarta, 55284
Email address: crcs@ugm.ac.id

 

© CRCS - Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY