ISLAM, LOKALITAS DAN KEINDONESIAAN: Wawancara dengan Buya Syafi’i Maarif
Azis Anwar Fachrudin | CRCS | Interview
Wacana keislaman di Indonesia mutakhir sedang semarak dengan diskusi mengenai hubungan dialektis antara Islam, keindonesiaan, dan kemodernan. Mulai muncul kehendak untuk menghadirkan corak keislaman yang tak kehilangan identitas kebudayaan lokal, sekaligus bersifat kontekstual dan menzaman. Hal ini antara lain tampak dari tema yang diangkat dalam muktamar dua ormas Islam terbesar di Indonesia pada awal Agustus lalu, yakni Muhammadiyah dengan “Islam Berkemajuan” dan Nahdlatul Ulama dengan “Islam Nusantara”. Berkenaan dengan ini CRCS melakukan wawancara dengan Prof. Dr. Ahmad Syafii Maarif. Mantan ketua umum Muhammadiyah 1998-2005 ini menyambut dengan hangat dua mahasiswa CRCS, Azis Anwar Fachrudin dan Abdul Mujib yang datang ke kediaman beliau di Nogotirto, Gamping, Sleman, sore hari, 22 September 2015. Meski baru saja pulang setelah dua hari di Malaysia, dan beliau berada di usia yang tak lagi muda (beliau lahir pada 1935, di Sumpur Kudus, Sumatera Barat), Buya Syafii (demikian beliau akrab dipanggil) masih tampak prima untuk berbicara. Wawancara berikut dilakukan dalam format bincang-bincang santai; dan tema diulas dengan berbasis pada perjalanan hidup Buya Syafi’i sendiri, sebagaimana yang ditulis di buku otobiografi beliau. Berikut cuplikannya.
Agaknya bisa kita mulai dari sejarah Islam di Sumpur Kudus, di tempat lahir Buya, yang konon dibawa oleh seorang bernama Syekh Ibrahim. Bagaimana Islam berjumpa dengan tradisi Minang, terutama di Sumpur Kudus itu?
Soal itu kita ndak punya keterangan lengkap. Agak sulit kita mengurai dan memastikan itu. Tapi jejak sejarahanya ada. Orang-orang kampung di sana misalnya masih mengadakan haul Syekh Ibrahim. Pastinya tahun berapa kedatangan Syekh Ibrahim ini, kita ndak tahu. Diperkirakan dia datang ke Minang mungkin abad 16 atau 17. Dan kesulitan kita adalah sejarah Minang itu lebih banyak berdasar lisan. Yang tertulis susah kita dapatkan.
Sejarah berdasar lisan itu kalau dilihat dari tinjauan ilmu sejarah modern apakah reliable, dapat diandalkan?
Jelas itu bisa kita pertanyakan. Tapi kalau ndak ada sumber lain, ya sejarah lisan itu yang kita pakai. Kalau mau lebih pasti memang harus pakai sumber tertulis.
Dalam tradisi Minang, dulu para lelaki suka kawin cerai. Saya pernah baca, bahkan Buya Hamka mengkritik ayah beliau sendiri karena suka kawin cerai. Bagaimana pandangan Buya tentang hal ini?
Ya, betul sekali [ada kebiasaan begitu]. Dan jelas itu tidak baik. Terutama karena itu tak menghargai martabat perempuan. Umumnya kalau sudah cerai, anak biasanya diserahkan kepada ibunya. Itu para ibu kan jadi payah, jadi susah. Di kampung saya, ini juga terjadi. Walaupun ini bukan dalam gelombang basar, tapi kebiasaan itu ada. Cuma ndak semua. Kadang anak dipelihara oleh pihak lelaki meski sudah cerai.
Tradisi Minang cenderung matriakhi alih-alih patriarkhi, sementara hukum Islam tradisional cenderung patriarkhi. Bagaimana dialektika Islam dengan tradisi Minang ini, terutama dalam soal hukum waris atau relasi suami-istri dalam keluarga?
Itu susah dirobohkan oleh Islam. Mirip dengan tradisi Jawa. Feodalisme kan masih kuat.
Dan respons Islam terhadap hal itu cenderung konfrontatif, atau bagaimana?
Ee, ada tokoh, namanya Syekh Khatib al-Minangkabawi. Dia kritis melihat tradisi Minang yang seperti itu, terutama soal harta warisan. Dia pindah ke Mekkah, jadi imam besar di sana. Tapi kritik dia dibantah oleh ayahnya Hamka. Di Minang itu ada harta tinggi, ada harta bawah. Harta tinggi itu milik suku. Harta bawah itu hasil mata pencaharian, yang jadi gono-gini lah. Yang ini ndak ada masalah. Kalau yang harta suku itu jadi milik perempuan. Inilah mengapa laki-laki Minang suka merantau, selain karena alasan ekonomi. Posisi lelaki memang lemah dalam soal tanah.
Apakah tradisi ini termasuk yang dulu pernah ditentang kaum Paderi?
Ya. Tapi yang lebih keras sebenarnya Syekh Khatib itu. Cuma sekarang keadaan sudah mulai berubah, terutama di kota-kota. Soal harta pusaka itu, terutama tanah, kan tidak bertambah. Sementara jumlah manusianya terus bertambah. Ini bisa jadi sumber sengketa. Karena ndak cukup untuk hidup, maka banyak yang merantau. Banyak sekali yang merantau, hampir sepertiga mungkin. Ada yang merantau sebentar, Cuma beberapa tahun, lalu kembali. Ada yang merantau dan tak kembali, seperti saya, walaupun masih sesekali pulang [ke rumah di kampung halaman].
Saat sekarang ini muncul gerakan formalisasi syariah, dan kemudian ini sampai ke Minang, apakah gerakan ini mampu menembus tradisi matriarkhi itu?
Perda-perda syariah itu menurut saya sesuatu yang tidak dipikirkan dengan matang. Anda tahu, perda-perda syariah itu kan kadang-kadang malah didukung partai-partai sekuler. Jadi lebih bercorak politik. Dan syariah itu sebenarnya kan korpus yang dirumuskan para ulama-fuqaha pada abad-abad yang lalu, berdasarkan pemahaman mereka terhadap sumber Islam, al-Quran dan Sunnah. Karena itu berdasarkan pada pemikiran mereka, ijtihad mereka, itu boleh dipertanyakan kembali. Kecuali hal-hal yang qath’iy, yang pasti. Dan [untuk menentukan mana hal yang bisa dipertanyakan dan hal yang pasti] ini tidak mudah.
Ada semboyan “Adat basandi syara’, syara’ basandi Kitabullah”. Bagaimana pendapat Buya tentang ini?
Itu ada tambahannya. “Syara’ mengata, adat memakai.” Sebagai ide, sebagai gagasan, ya ini bagus saja. Bahwa adat itu seharusnya ndak bertentangan dengan agama. Tapi dalam implementasinya, ndak benar-benar jalan seperti itu. Seperti Pancasila lah. Ndak jalan.
Baik, kita sekarang pindah ke fase setelah Buya ke Jogja. Dulu waktu di Muallimin, sebagaimana ditulis di buku otobiografi Buya, Buya sempat pro-Masyumi, anti-PKI, dan mengagumi M. Natsir. Bagaimana bisa begitu?
Yah, itu kan proses. Orang kan bisa berubah. Saya masih mengagumi M. Natsir dan Masyumi sampai kini. Cuma sekarang dengan kritik. Kalau dulu kan mengagumi tanpa kritik. Di tahun 50-an, yang mungkin waktu itu nenek Anda belum lahir, terjadi pergolakan politik konstitusional, saat konstituante sedang membentuk dasar negara. Ada yang mengusulkan Pancasila, Islam, dan sosial-ekonomi. Pendukung sosial-ekonomi sedikit, lalu gabung ke Pancasila. Tapi upaya konstituante itu kan ndak berhasil. Ndak sampai 2/3. Lalu muncul dekritnya Sukarno yang terkenal itu, dekrit 5 Juli 1959 itu. Pancasila ditetapkan sebagai dasar negara, dan Piagam Jakarta dianggap sebagai yang mengilhami. Yah, begitu-begitu lah. Walaupun begitu, Pancasila kan masih menggantung.
Maksudnya yang penting adalah pelaksanaan Pancasila?
Yah, menurut saya, yang kurang dari bangsa ini adalah soal komitmen yang total dalam pelaksanaan Pancasila. Tentang Islam, pada tingkat individual sebenarnya masih jalan. Ya sembahyang, zakat, puasa, haji, kurban. Tapi dalam kehidupan secara kolektif, masih banyak masalah. Anda lihat negara-negara Arab itu. Irak, Syria, Libya; berantakan semua. Dalam berkehidupan secara kolektif ini, secara lintas negara, Islam banyak masalah. Bukan salah Islamnya, tapi orang Islamnya yang ndak memahami agamanya dengan benar dan dalam konteks yang lebih luas.
Kemudian, kita lanjut ke fase berikutnya, setelah Buya mulai kuliah ke Ohio, lalu ke Chicago, dan pernah bersama dengan Cak Nur….
Ya, kita pernah belajar bersama…
…dan mulai waktu itu, setelah belajar dengan Fazlur Rahman, ada perubahan dalam diri Buya dalam memandang Islam. Bagaimana perubahan ini terjadi?
Di Ohio itu saya relatif masih seorang fundamentalis, dalam arti Islam harus jadi dasar negara, jadi negara Islam. Tapi setelah belajar, saya menyadari ternyata yang dinamakan negara Islam itu ndak punya dasar yang kokoh. Itu hasil pemikiran saja, boleh kita terima, boleh kita tolak. Fazlur Rahman sebenarnya masih bicara soal negara Islam. Sedangkan saya sudah ndak mementingkan istilah itu. Ya, saya bersama teman-teman seperti Nurcholish, Dawam Rahardjo, Kuntowijoyo, dan lain-lain. Kita ndak bicara soal negara Islam lagi, karena itu lebih terpaku dan terpukau dengan simbol, bukan substansi; lebih pada bentuk, bukan isi. Ini yang kita kritik.
Mungkin bisa disimpulkan bahwa selama negara menegakkan keadilan, berarti itu adalah negara Islam?
Ya, keadilan. Penelitian orang Australia itu kan menarik, tentang indeks keislaman negara-negara. Yang paling Islami itu ternyata malah Selandia Baru. Ini kan sangat ironis. Dalam soal keadilan sosial, pemerataan kesejahteraan, orang Selandia Islami, walaupun mereka bukan orang Islam.
Baik, ini pertanyaan akhir, soal keislaman Indonesia mutakhir. Kemarin dua muktamar Muhammadiyah dan NU mengangkat tema “Islam Berkemajuan” (Muhammadiyah) dan “Islam Nusantara” (NU). Ini tampak seperti ada niatan untuk membawa Islam Indonesia ini sebagai pusat, sebagai center, dari keislaman sedunia, bukan lagi di periphery, di pinggiran, mengingat kondisi negara-negara Timur Tengah yang kacau. Tentang ini bagaimana pandangan Buya?
Dari sisi peradaban, menurut saya, Islam masih di titik nadir, di bawah sekali. Dan kita masih mencari jalan keluar untuk itu. Tapi kalau dibandingkan dengan [negara-negara Timur Tengah] yang rusak, ya kita lebih baik. Tapi ini seperti orang pincang dan orang lumpuh. Dibanding lumpuh, pincang lebih baik. Kemudian tentang Islam Nusantara, menurut saya, itu oke-oke saja. Jangan dipertentangkan dengan Islam Berkemajuan. Bisa saling melengkapi. Islam Nusantara itu kan mungkin diambil dari pikiran Gus Dur. Mempribumikan Islam. Ada pengaruh dimensi lokal, yang berbeda dari Islam di tempat-tempat lain. Kita umpamanya lebih toleran, walaupun ada kelompok-kelompok radikal, tapi mereka itu menurut saya hanya sementara, pengaruh dari kelompok-kelompok radikal dari Arab sana.
Terakhir, kondisi kekinian umat Islam di Indonesia kan sibuk dengan hal-hal yang sifatnya furu’iyyah, hal-hal cabangan. Ini terutama terjadi dalam perdebatan di media sosial. Juga soal perselisihan Sunni-Syiah. Tanggapan Buya?
Bagi saya, semestinya kita jangan menghabiskan energi untuk hal-hal yang semacam itu. Boleh ditanggapi, tapi sambil lalu saja. Kita tekankan substansi Islam. Pesan utama Islam itu kan rahmat bagi alam semesta, rahmatan lil-‘alamin itu. Semua penafsiran Islam, semua gerakan Islam, harus merujuk ke situ. Itu parameternya. Kalau ndak merujuk ke situ, penafsirannya tidak benar. Dan rahmat bagi semesta ini memerlukan tegaknya keadilan, tegaknya semangat persaudaraan, sekalipun dengan yang tidak seagama. Lil-‘alamin itu untuk alam semesta, bukan hanya manusia, tapi juga hewan, tumbuh-tumbuhan. Inilah tugas Nabi. Kita meneruskan, dan bertugas merumuskannya secara mendalam. Jadi bagi saya, untuk menilai apakah suatu pemikiran keislaman diterima atau tidak, itu tadi parameternya. Kalau menyimpang dari acuan itu, perlu kita pertanyakan. Termasuk soal Sunni-Syiah itu. Sunni-Syiah itu kan hasil sejarah, mengapa diberhalakan? Saya sudah bicara berkali-kali soal ini. Untuk parameternya, kita konfrontasikan dengan al-Quran. Mengapa sengketa Sunni-Syiah dipertahankan sampai berabad-abad? Ini bagi saya adalah kecelakaan sejarah
“Islam Berkemajuan” dan “Islam Nusantara” dalam sebuah perabadan saling menopang. Keduanya memiliki peran masing-masing. Kalau yang pertama bergerak di level struktur (ruang formal), satunya lagi bergerak di level kultur (ruang non-formal). Dan keduanya sesekali bertemu di ruang informal.