“Secara kultural relasi antar umat beragma di Indonesia masih sangat bagus, masalahnya ada pada aras politik, terutama ketika pemerintah tidak secara jelas menegaskan bahwa violence doesn’t have religion, kekerasan tidak memiliki agama,” demikian komentar Izak Lattu, salah satu alumni CRCS angkatan 2000 saat diwawancarai mengenai aktifitasnya setelah lulus dari CRCS, UGM.
Izak, demikian ia biasa dipanggil, merupakan Dosen Sosiologi Agama danTeologi di Universitas Kristen SatyaWacana (UKSW) dan kandidat doktor di Interdisciplinary Studies of Religion di Graduate Theological Union (GTU). Ia terpilih menjadi Indonesian Research Fellow di Harvard Kennedy School, Harvard University untuk periode 2013 – 2014, dan sekarang sedang menyelesaikan disertasinya mengenai Orality, Civic Engagement, and Interfaith Relationships dengan pendekatan Social Scientific Studies of Religion and Collective memory in Folklore Studies. Berikut petikan wawancaranya oleh mahasiswa CRCS, Franciscus Simamora (19/10/2013).
Bisa anda ceritakan tentang latar belakang pendidikan anda?
Saya lulus S1 dari Fakultas Teologi UKSW jurusan sosiologi agama tahun 1999. Pada tahun 2000 saya mulai belajar di CRCS sebagai angkatan pertama dan menjadi lulusan pertama dari CRCS di tahun 2002. Setelah lulus dari CRCS saya belajar di Institute of Advanced Studies in Asian Cultures and Theologies at Chung Chi College, the Chinese University of Hong Kong pada 2005. Tahun 2010 saya mendapat beasiswa Fulbright Presidential untuk melanjutkan program PhD di Graduate Theological Union, sekolah yang berafiliasi dengan the University of California, Berkeley. Setelah lulus ujian qualifying exam dan mendapat PhD candidate, saya mendapat beasiswa satu tahun untuk program Pre-Doctoral dari Harvard Kennedy School, untuk menulis disertasi saya di Harvard University.
Apa yang membuat anda tertarik untuk studi di bidang itu?
Sebenarnya ketertarikan pada bidang ini melanjutkan apa yang sudah dilakukan di S1 dan S2. Pada skripsi S1 saya membandingkan konsep civic participation, semacam partisipasi warga negara dan kesamaan hak, dalam masyarakat madani dan masyarakat Pancasila. Lalu, thesis S2 saya berbicara tentang bagaimana kontribusi teologi Kristen klasik dan Islam klasik terhadap hubungan agama dan negara. Kemudian, saya berpikir untuk meneruskan studi tentang civic engagement (hubungan warga negara), agama, dan negara yang sudah saya lakukan pada program S1 dan S2.
Selain itu, pengalaman mengajar mata kuliah seperti teologi agama-agama, sosiologi agama, agama, perdamaian dan rekonsiliasi memberikan motivasi lebih untuk menulis tema ini. Pada aras praksis, di Salatiga saya dan teman-teman mendirikan Forum Antar Iman Salatiga untuk Solidaritas Sosial (FAISSAL). Memang sejak awal saya mau ambil studi interreligious relationship di bawah religious studies, bukan di bawah teologi. Beruntung, karena Graduate Theological Union itu sekolahnya berafiliasi dengan UC Berkeley, sehingga pendekatan-pendekatan interdisipliner sangat mendukung studi saya ini. Kuliah-kuliah folklore studies, political science, oral tradition dan banyak lagi membuka ruang bagi saya untuk melihat civic engagement dari perspektif sosiologi agama dan collective memory di folklore studies.
Pembimbing saya dari UC Berkeley, Professor Sylvia Tiwon, kemudian mendorong saya untuk melihat apa yang ada di Indonesia. Para pembimbing yang lain, Professor Judith Berling, Professor Clare Fischer dan Professor Mariane Farina,menginspirasi saya untuk menulis disertasi tentang apa yang berhubungan dengan konteks kehidupan di Indonesia. Saya lalu memilih Maluku sebagai fokus penelitian saya. Akhirnya, saya tulis tentang Maluku dan saya lihat tradisi lisan dan interreligious relationship di sana. Jadi, bagaimana tradisi-tradisi lisan ini dipakai untuk membangun relasi antar agama. Ternyata wilayah itu masih sangat langka dalam studi relasi antar agama pada akademia di Amerika. Orang selama ini jika berbicara tentang dialog pasti berbicara tentang kitab-kitab suci atau kitab-kitab klasik. Sangat sedikit yang pernah berbicara tentang tradisi lisan. Padahal, sebenarnya dalam masyarakat lisan (strong oral community) relasi dibangun dalam konteks lisan bukan tulisan. Collective memory mereka ada di lagu, ritual dan symbol serta oral narratives. Bukan di tulisan. Tulisan itu sesuatu yang asing bagi mereka sebenarnya. Karena tulisan latin baru dikenal pada zaman kolonial. Sesuatu yang sebenarnya cukup baru. Saya hanya ingin mengapresi apa yang dilakukan oleh masyarakat dan membangun teori dari apa yang masyarakat telah lakukan dalam kehidupan Jadi, saya mencoba membangun teori dari “sarang semut.”Teori tidak hanya melulu datang dari “bintang-bintang di langit.”
Setelah lulus S1 dari UKSW kenapa waktu itu memutuskan untuk menempuh studi S2 di CRCS?
Waktu itu saya sempat menjadi wartawan di Solo sambil mengikuti prakuliah Program Magister Sosiologi Agama di UKSW, Salatiga. Waktu itu belum ada CRCS. Kemudian setelah mengikuti kuliah dua bulan di UKSW, Profesor John Titaley, salah satu pendiri CRCS, meminta saya untuk mengikuti seleksi masuk CRCS. Saya merasa beruntung sekali terseleksi bersama 23 mahasiswa angkatan pertama. Bagi saya, waktu itu, diajar oleh Mahmoud Ayoub, Ibrahim Abu Rabi, Paul Knitter, John Raines dan pengajar dalam negeri seperti Syafii Maarif, Asyumardi Azra, Amin Abdullah, John Titaley, Gerrit Singgih, Budi Subhanar dan lain-lain adalah hal yang sangat mewah sekali. Buat kita itu sudah luar biasa.
Bagaimana Bang Izak sendiri melihat relasi antaragama di Indonesia?
Menurut saya pada aras kultural tidak bermasalah karena sebenarnya relasi-relasi kultural kita sangat bagus. Tetapi, masalahnya ada pada aras politik. Terutama ketika pemerintah tidak bisa secara tegas mengatakan bahwa violence doesn’t have religion. Itu tulisanku di Jakarta Post tahun 2011. Jadi,ketika pelanggaran-pelanggaran terhadap agama, apapun agamanya, tidak dihukum terlepas dari segala macam persoalan politik, ya Indonesia masih punya harapan.
Di Ambon dalam penelitian-penelitan, ada banyak orang yang bilang bahwa relasi-relasi kultural itu rusak, itu karena mereka melihatnya sebagai institusi, bukan sebagai narasi. Kalau mereka melihat itu sebagai narasi mereka akan tahu bahwa ada banyak pemuda Islam yang dieksekusi oleh Laskar Jihad karena menolak menyerang saudaranya di komunitas Kristen. Dan ada banyak pemuda Kristen yang ditodong pistol di kepala karena menolak menyerang saudaranya di komunitas Islam.
Di Jawa misalnya, di rumah mertua saya di Solo, ada eyang yang Muslim, ada om dan tante yang Muslim. Yang Kejawen, Muslim, Kristen tinggal dalam satu rumah tanpa ada masalah. Lalu, pada aras politik kita bermasalah. Menurut saya politik tidak merepresentasikan apa yang terjadi secara kultural di masyarakat. Karena politik selalu punya kepentingan. Bahkan, tidak ada kawan yang sejati dalam politik, kecuali kepentingan sejati. Jadi, kita harus mendorong supaya masyarakat sipil di luar negara terus berelasi. Karena itu, ini tanggung jawabnya gereja, pesantren, komunitas-komunitas Islam, Hindu, Buddha, dll. untuk mendorong proses-proses ini terjadi. Kalau negara masih seperti itu jangan berharap pada negara. Sebaiknya kita berelasi sendiri dan memperkuat inisiatif masyarakat sipil untuk membangun relasi antaragama.
Apakah ada kesan khusus selama studi di CRCS?
Bukan cuma soal menginternalisasi atau memahami relasi antaragama dalam konsep, tetapi juga dalam tindakan. Dengan teman-teman, kita begitu cair. Sampai-sampai kita bisa bercanda soal agama yang bagi orang lain sangat tidak sulit dilakukan. Joke soal agama itu biasa saja. Jadi, kita kemudian seperti melewati batas-batas dogmatik, atau batas-batas ketersinggungan kalau orang umum berbicara soal agama. Lalu, relasi-relasi pribadi itu sangat cair. Teman-teman main ke kos, mereka shalat disana. Kadang-kadang sewaktu puasa mereka ajak jalan temani saya makan siang, padahal mereka sedang puasa. Relasi-relasi seperti itu yang sangat membekas.
Jika ada yang mengatakan, mereka yang sudah berani menertawakan agama sendiri berarti sudah lebih cair dalam beragama, bagaimana menurut anda?
Menurut saya itu terjadi kalau kita tidak lagi melihat agama sebagai persoalan instituti, tetapi agama menjadi persoalan pribadi atau persoalan spiritualitas. Orang yang tersinggung karena agama karena bagi mereka agama adalah persoalan institusi yang harus dibela. Tidak akan menjadi masalah jika agama ditempatkan kepada persoalan-persoalan spiritualitas, relasional dengan Tuhan, relasi pribadi dengan Tuhan yah tidak masalah. Bagi saya dan teman-teman di CRCS persabahatan antaragama kita telah membuat kita melampaui batas agama sebagai institusi itu.
Apakah itu artinya secara tidak langsung CRCS berpengaruh terhadap cara pandang Bang Izak?
Kalau soal cara pandang, sejak kecil orang tua saya sudah memperkenalkan saya pada relasi pela dan gandong. Jadi, kita pernah tinggal di rumah om gandong yang Muslim. Sejak kecil saya sudah diajarkan oleh orang tua saya meskipun kita berbeda agama, mereka itu pela, mereka itu gandong. Hal ini sebenarnya sudah membentuk konstruksi berpikir pluralis. Kemudian, sewaktu kuliah di Satya Wacana juga mengambil jurusan sosiologi, bertemu dengan teologi agama-agama yang membuka perspektif. Saya juga aktif sebagai ketua badan perwakilan mahasiswa universitas, seperti senat universitas di Satya Wacana pada tahun 1998-1999. Pada zaman-zamannya krisis dengan teman-teman dari berbagai latar belakang agama. UKSW memiliki 30%-nya mahasiswa Muslim dan Salatiga itu sendiri sebenarnya kota yang sangat dewasa dengan pluralitas. Ini turut membangun perspektif pluralitas saya. Ketika sampai di CRCS, trajectory-nya itu diperkuat. Kuliah di CRCS itu menarik, kita mendapat orang-orang terbaik dalam bidang studi agama (religious studies) pada aras nasional dan internasional.
Sekembalinya ke Indonesia, adakah harapan yang ingin ditenun untuk Indonesia dengan ilmu dan pengalaman yang sudah didapatkan di Amerika?
Yang jelas, meskipun sudah mulai ada tawaran mengajar di Amerika dan Australia, tetapi pasti saya akan kembali ke Indonesia. Saya ingin kembali ke Indonesia untuk melakukan penelitian, pengajaran, dan publikasi. Saya ingin di Indonesia ada semacam American Academy of Religion dalam rangka pengembangan diskursus studi agama-agama di Indonesia. Jadi, ada konferensi besar tahunan yang berbicara soal agama pada aras akademik.
Ok, terima kasih atas waktunya, Bang Izak.