• Tentang UGM
  • Portal Akademik
  • Pusat TI
  • Perpustakaan
  • Penelitian
Universitas Gadjah Mada
  • About Us
    • About CRCS
    • Vision & Mission
    • People
      • Faculty Members and Lecturers
      • Staff Members
      • Students
      • Alumni
    • Facilities
    • Library
  • Master’s Program
    • Overview
    • Curriculum
    • Courses
    • Schedule
    • Admission
    • Scholarship
    • Accreditation and Certification
    • Academic Collaborations
      • Crossculture Religious Studies Summer School
      • Florida International University
    • Student Satisfaction Survey
    • Academic Documents
  • Article
    • Perspective
    • Book Review
    • Event Report
    • Class Journal
    • Interview
    • Wed Forum Report
    • Thesis Review
    • News
  • Publication
    • Reports
    • Books
    • Newsletter
    • Monthly Update
    • Infographic
  • Research
    • CRCS Researchs
    • Resource Center
  • Community Engagement
    • Film
      • Indonesian Pluralities
      • Our Land is the Sea
    • Wednesday Forum
    • ICIR
    • Amerta Movement
  • Beranda
  • Book Review
  • Mutiara Terpendam Papua: Potensi Kearifan Lokal untuk Perdamaian

Mutiara Terpendam Papua: Potensi Kearifan Lokal untuk Perdamaian

  • Book Review, Headline, News, Pluralism News, Pluralism Researches
  • 24 July 2015, 10.30
  • Oleh:
  • 1

Ahmad Khotim Muzakka*

IMG_20151216_113719Penulis Buku: Budi Asyhari-Afwan
Penerbit : CRCS-UGM
Tahun terbit : Januari 2015
Halaman : 86
Harga : Rp. 25.000

Download Mutiara Terpendam Papua

Buku bertajuk Mutiara Terpendam Papua, Potensi Kearifan Lokal untuk Perdamaian di Tanah Papua karya Budi Asyhari-Afwan ini mengajak pembaca untuk melihat persoalan mendasar yang dihadapi masyarakat Papua. Staf peneliti di Divisi Riset dan Data Center CRCS UGM ini, dalam kata pengantarnya, memfokuskan kajiannya kali ini pada kekayaan budaya suku-suku bangsa di Papua. Satu hal yang, menurut penulis buku ini, jarang ditempuh oleh peneliti dalam konteks Papua karena, selama ini, Papua hanya dilihat dari kacamata politik, konflik, dan sumber daya alamanya semata.

Atas dasar pertimbangan fokus ini pula, penulisan buku ini dijalankan. Meskipun tidak mendapatkan porsi yang banyak, perbincangan tentang politik, konflik, dan sumber daya alam tetap disebut oleh Budi dalam menganalisa persoalan. Hal ini tak lepas dari saling berkelindannya elemen-elemen tersebut dalam ruang publik Papua. Dalam artian, satu bagian dengan bagian yang lain tidak dapat dipisahkan secara total. Meskipun Budi secara tegas mendaku bahwa fokus yang dikaji dalam buku ialah persoalan potensi kekayaan budaya yang dimiliki oleh warga Papua untuk membina keberagaman di sana.

Sebagai salah satu provinsi kaya di Indonesia, Papua menjadi medan magnet bagi para imigran dari berbagai lapisan masyakarat dari seluruh penjuru Indonesia. Imigrasi ini, pada akhirnya, menentukan arah perubahan tata kelola sosial dan ekonomi. Dalam lintasan sejarah, terdapat beberapa fase migrasi yang terjadi di Papua. Pertama, pada awal abad XVI, tercatat ketika para sultan di Ternate dan Tidore memperebutkan pengaruhnya masing-masing atas Raja Ampat. Kedua, migrasi yang dilakukan pada masa pemerintahan Hindia Belanda. Ketiga, adalah ketika pemerintah Republik Indonesia mengirim banyak pegawai pemerintahan dari wilayah Indonesia Timur, Tengah, dan Barat pada 1969, di bawah pemerintahan Orde Baru, hal 14-16.

Gelombang migrasi yang terus menerus terjadi di Papua dari tahun ke tahun itu pula yang membuat peta demografi masyarakat Papua menjadi sangat beragam. Perbandingan skala jumlah antara masyarakat Papua asli dan pendatang menjadi bagian tak terpisahkan dalam diskursus ini. Di tahun 2010, sebanyak 891.942 orang tercatat sebagai pendatang, sedangkan total masyarakat Papua (Provinsi Papua dan Papua Barat) berjumlah 3.593.823 penduduk. Jumlah tersebut mengalami pasang surut dari tahun ke tahun. Pada 1971, dari total 923.440, terdapat 37.251 pendatang. Di tahun 2000, angka pendatang membengkak menjadi 420.327 dari jumlah total 2.233.530 orang.

Jumlah para imigran yang datang ke Papua, lama kelamaan membuat masyarakat Papua terdesak dalam berbagai lini kehidupan. Dalam pendidikan, misalnya, mereka beberapa langkah tertinggal dari para imigran. Para imigran, yang tinggal di daerah perkotaan, mengecap pendidikan yang lebih tinggi dibandingkan dengan masyarakat Papua yang hidup di desa dan kampung. Ketimpangan infrastruktur membuat jurang pemisah dalam segi pendidikan semakin melebar antara pendatang dan masyarakat asli. Hal ini, pada akhirnya, berimbas pada kehidupan sosial, ekonomi, dan politik masyarakat Papua. Arus deras modernisasi yang dibawa oleh para imigran menambah beban berat yang harus dihadapi.

Meski tidak berjejaring secara langsung dengan hal-ihwal ekononomi, narasi keagamaan di Papua tidak bisa dipisahkan dari hal ini. Terlebih kaitannya dengan para pendatang, yang sebagian besar adalah Muslim. Sementara para penduduk Papua beragama Kristen. Disebutkan bahwa, masuknya Islam di wilayah perkotaan mempengaruhi banyak faktor di Papua, di antaranya ekonomi-bisnis. Penguasaan Muslim di Papua yang terpusat di perkotaan memungkinkan Muslim menguasai jalur perekonomian, mengingat sebagian besar umat Kristen menentap di desa-desa dan gunung-gunung. Tak ayal, warga Papua yang Kristen merasa terintimidasi situasi tersebut sehingga memunculkan sentiment agama. Meskipun persoalan utamanya adalah penguasaan ekonomi dan bisnis. hal 47-49. Sehingga, sangat mungkin muncul konflik antar suku-suku dan bangsa yang beragam di sana.

Namun, sebenarnya, masyarakat Papua memiliki kaidah tersendiri dalam menyelesaikan konflik yang terjadi di antara sesama. Meski masih sering terjadi konflik antar suku, akan tetapi mereka juga memiliki mekanisme kultural yang mampu merekatkan kembali hubungan yang renggang. Terdapat beberapa mekanisme kultural yang digunakan sebagai alat untuk mendamaikan konflik dan sekaligus mengelola perbedaan. Di antaranya adalah para-para adat, tikar adat, dan bakar batu.

Para-para adat merupakan bangunan yang didesain khusus untuk memecahkan permasalahan antarsuku bangsa. Secara simbolis, tempat ini disakralkan untuk bisa berkumpul dan mencoba menyelesaikan permasalahan secara bersama. Tidak jauh berbeda dengan para-para adat, tikar adat dipergunakan untuk menjembatani sengketa yang terjadi. Pada dasarnya, tikar adat memiliki kesamaan dengan rapat warga seperti biasanya di daerah lain. Yang membedakan adalah jika rapat warga tidak mengharuskan semua warga untuk hadir, maka dalam tradisi tikar adat semua anggota harus hadir. Sementara itu, ritual upacara batu juga berfungsi mendamaikan sengketa, sebagaimana kedua mekanisme di atas. Ciri khas upacara batu karena upacara ini digelar selama lima hari. Pada waktu yang telah ditentukan, para anggota yang bersengketa dikumpulkan dan membuat perapian yang berbahan batu-batuan dan ranting-ranting kering. Upacara bakar batu dimaksudkan untuk melupakan tragedi dan peperangan yang telah terjadi, hal 63-64.

Beberapa kearifan lokal tersebut menjadi modal sosial berharga bagi warga Papua untuk menyelesaikan persoalan yang mereka hadapi. Meskipun, tata Negara memiliki instrument tersendiri dan terlembagakan, namun masyarakat Papua juga telah sejak lama mempraktikkan mekanisme untuk memecahkan masalah. Berbekal mekanisme kultural tersebut, sebenarnya warga Papua telah mempunyai aturan yang bisa dijadikan panduan dalam bermasyarakat.

Hardcopy buku ini bisa diperoleh di kantor CRCS UGM
Jl. Teknika Utara, Pogung, Yogyakarta, Indonesia 55281
Telephone/Fax : + 62-274-544976
*Ahmad Khotim Muzakka adalah mahasiswa aktif  CRCS angkatan 2013. 

Leave A Comment Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Instagram

Since the end of 19th century, the Catholic Church Since the end of 19th century, the Catholic Church has conducted missionary activities among the Javanese in Muntilan, Indonesia, establishing it as the first Catholic mission site in Java. The missionary work not only impacted the Javanese but also the Chinese descendants in Muntilan. The conversion of the Chinese to Catholicism in sparked debates among the Chinese community, who perceived it as a contributing factor to the abandonment of Chinese characteristics. This contest leads to the dynamic and diverse identities of Chinese Catholics within the community, as Chinese characteristics and Catholic faith mutually influence each other.

Come and join the #wednesdayforum discussion with @astridsyifa at the UGM Graduate School building, 3rd floor. We provide snacks and drinks, don't forget to brong your tumbler. This event is free and open to public
Selamat kepada peserta terpilih!!! Ada namamu di s Selamat kepada peserta terpilih!!!
Ada namamu di situ?

😎

peserta terpilih akan dihubungi oleh panitia
yoohoooo... are you waiting for this announcement? yoohoooo...
are you waiting for this announcement?

#studentexchange #religiousstudies #kaburajadulu
Setiap bahasa punya pendekatan dan penyebutan berb Setiap bahasa punya pendekatan dan penyebutan berbeda untuk menamai "pendidikan". Bahasa Arab membedakan antara tarbiyah, ta'lim, tadris, dan ta'dib ketika berbicara tentang "pendidikan". Sementara itu, bahasa Inggris memaknai "pendidikan" sebagai educare (latin) yang berarti 'membawa ke depan'. Jawa memaknai pendidikan sebagai panggulawênthah, 'sebuah upaya mengolah', dan upaya untuk mencari pendidikan itu disebut sebagai "ngelmu", bukan sekadar mencari melainkan juga mengalami. Apa pun pemaknaannya, hampir semua peradaban sepakat bahwa pendidikan adalah kunci untuk memanusiakan manusia.
Load More Follow on Instagram

Twitter

Tweets by crcsugm

Universitas Gadjah Mada

Gedung Sekolah Pascasarjana UGM, 3rd Floor
Jl. Teknika Utara, Pogung, Yogyakarta, 55284
Email address: crcs@ugm.ac.id

 

© CRCS - Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY

[EN] We use cookies to help our viewer get the best experience on our website. -- [ID] Kami menggunakan cookie untuk membantu pengunjung kami mendapatkan pengalaman terbaik di situs web kami.I Agree / Saya Setuju