Kerusakan Alam, Akses Keadilan, dan Perempuan Adat
Ahmad Ridha Mubarak – 1o February 2022
Salah satu kunci penting dalam mencegah kerusakan alam dan mewujudkan keadilan sosial justru bertumpu pada sosok yang paling kerap disisihkan: perempuan adat.
Rekognisi terhadap penghayat kepercayaan melalui Putusan MK No.97/PUU-XIV/2016 ternyata menyisakan pekerjaan rumah yang besar. Masih banyak masyarakat penghayat dan rentan lainnya yang kesulitan mengakses keadilan. Di sisi lain, mereka juga harus menghadapi berbagai masalah sosial dan lingkungan: dari konflik agraria, pemanasan global, ketimpangan gender, hingga ancaman hilangnya sebuah generasi di Indonesia. Dinamika yang dialami masyarakat adat dan penghayat setidaknya menunjukkan dua hal. Pertama, Kebebasan Beragama dan/atau Berkeyakinan (KBB) berkait erat dengan masalah sosial dan lingkungan. Kedua, masalah yang dihadapi kelompok rentan juga berdampak pada masyarakat yang lebih luas. Inilah yang menjadi topik utama dalam Plenary Session The 3rd International Conference on Indigenous Religion bertajuk “Literacy of Interrelated Issues for Coalition: Justice for All Living Beings” pada 9 Desember 2021 silam. Sesi ini menghadirkan Dr. Samsul Maarif (CRCS UGM), Dr. Mia Siscawati (Univesitas Indonesia), Dr. Phil. Dewi Candraningrum (Universitas Muhammadyah, Surakarta), dan Prof. Rebecca Elmhirst (University of Brighton, United Kingdom) sebagai panelis.
Menilik Akar Masalah
Isu lingkungan seringkali ditempatkan pada kotak terpisah dengan permasalahan KBB di Indonesia. Akibatnya, sebagian besar solusi yang ditawarkan cenderung parsial dan justru meminggirkan masyarakat adat yang menjadi salah satu garda utama kelestarian alam di Indonesia. Maarif menggarisbawahi, salah satu akar masalahnya adalah pemaknaan agama yang eksklusif sebagaimana paradigma Agama-Agama Dunia. Pemahaman agama yang sempit ini menempatkan ruang lingkup agama sebatas relasi transendental dan hierarkis. Alam diletakkan sebagai subordinat dari manusia atau sekadar untuk memenuhi kebutuhan manusia. Akibatnya, alam rentan untuk dieksploitasi yang pada ujungnya membawa petaka bagi manusia itu sendiri.
Di sisi lain, paradigma Agama Dunia cenderung menyederhanakan praktik keagamaan dan memasang batas-batas definisi agama yang kaku dan bias. Akibatnya, semua praktik keagamaan yang tidak sesuai dengan kriteria dianggap bukan “agama”. Di Indonesia, kecenderungan ini terlihat dengan pemisahan tegas antara agama dan kepercayaan, antara praktik agama dan praktik budaya. Contoh paling gamblang adalah kemunculan istilah-istilah seperti kepercayaan, adat, tradisi, kearifan lokal, dan semacamnya untuk menyebut praktik-praktik yang dianggap “kurang agamis” di masyarakat. Padahal dari segi definisi dan praktik, istilah-istilah tersebut mengacu pada hal yang sama, praktik keagamaan di masyarakat.
Menurut dosen kajian agama leluhur di CRCS UGM yang akrab dipanggil Anchu ini, pembedaan tersebut merupakan proyek kolonialisme yang perlu dibongkar. Anchu menawarkan paradigma agama leluhur yang berpijak dari relasi antara masyarakat adat dan alamnya. Hutan, misalnya, adalah sesuatu yang sakral dan menjadi bagian tak terpisahkan dari praktik keagamaan masyarakat adat. Dalam paradigma ini, manusia melihat alam sebagai subjek (non-human person) dan bukan objek untuk dieksploitasi. Hubungan yang terjalin antara manusia dan alam adalah relasi interpersonal yang mana keduanya bersifat saling membutuhkan (reciprocal). “Dengan merekognisi masyarakat adat dan praktik keagamaannya, kita sekaligus merekognisi keberadaan hak-hak alam,“ jelas Anchu.
Posisi dan peran masyarakat adat dalam pelestarian lingkungan semakin nyata mengingat sebagian besar dari mereka tinggal di wilayah adat yang berupa hutan-hujan tropis. Bagi masyarakat adat, wilayah adat ini bukan sekadar tempat tinggal dan sumber penghidupan, tetapi juga ruang sakral yang perlu dijaga. Dengan demikian, pengakuan negara terkait KBB bagi masyarakat adat dan penghayat berkorelasi langsung dengan keberlangsungan lingkungan. “Wilayah adat juga merupakan arena rangkaian relasi sosial dan relasi kuasa berbasis gender, kelas, usia, status perkawinan, etnisitas, agama, dan lain-lain” tutur Dr. Mia Siscawati. Karenanya, kehilangan hutan tidak hanya berarti kehilangan vegetasi atau tanamannya saja, tetapi juga sebuah sistem pengetahuan. Padahal, dengan sistem pengetahuan itulah masyarakat adat melangsungkan kehidupannya. Menurut Siscawati, perampasan wilayah adat juga berarti eksklusi terhadap masyarakat adat. Eksklusi ini terjadi melalui berbagai cara: dari regulasi terkait tata kuasa dan legitimasi lahan, permainan harga tanah, bahkan pemaksaan dengan kekerasan oleh negara maupun perusahaan.
Peran dan Tantangan Perempuan Adat
Di tengah berbagai eksklusi tersebut, Siscawati menengarai bahwa perempuan adat kerap menjadi entitas yang tersisihkan, tidak hanya dalam perbincangan tetapi juga dalam praktik keseharian dan pengambilan keputusan. Sebagian besar pemangku adat didominasi oleh laki-laki dan, dalam banyak tradisi, suara perempuan tidak mendapatkan tempat yang layak. “Kita harus mengakui, tidak semua tradisi adat itu selaras dan melindungi hak asasi manusia, terutama hak perempuan adat,“ tegas Dewi Candraningrum. Ia mencontohkan bagaimana beberapa hukum adat justru melegitimasi kekerasan berbasis gender, seperti sunat perempuan, kawin tangkap, dan pembunuhan atas nama “kehormatan”. Dalam kondisi semacam ini, para perempuan adat seringkali harus berjuang sendirian dalam mempertahankan ruang hidupnya.
Padahal, perempuan adat memegang peranan penting dalam siklus kehidupan maupun sistem pengetahuan masyarakat adat. Mereka mewarisi berbagai pengetahuan terkait penenunan, pertanian, pengobatan, persalinan, dan perawatan pascakelahiran yang penting bagi keberlangsungan sebuah generasi. “Perempuan adat adalah jembatan spiritual antargenerasi yang mewariskan ilmu mereka kepada anak-anaknya,” tutur Candraningrum. Karenanya isu soal akses keadilan bagi perempuan adat juga menyangkut akses keadilan antargenerasi. “Anak-anak dari masyarakat adat merupakan subyek yang berperan penting dalam penjagaan hutan adat ini,“ tukas Siscawati.
Dalam banyak kasus, perempuan adat dengan bekal pengetahuan adatnya menjadi garda depan dalam perjuangan konservasi lingkungan. Candraningrum mencontohkan bagaimana Mama Aleta dengan aktivitas tenunnya menjadi simbol sekaligus strategi masyarakat adat dalam melawan penambangan marmer di Nusa Tenggara Timur; atau peran perempuan adat Samin yang dikenal dengan Kartini Kendeng dalam perjuangan masyarakat melawan penambangan kapur untuk pabrik semen di Pegunungan Kendeng. Contoh lainnya adalah Vandana Shiva dengan pengetahuannya tentang konservasi benih lokal sebagai upaya melawan konglomerasi agrokimia. Berbagai contoh tersebut menunjukkan bahwa pengetahuan yang dimiliki perempuan adat secara praktis dan strategis memainkan peran penting dalam keberlangsungan masyarakat adat. Candraningrum menggarisbawahi upaya perempuan adat tersebut sebagai bentuk spiritualitas baru. “Sistem pengetahuan adat dan tradisi spiritual adalah dua hal yang berkaitan dan tidak dapat dipisahkan. Keduanya menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari perempuan adat.”
Belajar dan Berkolaborasi Bersama
Berbagai dinamika tersebut menunjukkan bahwa tidak ada satu pun isu terkait sosial, lingkungan, dan keagamaan yang berdiri sendiri—dan perempuan adat memainkan peran penting di sana. Berkaca dari hal tersebut, Prof. Rebecca Elmhirst menawarkan pendekatan Feminist Political Ecology (FPE) yang pluralistik sebagai upaya untuk mendekolonisasi cara berpikir ekstrativisme—cara pikir yang memisahkan antara manusia dan nonmanusia atau alam. Pendekatan FPE bersifat diskursif dan menempatkan masing-masing pihak sebagai komunitas pembelajar yang saling berbagi analisis maupun orientasi etis. Dalam konteks semacam ini, FPE membuka diri terhadap berbagai narasi dan beragam cara.
Menurut Elmhirst, setidaknya ada tiga hal yang menjadi titik fokus dalam FPE. Pertama, penekanan pada kehidupan keseharian masyarakat. Praktik keseharian menjadi hal yang paling terdampak dari berbagai kebijakan terkait ekologi. Yang kedua adalah kolonialitas gender sebagai kategori bagaimana kekuasaan dan kapital menyediakan wadah dan sarana untuk pencerabutan pengetahuan. Ketiga, konsep interseksionalitas. Tidak ada satu pun isu gender yang berdiri sendiri. Kesemuanya berkait kelindan dan juga tercermin pada isu-isu ras, etnis, agama, usia, dan segala macam bidang kekuasaan lainnya.
Semangat yang sama juga menjiwai tawaran Anchu untuk memperluas ruang lingkup KBB yang inklusif. Ketika kita bicara agama, kita tidak lagi berkutat pada pengertian yang sempit, tetapi beranjak pada praktik agama sehari-hari dan ekspresi keagamaan yang bersifat interpersonal. Alam dan manusia, keduanya berbeda. Akan tetapi, keduanya saling membutuhkan untuk mempertahankan eksistensinya. Pemisahan antara manusia dan alam adalah sebuah tindakan kekerasan, yang sudah selayaknya dilihat sebagai sebuah tindak kejahatan, sebuah ecocide atau genosida ekologis. Pun dengan pemisahan dan diskriminasi lainnya yang berbasi ras, agama, ataupun gender. Karenanya, “KBB dapat menjadi alat atau alternatif untuk berkolaborasi dan bekerja bersama. Tidak hanya soal masyarakat adat dan penghayat, tetapi juga untuk isu-isu lainnya“ tutup Anchu.
____________________
Ahmad Ridha Mubarak adalah mahasiswa Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana UGM, angkatan 2020. Baca tulisan Ridho lainnya di sini.
Rekaman Plenary Session pada 3rd ICIR