• Tentang UGM
  • Portal Akademik
  • Pusat TI
  • Perpustakaan
  • Penelitian
Universitas Gadjah Mada
  • About Us
    • About CRCS
    • Vision & Mission
    • People
      • Faculty Members and Lecturers
      • Staff Members
      • Students
      • Alumni
    • Facilities
    • Library
  • Master’s Program
    • Overview
    • Curriculum
    • Courses
    • Schedule
    • Admission
    • Scholarship
    • Accreditation and Certification
    • Academic Collaborations
      • Crossculture Religious Studies Summer School
      • Florida International University
    • Student Satisfaction Survey
    • Academic Documents
  • Article
    • Perspective
    • Book Review
    • Event Report
    • Class Journal
    • Interview
    • Wed Forum Report
    • Thesis Review
    • News
  • Publication
    • Reports
    • Books
    • Newsletter
    • Monthly Update
    • Infographic
  • Research
    • CRCS Researchs
    • Resource Center
  • Community Engagement
    • Film
      • Indonesian Pluralities
      • Our Land is the Sea
    • Wednesday Forum
    • ICIR
    • Amerta Movement
  • Beranda
  • News
  • Kerusakan Alam, Akses Keadilan, dan Perempuan Adat

Kerusakan Alam, Akses Keadilan, dan Perempuan Adat

  • News
  • 10 February 2022, 23.47
  • Oleh: crcs ugm
  • 0

Kerusakan Alam, Akses Keadilan, dan Perempuan Adat

Ahmad Ridha Mubarak – 1o February 2022

Salah satu kunci penting dalam mencegah kerusakan alam dan mewujudkan keadilan sosial justru bertumpu pada sosok yang paling kerap disisihkan: perempuan adat.

Rekognisi terhadap penghayat kepercayaan melalui Putusan MK No.97/PUU-XIV/2016 ternyata menyisakan pekerjaan rumah yang besar. Masih banyak masyarakat penghayat dan rentan lainnya yang kesulitan mengakses keadilan. Di sisi lain, mereka juga harus menghadapi berbagai masalah sosial dan lingkungan: dari konflik agraria, pemanasan global, ketimpangan gender, hingga ancaman hilangnya sebuah generasi di Indonesia. Dinamika yang dialami masyarakat adat dan penghayat setidaknya menunjukkan dua hal. Pertama, Kebebasan Beragama dan/atau Berkeyakinan (KBB) berkait erat dengan masalah sosial dan lingkungan. Kedua, masalah yang dihadapi kelompok rentan juga berdampak pada masyarakat yang lebih luas. Inilah yang menjadi topik utama dalam Plenary Session The 3rd International Conference on Indigenous Religion bertajuk “Literacy of Interrelated Issues for Coalition: Justice for All Living Beings” pada 9 Desember 2021 silam.  Sesi ini menghadirkan Dr. Samsul Maarif (CRCS UGM), Dr. Mia Siscawati (Univesitas Indonesia), Dr. Phil. Dewi Candraningrum (Universitas Muhammadyah, Surakarta), dan Prof. Rebecca Elmhirst (University of Brighton, United Kingdom) sebagai panelis.

Menilik Akar Masalah

Isu lingkungan seringkali ditempatkan pada kotak terpisah dengan permasalahan KBB di Indonesia. Akibatnya, sebagian besar solusi yang ditawarkan cenderung parsial dan justru meminggirkan masyarakat adat yang menjadi salah satu garda utama kelestarian alam di Indonesia. Maarif menggarisbawahi, salah satu akar masalahnya adalah pemaknaan agama yang eksklusif sebagaimana paradigma Agama-Agama Dunia. Pemahaman agama yang sempit ini menempatkan ruang lingkup agama sebatas relasi transendental dan hierarkis. Alam diletakkan sebagai subordinat dari manusia atau sekadar untuk memenuhi kebutuhan manusia. Akibatnya, alam rentan untuk dieksploitasi yang pada ujungnya membawa petaka bagi manusia itu sendiri.

Di sisi lain, paradigma Agama Dunia cenderung menyederhanakan praktik keagamaan dan memasang batas-batas definisi agama yang kaku dan bias. Akibatnya, semua praktik keagamaan yang tidak sesuai dengan kriteria dianggap bukan “agama”. Di Indonesia, kecenderungan ini terlihat dengan pemisahan tegas antara agama dan kepercayaan, antara praktik agama dan praktik budaya. Contoh paling gamblang adalah kemunculan istilah-istilah seperti kepercayaan, adat, tradisi, kearifan lokal, dan semacamnya untuk menyebut praktik-praktik yang dianggap “kurang agamis” di masyarakat. Padahal dari segi definisi dan praktik, istilah-istilah tersebut mengacu pada hal yang sama, praktik keagamaan di masyarakat.

Menurut dosen kajian agama leluhur di CRCS UGM yang akrab dipanggil Anchu ini, pembedaan tersebut merupakan proyek kolonialisme yang perlu dibongkar. Anchu menawarkan paradigma agama leluhur yang berpijak dari relasi antara masyarakat adat dan alamnya. Hutan, misalnya, adalah sesuatu yang sakral dan menjadi bagian tak terpisahkan dari praktik keagamaan masyarakat adat. Dalam paradigma ini, manusia melihat alam sebagai subjek (non-human person) dan bukan objek untuk dieksploitasi. Hubungan yang terjalin antara manusia dan alam adalah relasi interpersonal yang mana keduanya bersifat saling membutuhkan (reciprocal). “Dengan merekognisi masyarakat adat dan praktik keagamaannya, kita sekaligus merekognisi keberadaan hak-hak alam,“ jelas Anchu.

Posisi dan peran masyarakat adat dalam pelestarian lingkungan semakin nyata mengingat sebagian besar dari mereka tinggal di wilayah adat yang berupa hutan-hujan tropis. Bagi masyarakat adat, wilayah adat ini bukan sekadar tempat tinggal dan sumber penghidupan, tetapi juga ruang sakral yang perlu dijaga. Dengan demikian, pengakuan negara terkait KBB bagi masyarakat adat dan penghayat berkorelasi langsung dengan keberlangsungan lingkungan. “Wilayah adat juga merupakan arena rangkaian relasi sosial dan relasi kuasa berbasis gender, kelas, usia, status perkawinan, etnisitas, agama, dan lain-lain” tutur Dr. Mia Siscawati. Karenanya, kehilangan hutan tidak hanya berarti kehilangan vegetasi atau tanamannya saja, tetapi juga sebuah sistem pengetahuan. Padahal, dengan sistem pengetahuan itulah masyarakat adat melangsungkan kehidupannya. Menurut Siscawati, perampasan wilayah adat juga berarti eksklusi terhadap masyarakat adat. Eksklusi ini terjadi melalui berbagai cara: dari regulasi terkait tata kuasa dan legitimasi lahan, permainan harga tanah, bahkan pemaksaan dengan kekerasan oleh negara maupun perusahaan.

Peran dan Tantangan Perempuan Adat

Di tengah berbagai eksklusi tersebut, Siscawati menengarai bahwa perempuan adat kerap menjadi entitas yang tersisihkan, tidak hanya dalam perbincangan tetapi juga dalam praktik keseharian dan pengambilan keputusan. Sebagian besar pemangku adat didominasi oleh laki-laki dan, dalam banyak tradisi, suara perempuan tidak mendapatkan tempat yang layak. “Kita harus mengakui, tidak semua tradisi adat itu selaras dan melindungi hak asasi manusia, terutama hak perempuan adat,“ tegas Dewi Candraningrum. Ia mencontohkan bagaimana beberapa hukum adat justru melegitimasi kekerasan berbasis gender, seperti sunat perempuan, kawin tangkap, dan pembunuhan atas nama “kehormatan”. Dalam kondisi semacam ini, para perempuan adat seringkali harus berjuang sendirian dalam mempertahankan ruang hidupnya.

Padahal, perempuan adat memegang peranan penting dalam siklus kehidupan maupun sistem pengetahuan masyarakat adat. Mereka mewarisi berbagai pengetahuan terkait penenunan, pertanian, pengobatan, persalinan, dan perawatan pascakelahiran yang penting bagi keberlangsungan sebuah generasi. “Perempuan adat adalah jembatan spiritual antargenerasi yang mewariskan ilmu mereka kepada anak-anaknya,” tutur Candraningrum. Karenanya isu soal akses keadilan bagi perempuan adat juga menyangkut akses keadilan antargenerasi. “Anak-anak dari masyarakat adat merupakan subyek yang berperan penting dalam penjagaan hutan adat ini,“ tukas Siscawati.

Dalam banyak kasus, perempuan adat dengan bekal pengetahuan adatnya menjadi garda depan dalam perjuangan konservasi lingkungan. Candraningrum mencontohkan bagaimana Mama Aleta dengan aktivitas tenunnya menjadi simbol sekaligus strategi masyarakat adat dalam melawan penambangan marmer di Nusa Tenggara Timur; atau peran perempuan adat Samin yang dikenal dengan Kartini Kendeng dalam perjuangan masyarakat melawan penambangan kapur untuk pabrik semen di Pegunungan Kendeng. Contoh lainnya adalah Vandana Shiva dengan pengetahuannya tentang konservasi benih lokal sebagai upaya melawan konglomerasi agrokimia. Berbagai contoh tersebut menunjukkan bahwa pengetahuan yang dimiliki perempuan adat secara praktis dan strategis memainkan peran penting dalam keberlangsungan masyarakat adat. Candraningrum menggarisbawahi upaya perempuan adat tersebut sebagai bentuk spiritualitas baru. “Sistem pengetahuan adat dan tradisi spiritual adalah dua hal yang berkaitan dan tidak dapat dipisahkan. Keduanya menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari perempuan adat.”

Belajar dan Berkolaborasi Bersama

Berbagai dinamika tersebut menunjukkan bahwa tidak ada satu pun isu terkait sosial, lingkungan, dan keagamaan yang berdiri sendiri—dan perempuan adat memainkan peran penting di sana. Berkaca dari hal tersebut, Prof. Rebecca Elmhirst menawarkan pendekatan Feminist Political Ecology (FPE) yang pluralistik sebagai upaya untuk mendekolonisasi cara berpikir ekstrativisme—cara pikir yang memisahkan antara manusia dan nonmanusia atau alam. Pendekatan FPE bersifat diskursif dan menempatkan masing-masing pihak sebagai komunitas pembelajar yang saling berbagi analisis maupun orientasi etis. Dalam konteks semacam ini, FPE membuka diri terhadap berbagai narasi dan beragam cara.

Menurut Elmhirst, setidaknya ada tiga hal yang menjadi titik fokus dalam FPE. Pertama, penekanan pada kehidupan keseharian masyarakat. Praktik keseharian menjadi hal yang paling terdampak dari berbagai kebijakan terkait ekologi. Yang kedua adalah kolonialitas gender sebagai kategori bagaimana kekuasaan dan kapital menyediakan wadah dan sarana untuk pencerabutan pengetahuan. Ketiga, konsep interseksionalitas. Tidak ada  satu pun isu gender yang berdiri sendiri. Kesemuanya berkait kelindan dan juga tercermin pada isu-isu ras, etnis, agama, usia, dan segala macam bidang kekuasaan lainnya.

Semangat yang sama juga menjiwai tawaran Anchu untuk memperluas ruang lingkup KBB yang inklusif. Ketika kita bicara agama, kita tidak lagi berkutat pada pengertian yang sempit, tetapi beranjak pada praktik agama sehari-hari dan ekspresi keagamaan yang bersifat interpersonal. Alam dan manusia, keduanya berbeda. Akan tetapi, keduanya saling membutuhkan untuk mempertahankan eksistensinya. Pemisahan antara manusia dan alam adalah sebuah tindakan kekerasan, yang sudah selayaknya dilihat sebagai sebuah tindak kejahatan, sebuah ecocide atau genosida ekologis. Pun dengan pemisahan dan diskriminasi lainnya yang berbasi ras, agama, ataupun gender. Karenanya, “KBB dapat menjadi alat atau alternatif untuk berkolaborasi dan bekerja bersama. Tidak hanya soal masyarakat adat dan penghayat, tetapi juga untuk isu-isu lainnya“ tutup Anchu.

____________________

Ahmad Ridha Mubarak adalah mahasiswa Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana UGM, angkatan 2020. Baca tulisan Ridho lainnya di sini.

Rekaman Plenary Session pada 3rd ICIR

Tags: ahmad ridha mubarak KBB Perempuan Adat

Leave A Comment Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Instagram

A M P A T Baru kemarin, pemerintah YTTA melakukan A M P A T
Baru kemarin, pemerintah YTTA melakukan aksi simsalabim dengan mencabut empat konsesi tambang di salah satu gugusan Red Line. Aksi "heroik" itu terlihat janggal ketika perusahaan yang paling bermasalah dalam perusakan lingkungan, bahkan yang menjadi pusat viral, justru dilindungi. Tentu bukan karena cocokologi dengan nama Raja Ampat sehingga hanya empat perusahaan yang dicabut konsesinya. Bukan cocokologi juga ketika Raja Ampat akan menjadi lokus tesis yang akan diuji esok di CRCS UGM. Berkebalikan dengan aksi badut jahat di Raja Ampat, @patricia_kabes akan bercerita bagaimana komunitas masyarakat di Aduwei mengelola laut dengan lestari melalui sasi. Berangkat dari negeri timur, peraih beasiswa LPDP ini justru menjadi yang pertama di angkatannya untuk menambahkan dua huruf pada akhir namanya.
For people who learn religious studies, it is comm For people who learn religious studies, it is common to say that "religion", as a concept and category, is Western modern invention. It is European origin, exported globally through colonialism and Christian mission. Despite its noble intention to decolonize modern social categories, it suffers from historical inaccuracy. Precolonial Islamic Malay and Javanese texts in the 16th and 17th century reflect a strong sense of reified religion, one whose meaning closely resembles the modern concept.

Come and join @wednesdayforum discussion at UGM Graduate School building, 3rd floor. We provide snacks and drinks, don't forget to bring your tumbler. This event is free and open to public.
I N S P I R A S I Secara satir, penyandang disabil I N S P I R A S I
Secara satir, penyandang disabilitas baru mendapatkan sorotan ketika dia mampu berprestasi, mampu mengatasi segala rintangan dan kekurangan. Singkat kata, penyandang disabilitas kemudian menjadi sumber inspirasi bagi nondisabilitas. Budi Irawanto menyebutnya sebagai "inspirational porn". Simak ulasan lengkapnya di situs web crcs ugm.
Human are the creature who live between the mounta Human are the creature who live between the mountain and the sea. Yet, human are not the only one who live between the mountain and the sea. Human are the one who lives by absorbing what above and beneath the mountain and the sea. Yet, human are the same creature who disrupt and destroy the mountain, the sea, and everything between. Not all human, but always human. By exploring what/who/why/and how the life between the mountain and the sea is changing, we learn to collaborate and work together, human and non-human, for future generation—no matter what you belief, your cultural background.

Come and join @wednesdayforum with Arahmaiani at UGM Graduate School building, 3rd floor. We provide snacks and drinks, don't forget to bring your tumbler. This event is free and open to public.
Follow on Instagram

Twitter

Tweets by crcsugm

Universitas Gadjah Mada

Gedung Sekolah Pascasarjana UGM, 3rd Floor
Jl. Teknika Utara, Pogung, Yogyakarta, 55284
Email address: crcs@ugm.ac.id

 

© CRCS - Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY

[EN] We use cookies to help our viewer get the best experience on our website. -- [ID] Kami menggunakan cookie untuk membantu pengunjung kami mendapatkan pengalaman terbaik di situs web kami.I Agree / Saya Setuju