Kilas Sejarah Konstruksi Pengertian Adat dan Agama
Mufdil Tuhri – 25 Juni 2019
Perbincangan mengenai adat dan agama di Indonesia hingga hari ini acapkali menarasikan pengertian kedua istilah itu sebagai dual hal yang berbeda dan terpisah satu sama lain, seolah-olah masing-masing sudah memiliki definisi yang baku dan batasan yang pasti. Padahal pengertian semacam ini bukan lahir dari ruang kosong. Ada latar sejarah yang mengonstruksinya sehingga menjadi demikian.
Berasal dari bahasa Arab, yang berarti tradisi atau kebiasaan, adat berkembang dalam praktik masyarakat Nusantara sejak masa pra-kolonial. Di masa ini, istilah adat dipakai masyarakat Nusantara tanpa ada batasan pengertian yang jelas untuk membedakannya dari agama. Beberapa literatur klasik bahkan menyebutkan bahwa adat merupakan istilah untuk menyebut keseluruhan praktik yang mencakup kebiasaan, tradisi, agama, hukum, dan lain sebagainya. Masyarakat pada waktu itu tidak dan belum membedakan antara agama dan adat sebagaimana mereka tidak dan belum mengenal berbagai kategori lain seperti politik, ekonomi, hukum, dan sebagainya.
Pengertian adat sebelum masa penjajahan ini mencakup segala praktik sehari-hari masyarakat waktu itu, termasuk praktik-praktik seperti ziarah kubur, berkunjung ke tempat sakral, memasuki hutan, percaya pada kekuatan alam selain manusia, dan beragam praktik lainnya tanpa ada pembakuan ke satu peristilahan tertentu, baik adat, agama, tradisi, atau budaya. Pada kenyataanya bahkan sampai hari ini, dalam beberapa hal masyarakat adat masih cenderung tidak membedakan antara agama dan adat dalam batasan pengertian yang tegas.
Dampak kolonialisme: Hukum adat dan animisme
Merunut sejarah perkembangan wacananya, adat dan agama baru mulai dipahami sebagai dua kategori yang seolah-olah terpisah dan jelas batasannya di masa kolonial. Beberapa momen sejarah menjadi penanda akan hal ini. Momen pertama terjadi dalam polemik adat dan agama dalam masyarakat Minangkabau di Sumatera Barat pada 1803-1837, yang memucak pada terjadinya Perang Padri. Awalnya, terjadi perselisihan antara kelompok adat yang disebut golongan tua dan kelompok agama yang disebut golongan muda. Kelompok pertama berusaha keras mempertahankan tradisi adat dari ancaman gerakan puritanisme keagamaan yang digagas golongan muda. Dalam tataran diskursif, pertentangan ini menandakan awal pemaknaan terpisah antara adat dan agama.
Pengertian adat dan agama yang dipertentangkan kian menguat seturut kebijakan politik pemerintahan kolonial Belanda. Pada awal abad 20, ketika Belanda menerapkan kebijakan Politik Etis, peran seorang penasihat Belanda bernama Snouck Hurgronje sangat besar dalam mengonstruksi pengertian tentang adat dan agama pada waktu itu. Berkat nasihat dari Hurgronje, guna meredakan ancaman dari gerakan perlawanan terhadap pemerintah kolonial, Belanda memberlakukan politik pembedaan atas nama warga pribumi. Hurgronje menyarankan pemerintah Belanda untuk berafiliasi dengan kelompok adat dan membatasi ruang kelompok agama yang dianggap mengancam politik Belanda ketika itu. Pada masa ini, adat diperkokoh melalui usaha-usaha penguatan lembaga adat, sementara gerakan keagamaan dilemahkan. Hurgronje berhasil meyakinkan pemerintah kolonial Belanda bahwa adat dan agama adalah dua hal yang berbeda dan terpisah.
Politik Etis turut memberi ruang bagi upaya institusionalisasi kebudayaan masyarakat pribumi, antara lain dengan dirumuskannya hukum adat. Efek dari kebijakan ini juga merembes ke dunia akademik. Di antara tokoh penting yang menginisasi lahirnya studi tentang hukum adat adalah Van Vollenhoven, yang merumuskan dan mengompilasi hukum adat. Pada saat ini, wacana dominan tentang hukum adat dipahami sebagai segala bentuk hukum yang berlaku dalam masyarakat lokal tertentu selain dari hukum agama. Di satu sisi, Van Vollenhoven berperan menyelamatkan warisan budaya Nusantara. Namun di sisi lain, wacana yang dikonstruksinya berdampak pada kian menguatnya pemaknaan terpisah antara adat dan agama.
Masih dalam kerangka penguatan institusi adat dan hukum adat ini, Politik Etis Belanda juga memberi jalan lapang bagi perkembangan gerakan misionaris Kristen di beberapa daerah di Nusantara. Pada momen ini juga, adat mulai mendapatkan tambahan pemaknaan yang secara signifikan memengaruhi wacana tentang definisi agama. Albertus Kruyt, seorang sarjana dan misionaris Belanda, memperkenalkan istilah animisme sebagai konsep yang menjelaskan praktik masyarakat lokal yang tidak atau belum memeluk “agama dunia”. Karyanya yang terkenal berjudul Het Animisme in den Indischen Archipel (1906). Dia menyebut adat sebagai praktik primitif, animistis, tidak berbudaya, dan belum modern. Adat berlabel animisme diklaim mengandung aspek keagamaan, tetapi kurang memadai untuk disebut agama. Seturut dengan alur konstruksi ini, paradigma “agama dunia” menjadi standar yang digunakan untuk mendefinisikan praktik masyarakat adat sebagai objek untuk dimodernisasi dan dikonversi ke “agama dunia”. Mereka yang disebut sebagai penganut animisme pada dasarnya adalah semua kelompok yang dianggap tidak berafiliasi dengan “agama dunia” sebagaimana dipahami pada waktu itu. Dalam hal ini, kelompok adat termasuk di antara yang disebut penganut animisme.
Jadi, dampaknya dalam tataran diskursif, yang turut merembes ke wacana akademik pada waktu itu, adat di masa kolonial adalah adat sebagai hukum dan adat sebagai praktik animisme. Konsekuensi dari konstruksi era kolonial tentang adat ini menyebabkan dimensi agama dalam praktik masyarakat adat terpinggirkan. Beberapa aspek kosmologis masyarakat adat yang mengandung hubungan kuat dengan alam dan lingkungan dipahami tak lagi mengandung unsur keagamaan.
Pasca-kemerdekaan: Kontinuasi dan pertentangan baru
Konstruksi esensialis terhadap pengertian adat pada masa kolonial sebagai kategori yang berbeda dari agama terwarisi oleh kebijakan pemeritahan awal pasca-kemerdekaan Indonesia. Hal ini tampak dalam beberapa produk kebijakan yang lahir di masa ini dalam beragam bidang seperti kebudayaan, hukum, agraria, hingga politik warga negara. Di antara efeknya ialah bahwa adat makin kokoh dimaknai sebagai sesuatu yang tak memiliki unsur keagamaan, atau bahkan bukan agama sama sekali.
Upaya dekolonisasi, yang mengiringi usaha pembentukan identitas nasional keindonesiaan sebagai bangsa yang baru lahir, turut menjadikan masyarakat adat sebagai sasaran kebijakan dalam tiga dimensi. Pertama, terkait dengan konsep identitas keindonesiaan yang terumuskan melalui kebijakan politik kebudayaan. Kebijakan ini antara lain melahirkan undang-undang tentang identitas daerah, undang-undang pariwisata, dan lain sebagainya. Pada masa Soeharto, adat bahkan secara sederhana dipahami sebagai budaya lokal.
Kedua, terkait dengan proyek hukum nasional, yang mencakup produk hukum yang mengatur tentang hukum adat, seperti undang-undang agraria tentang tanah adat, undang-undang tentang kehutanan, undang-undang tentang perkebunan, dan undang-undang tentang masyarakat adat.
Ketiga, terkait dengan pembakuan definisi agama yang menjadikan paradigma “agama dunia” sebagai standar. Yang terakhir ini menjadi momentum paling utama dalam peminggiran aspek keagamaan dalam praktik-praktik masyarakat adat. Negara mendefinisikan agama sebagai kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang memiliki nabi, kitab suci, dan komunitas lintas bangsa. Akibatnya, kelompok masyarakat yang tidak berafiliasi dengan agama yang diakui tidak mendapat hak kewarganegaraan yang setara dengan yang dinikmati para pemeluk “agama dunia”. Produk hukum yang paling kentara terkait dengan hal ini adalah UU No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama.
Pada tataran diskursif, wawasan tentang adat menjadi bagian dari upaya harmonisasi hubungan antara budaya dan agama. Sebagai konsekuensi dari desakan negara agar setiap komunitas atau kelompok etnis memiliki adat masing-masing di samping memiliki agama, muncul kategori baru yang melekat pada kelompok etnis. Di satu sisi, kategori ini melahirkan istilah-istilah seperti Adat Minangkabau, Adat Jawa, Adat Batak, Adat Toraja, Adat Melayu, dan sebagainya. Namun di sisi lain, identitas keagamaan juga muncul berdasarkan etnis, seperti Muslim Minangkabau, Muslim Melayu, Muslim Minahasa, Kristen Batak, Kristen Dayak, Kristen Ambon, Hindu Bali, dan sebagainya.
Dalam tahap sejarah ini, sementara polemik adat dan agama secara tegas seperti di era kolonial tidak lagi kentara di permukaan, negara justru memunculkan bentuk pertentangan baru, yakni antara kepercayaan dan agama. Penganut kepercayaan dikategorikan sebagai kelompok yang tidak/belum berafiliasi dengan agama tertentu dan diawasi oleh pemerintah melalui lembaga resmi negara bernama Bakorpakem (Badan Koordinasi Pengawas Aliran Kepercayaan Masyararakat) yang didirikan pada 1953. Di tataran hukum, pembedaan ini melahirkan perlakuan tidak setara dalam hak kewarganegaraan antara pemeluk agama yang diakui dan penghayat kepercayaan.
Perkembangan mutakhir: Progres yang belum usai
Dalam satu dekade terakhir, terdapat dua perkembangan baru yang layak dicatat terkait pengakuan terhadap masyarakat adat. Pertama, pada 2013, terhadap Peninjauan Kembali UU 41/1999 tentang Kehutanan, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan bahwa Hutan Adat adalah hutan yang terletak di wilayah adat dan bukan lagi Hutan Negara. Keputusan ini memberikan ruang baru terhadap pengakuan satu aspek kultural keagamaan yang penting bagi masyarakat adat.
Kedua, pada 2017, menyetujui Peninjauan Kembali dua pasal dalam UU Adminisitrasi Kependudukan, MK mengeluarkan putusan tentang inkonstitusionalitas aturan pengosongan kolom agama pada kartu identitas penduduk (KTP dan KK) bagi para penghayat kepercayaan. Putusan ini, meski menyatakan bahwa agama dan kepercayaan adalah dua hal yang berbeda, mengharuskan negara untuk memberikan hak kewarganegaraan yang setara terhadap pemeluk agama dan penghayat kepercayaan.
Kedua keputusan Mahkamah Konstitusi ini menandakan adanya progres dari negara dalam mengakui agama-agama lokal. Namun, masih ada tantangan besar tersisa, yakni fokusnya pengertian adat terhadap aspek-aspek yang berkaitan dengan hukum, tanah, dan pariwisata, sementara dimensi keagamaan dari praktik-praktik masyarakat adat masih berada di pinggiran. Sejumlah praktik masyarakat adat, misalnya yang menyangkut cara berhubungan dengan alam (yang sakral bagi mereka), masih dianggap bukan sebagai praktik yang religius, dan sebagian mendapat stigma negatif dari pemeluk “agama dunia”. Hal yang terakhir ini memerlukan upaya pengubahan paradigma. Dalam tataran wacana publik, ia bisa dimulai misalnya dari lembaga pendidikan tinggi, dari para akademisi dan peniliti.
__________________
Penulis, Mufdil Tuhri, adalah mahasiswa CRCS angkatan 2017.
Artikel ini disarikan dari tesis penulis di CRCS (2019) berjudul Adat, Land, and Religion: the Politics of Indigenous Religions in Indonesia.
Gambar header: Warga suku adat Ammatoa membawa hasil bumi saat akan melakukan ritual ‘Andingingi’ di hutan adat Kajang Ammatoa, Bulukumba, Sulawesi Selatan. ANTARA FOTO/Abriawan Abhe