Laporan CRCS: Kebebasan Akademik dan Ancaman Intoleransi
CRCS UGM – 23 Agustus 2017
Perguruan Tinggi (PT) bukanlah ruang yang terpisah dari dinamika masyarakat di luarnya. Keberadaan organisasi-organisasi penekan, yang sebagiannya melakukan intimidasi, bahkan kekerasan fisik, ikut memengaruhi PT dan berpotensi mengancam kebebasan akademik. Ancaman itu belakangan tampak menguat.
Kenyataan itulah yang menjadi alasan Program Studi Agama dan Lintas Budaya (Center for Religious and Cross-cultural Studies/CRCS), Universitas Gadjah Mada, menerbitkan laporan berjudul Kebebasan Akademik dan Ancaman Yang Meningkat (Juli 2017). Banyak dari ancaman tersebut, khususnya dalam kasus-kasus yang didalami laporan ini, yang berasal dari kelompok-kelompok vigilantisme keagamaan. Selain itu terdapat juga desakan perusahaan yang turut memengaruhi integritas dan otonomi PT. Laporan ini menganalisis kasus-kasus pembatasan kebebasan akademik dalam konteks mencairnya batas-batas wilayah akademik di PT di Indonesia pascareformasi.
Meski dalam sebagian besar kasus tersebut PT kalah, laporan ini juga menunjukkan adanya perlawanan dan negosiasi civitas akademika dalam menghadapi ancaman-ancaman tersebut. Selain peran aparat penegak hukum, di antara faktor penting yang menentukan kalah atau berhasilnya PT dalam melawan ancaman adalah peran pimpinan PT.
Wajah baru
Laporan yang baru diterbitkan oleh CRCS UGM ini adalah edisi pertama dari serial laporan yang, dalam wajah berbeda, sebetulnya sudah berlangsung dalam hampir sepuluh tahun terakhir ini.
Sejak tahun 2008, CRCS UGM telah mencoba untuk lebih aktif memberikan komentar dan analisis atas peristiwa-peristiwa terkait kehidupan beragama di Indonesia dalam arti luasnya. Mulai tahun 2008, kami secara rutin menerbitkan Laporan Kehidupan Beragama di Indonesia hingga tahun 2013. Bukan kebetulan bahwa pada tahun 2008 Wahid Institute (sekarang bernama Wahid Foundation) mulai menerbitkan laporan reguler serupa yang menekankan pada kebebasan beragama dan intoleransi, sementara setahun sebelumnya Setara Institute juga mulai menerbitkan laporan tentang kebebasan beragama di Indonesia secara berkala. Di antara ciri Laporan Tahunan CRCS, demikian juga Laporan-laporan lainnya, adalah memberikan analisis atas peristiwa setahun dan selalu memberikan rekomendasi untuk perbaikan, baik kepada pemerintah maupun lembaga-lemabaga kemasyarakatan.
Pada tahun 2013 kami memutuskan menghentikan penerbitan laporan berkala itu, namun tetap meneruskan penerbitan laporan semacam, namun sifatnya lebih tematik, dengan harapan dapat memberikan kedalaman analisis yang tidak dimungkinkan oleh Laporan Tahunan. Untuk itu, kami telah pernah menerbitkan dua laporan yang cukup ekstensif pada 2014 mengenai pendidikan agama dan mengenai konflik agama dan politik lokal. Setelah absen setahun, pada tahun ini 2017 ini kami mencoba bentuk baru yang kami harapkan akan lebih bertahan lama dan lebih bermanfaat.
Serial yang dimulai dengan laporan ini tetap mempertahankan ciri laporan-laporan sebelumnya, yaitu mencatat peristiwa mutakhir penting terkait agama di Indonesia, melakukan analisis, dan memberikan rekomendasi perbaikan, Dalam laporan ini kami fokus pada satu tema spesifik yang kami anggap amat penting dan tidak terlalu banyak dibahas. Perbedaan penting lainnya adalah bahwa Laporan ini sengaja dibuat relatif jauh lebih ringkas (tidak lebih dari 20 halaman) dari model laporan-laporan kami sebelumnya. Serial laporan ini akan terbit tiga kali dalam setahun, mengangkat tema-tema mutakhir yang sedang diperbincangkan banyak pihak.
Edisi pertama yang menyoroti meningkatnya ancaman terhadap PT dalam beberapa tahun terakhir ini telah mulai digagas sejak Februari 2017. Dalam perjalanan penggarapannya yang cukup lama—khususnya karena ini adalah edisi pertama—ada perkembangan-perkembangan menarik di PT. Salah satu yang menonjol adalah keputusan pemerintah untuk tidak lagi mengakui Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), yang diikuti wacana pembatasan pada civitas akademika yang bergabung dengan organisasi itu.
Terlepas dari kontroversi terkait apakah tindakan pemerintah tersebut dapat dibenarkan atau tidak, peristiwa ini jelas telah mengubah dinamika dalam PT. Pimpinan PT menjadi lebih sadar bahwa ada persoalan dalam sebagian dari beragam orientasi keagamaan yang hidup di PT. Juga, tanpa melakukan penilaian apakah kiprah HTI di PT selama ini menjadi salah satu dari bentuk “ancaman” yang didiskusikan di sini, perkembangan ini mungkin akan mempengaruhi kecenderungan yang didiskusikan dalam laporan ini. Sesungguhnya di laporan ini bahkan tak ada sama sekali penyebutan HTI. Untuk itu, Laporan ini semoga sekaligus mengingatkan bahwa di luar masalah yang belakangan ini tampil lebih menonjol, ada persoalan yang lebih luas menyangkut ancaman terhadap kebebasan berakademik di PT.