Bukan hal yang baru bagi seorang Zaky, alumni CRCS angkatan 2002, berjuang bersama komunitas yang dimarginalkan untuk hak-hak kemanusiaan yang sudah seharusnya mereka dapatkan. Laki-laki yang menjabat sebagai program manager untuk youth center pada Persatuan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) ini telah dikenal baik oleh rekan-rekan komunitas Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender and Queer (LGBTQ) di yogyakarta maupun di daerah lain, termasuk pada beberapa komunitas HIV/AIDS. Ini semua karena perjuangannya bersama mereka tersebut.
Aktifitasnya saat ini lebih dikerahkan pada kegiatan-kegiatan di komunitas. “Kalau PKBI itu prosesnya memang penguatan-penguatan komunitas, baik yang selama ini dimarginalkan, seperti waria, pekerja seks, remaja jalanan, maupun yang selama ini memarginalkan, misalnya remaja-remaja mainstream. Jadi dua-duanya coba kita intervensi. Bagi yang dimarginalkan, dikuatkan untuk mampu melakukan advokasi dirinya, yang memarginalkan mau dan mampu mereduksi stigma dan diskriminasi terhadap mereka yang dimarginalâ€, jelas Zaky dengan pasti.
Sewaktu duduk di bangku kuliah di CRCS, pemilik nama lengkap Maesur Zaky ini sudah bergabung di PKBI. Saat itu ia sedang menjabat koordinator divisi penelitian. Pada saat kuliah itu pula ia melewati saat-saat yang mengesankan dan membantunya dalam pekerjaannya saat ini. Ia mendapatkan paradigma atau persepsi yang dianggapnya berkontribusi terhadap cara pandangnya.
Menurut Zaky, ia pernah mendapatkan materi perkuliahan yang mempengaruhi cara pandangnya saat ini. “CRCS menariknya di pendekatan atau materinya tentang perspektif yang decentering, yang tidak memusat, kalau gak salah dapat dari pak Pradjarta itu menarik, dari perspektif kebudayaan tapi yang tidak memakai kerangka yang sentral teriteri,” ungkap Zaky. Ia menambahkan bahwa “Di level perspektif yang berbasis disentring itu sangat membantu, untuk melihat fakta-fakta sosial tidak selalu melulu ada yang tengah, ada yang pinggir. Semua bisa tengah dan semua bisa pinggir, dan itu sangat bermanfaat untuk membirokrasikan kerangka kerja di PKBI.”
Laki-laki berpenampilan sederhana ini masih mempunyai semangat untuk melanjutkan kuliah nantinya. Semangat ini didapatkannya terutama setelah ia mengikuti sebuah kuliah singkat di Australia. Minatnya pada genderisasi dan anthropologi medis akan menuntunnya untuk memilih bidang atau spesifikasi kajian pada studi lanjut yang diidamkannya itu.
Di akhir perkacapan bersamanya, Zaky memberikan harapannya terhadap CRCS. “Sebagai ruang kuliah CRCS cukup ideal, yang penting diskusi-diskusi teoritik yang sangat kaya di CRCS itu akan sangat lebih bagus jika punya basis pengorganisasian, maksudnya model-model turun ke lapangan oleh mahasiswa itu tidak hanya sekedar dalam kerangka yang sumbu pendek, tapi dalam sumbu panjang. Output-nya ada yang di komunitas, peran-peran CRCS di komunitas yang nantinya dikuatkan lewat model-model pengornanisasian.” Hal ini dimaksudkannya untuk menurunkan image “menara gading” yang pada umumnya diberikan kepada perguruan-perguruan tinggi. (JMI)