• Tentang UGM
  • Portal Akademik
  • Pusat TI
  • Perpustakaan
  • Penelitian
Universitas Gadjah Mada
  • About Us
    • About CRCS
    • Vision & Mission
    • People
      • Faculty Members and Lecturers
      • Staff Members
      • Students
      • Alumni
    • Facilities
    • Library
  • Master’s Program
    • Overview
    • Curriculum
    • Courses
    • Schedule
    • Admission
    • Scholarship
    • Accreditation and Certification
    • Academic Collaborations
      • Crossculture Religious Studies Summer School
      • Florida International University
    • Student Satisfaction Survey
    • Academic Documents
  • Article
    • Perspective
    • Book Review
    • Event Report
    • Class Journal
    • Interview
    • Wed Forum Report
    • Thesis Review
    • News
  • Publication
    • Reports
    • Books
    • Newsletter
    • Monthly Update
    • Infographic
  • Research
    • CRCS Researchs
    • Resource Center
  • Community Engagement
    • Film
      • Indonesian Pluralities
      • Our Land is the Sea
    • Wednesday Forum
    • ICIR
    • Amerta Movement
  • Beranda
  • Video Amerta
  • mandala-MANDALA

mandala-MANDALA

  • Video Amerta
  • 19 March 2025, 15.31
  • Oleh: crcs ugm
  • 0

Tulisan ini sebagai keterangan video dan sekaligus gagasan saya yang mengacu pada:

  • Pertama, keberadaan diri di lingkaran filosofi Jawa jagad cilik dan jagad gedhe.
  • Kedua, jagad cilik dan jagad gedhe sering menjadi tema dan materi ketika berlatih gerak bersama mas Prapto, khususnya ketika berlatih di mandala yang berada di lingkungan Padepokan Lemah Putih, Plesungan. Dalam perjalanannya, proses pembabaran tersebut bertambah menjadi penjabaran sejak seringnya berlatih bersama dengan Mas Ben Soeharta (sekitar 1995 – 1997). Ben Soeharta menambah istilah mandala-mandala.
  • Ketiga, referensi sastra dan relief Dewa Ruci (Bima Suci) Candi Sukuh. 

Ketiga latar belakang tersebut mewarnai pengembaraan kehidupan saya. Secara subjektif, dapat saya kataka,  kesadaran perihal mandala-mandala (meminjam istilah Ben Soeharta) sangat membantu dalam memosisikan diri dalam kehidupan.

Awalnya, sepengetahuan saya makna kata “mandala” betul-betul berarti lingkaran. Setelah berlatih intensif di Lemah Putih (sejak 1987—1997, mandala mempunyai pemaknaan lebih luas dan mendalam. Sejak itulah muncul kesadaran bahwa diri pribadi adalah kesatuan yang kompleks: unsur dan struktur. Diri adalah gugusan tubuh, pikir, dan jiwa (mengikuti pemahaman umum). Aku sebagai mandala dalam realitas hidup ternyata bukan ego mutlak bahwa aku adalah aku—walaupun aku yang aku harus survive dalam lingkungannya.

Menyadari bahwa aku (mikro) sebagai subjek hidup di antara subjek yang lain sekaligus berada di dalam subjek luas dan besar (makro) berarti mengusahakan keseimbangan baik pada diri pribadi maupun di antara makhluk lain; juga berarti menyadari tentang ada dan keberadaan dalam lingkaran jagad raya.

Ada dan keberadaan aku tidak menjadi sebuah gugusan keras dan egoistis. Ia fleksibel. Kesabaran, kelembutan, cair yang bening dan netral membuat kemerdekaan yang mandiri kokoh. Sadar akan ada dan keberadaan diri sebagai subjek—kualitas, potensi, ritme, dinamika, dan pola diri pribadi—sangatlah penting. Kesatuan diri pada diri pribadi yang utuh berperan merawat dan meruwat sesuai dengan pertumbuhan kehidupan dalam ruang dan waktu jagad cilik.

1

Sadar akan ada dan keberadaan diri memperjelas ketika membaca, mendengar, meraba, melihat, dan mengukur diri: Siapakah aku? Dalam konteks bersama, jagad cilik dapat memosisikan sesuai dengan porsi yang presisi.

Mandala di antara mandala, adalah kesadaran diri terhadap ada dan keberadaan aku (jagad cilik) berada di antara aku (subjek) lain. Aku sebagai kesatuan tunggal dalam menjalani hidup selalu ada titik singgung yang saling menjaga keberlangsungan hidup dan kehidupan. Kebersamaan dalam kebinekaan memerlukan kesadaran untuk saling mengetahui, menghormati antara aku terhadap aku yang lain. Menjaga harmoni sebagai timbal-balik yang saling tercukupi bukan ketergantungan; eksplorasi saling produktif, bukan eksploitasi merugikan. Sentuhan antartitik singgung tentu akan memunculkan sebuah senyawa. Namun, sejauh mungkin diusahakan agar tidak terjadi benturan apalagi eksplosif. Saling memayu antara aku dan aku. Pertemuan dalam kebersamaan sebagai lentera pertumbuhan dan pengembangan pribadi.

Dalam praktik hidup keseharian, saya pribadi dalam bersentuhan dengan subjek lain sering muncul perasaan minder terkadang pamrih untuk menguasai atau memiliki terutama kepada subjek lain (benda). Misal terhadap binatang ataupun tetumbuhan, aku sering sombong diri bahwa aku makhluk lebih daripada mereka itu, makhluk lain saya anggap objek pelengkap penderita untuk aku.

Saya sadar bahwa untuk bertahan, keberlangsungan dan pertumbuhan membutuhkan sumber pangan yang berasal dari tetumbuhan dan hewan. 

Setelah praktik mandala di antara mandala, setidaknya saya sadar untuk mengukur, menghormati, merawat, serta untuk tidak serakah. Saya sadar mereka memang subjek yang saya jadikan objek penderita. Namun, perlahan setapak demi setapak saya berusaha menjaga keberlangsungan dan keseimbangan kepada objek yang sebenarnya subjek.

Dalam proses laku mandala di antara mandala inilah, tumbuh sebuah nilai kesuburan. Berkurangnya perasaan api serakah, kekhawatiran, dan terjadi pembelajaran bersifat investigasi analitis, bukan kecurigaan.

Dalam wejangan Jawa disebutkan “Madeg jejer ing jagad pribadi ngawruhi marang jagading liyan”. Kurang lebih terjemahan saya: tetap konsisten dan konsekuen kepada diri pribadi sembari terus berusaha mempelajari dan memahami kepada yang lain.

2

Mandala dalam mandala. Dalam pemahaman ini, saya mengacu dari sisi antropologis Jawa, khususnya terkait dengan penelitian saya terhadap praktik sastra lisan mantra  aji-aji Jawa dari sudut analisis magis-mistis Jawa. Saya mempunyai sudut pandang bahwa masyarakat pelaku mantra aji-aji jawa mempunyai paradigma bahwa seseorang itu bagian dari alam raya (jagad gedhe). Namun, keberadaannya tidak selalu total dan mutlak bagian dari alam raya. Pada sisi lain, seseorang dalam menjalani kehidupan mempergunakan daya alam sekitarnya untuk memenuhi kebutuhannya.

Nafsu. ketika menapaki cakra kehidupan bisa terlena dari perasaan aku yang ego, sehingga ketika mengetahui dan bisa nyrateni ( mengendalikan) daya yang ada pada alam, dikuasai dan dipergunakan untuk memenuhi hasrat keserakahan. Daya alam sekitar pada suatu saat sangat besar dan aku manusia karena terbakar ego serakah tidak akan mampu mengendalikannya, mengakibatkan fatal diri pribadi dan kemungkinan aku lain.

Menyadari hal mandala dalam mandala adalah kesadaran mikrokosmos berada di dalam makrokosmos. Penafsiran saya yang mungkin berbeda pada umumnya bahwa mati sajroning ngaurip adalah sebuah sikap dan perilaku hidup dalam kehidupan untuk tidak mengumbar nafsu yang menjadi angkara murka.

Penguasaan alam bisa dipergunakan dengan pertimbangan kesesuaian, kebutuhan, dan kecukupan. Berlebihan memiliki apalagi menumpuk eksploitasi alam untuk dalih kekhawatiran akan memunculkan ketidakharmonisan kemanunggalan alam raya dalam putaran ekosistemnya.

Laku mandala dalam mandala sebuah pengejawantahan sikap dan perbuatan konkrit sebuah usaha aku sebagai subjek yang sadar menjadi bagian dari jagad raya dengan harapan agar putaran kehidupan dan keberadaan alam raya berjalan sesuai rotasi, melodi, ritme alam itu sendiri. Alam mempunyai sastra sendiri, bukan hanya tafsir bahasa aku-manusia, seperti semboyan yang selalu digaungkan di Jawa “memayu hayuning bawana”. Dalam pandangan sinisme kritik saya, ungkapan tersebut jauh belum diterjemahkan pada perilaku keseharian oleh manusia Jawa di jagad Jawa itu sendiri. 

Belajar dan berlatih sadar akan ada dan keberadaan diri (jagad cilik) di antara yang lain dan di dalam jagad gedhe adalah terciptanya pagelaran orkestra dahsyat kehidupan yang eksotik dan harmoni.

Rahayu.

Panjiudan, klaten jan. 2025

—

This writing serves as an explanation of the videos and simultaneously my personal concept based on:

First, the existence of the self within the Javanese philosophical circle of the jagad cilik (microcosm) and jagad gedhe (macrocosm).

Second, jagad cilik and jagad gedhe often became themes and material during movement practice with Mas Prapto, especially when we practiced at the mandala in the Lemah Putih retreat, Plesungan. As the sessions went on—especially through frequent practice with Mas Ben Soeharta (around 1995–1997)—the concept expanded, and Ben Soeharta added the term mandala-mandala.

Third, literary references and the relief of Dewa Ruci (Bima Suci) at Sukuh Temple. These three backgrounds have coloured my life journey, and subjectively, I can say that the awareness of mandala-mandala (borrowing Ben Soeharta’s term) has greatly helped me position myself in life.

Initially, to my knowledge, the word mandala simply meant “circle”; but after practicing intensively at Lemah Putih (1987–1997), mandala gained a deeper and broader meaning.

Since then, I became aware that the self is a complex unity of elements and structures. The self is a constellation of body, mind, and soul (as commonly understood). I, as a mandala in real life, am not an absolute ego, although the “I” must survive in its environment.

Being aware of the self (micro) as a living subject among other subjects and within a broader and greater subject (macro) brings an effort toward balance—personally, in relation to other beings, and in the cosmic order.

This awareness and presence are not rigid or egotistical. Patience, gentleness, clarity, and neutrality shape a resilient and independent freedom. Realizing the self as a subject—with qualities, potential, rhythm, dynamics, and personal patterns—is essential. A unified personal self plays a role in nurturing and caring, aligned with the growth of life within the space and time of the jagad cilik.

1

Awareness of one’s presence sharpens the ability to read, listen, feel, see, and measure: Who am I? Within the shared context of the jagad cilik, one can position oneself with precise proportion.

Mandala among mandalas is self-awareness of my presence (microcosm) among other “I”s (subjects). As a unique unity living this life, there are inevitable points of contact that help maintain life’s continuity. Togetherness in diversity requires awareness, mutual understanding, and respect among “I”s. Harmony must be nurtured through mutual fulfilment—not dependency—and productive exploration, not harmful exploitation. Contact at these points may create compounds, but as much as possible, avoid collision or explosion. Mutual nurturing between “I” and “I”. Meetings in togetherness serve as a lantern for personal growth and development.

In daily life, I often feel inferior or driven by desire to control or possess, especially toward other subjects (including objects). For instance, toward animals or plants, I’ve often arrogantly considered myself superior, seeing them as mere complements or subordinates to my existence.

I am aware that to survive and grow, I depend on food sourced from plants and animals.

After practicing mandala among mandalas, at the very least, I became conscious of measuring, respecting, and caring—not being greedy. I realize that they are subjects whom I have turned into objects. Gradually, step by step, I try to maintain sustainability and balance toward these “objects” that are, in truth, subjects.

Within this practice of mandala among mandalas, a value of fertility emerges. The burning greed lessens, anxiety reduces, and a form of analytical investigation arises—not suspicion.

As stated in Javanese teachings: “Madeg jejer ing jagad pribadi ngawruhi marang jagading liyan.”
My translation: Be consistent and committed to the personal world while also striving to learn about and understand others.

2

Mandala within mandala, in this understanding, refers to the Javanese anthropological perspective, especially based on my research into the practice of Javanese mantra aji-aji (magical incantations) from a mystical-magical viewpoint. I hold the perspective that practitioners of these incantations believe that a person is part of the universe (jagad gedhe), but not entirely and absolutely part of it; at the same time, one uses the powers of nature to fulfil needs.

Desire—when stepping through life’s wheel—can be seduced by ego, so when one learns and masters nature’s energy, it might be used to fulfil greedy desires. The power of nature can be immense, and humans, inflamed by ego, may fail to control it, causing personal destruction and harming others.

Realizing the mandala within mandala means becoming aware of the microcosm within the macrocosm. My interpretation may differ from common ones: “mati sajroning urip” (“to die within life”) is a way of living that refrains from indulging in destructive desires.

Mastery over nature should be based on appropriateness, need, and sufficiency. Over-owning or hoarding through natural exploitation, often out of fear, may disrupt the cosmic harmony of the universe’s ecosystem.

The practice of mandala within mandala is the embodiment of a conscious subject’s concrete effort to become part of the universe—so that nature’s rotation, melody, and rhythm flow according to their own harmony. Nature has its own language, not merely the human interpretation of it. In Java, there’s a slogan constantly echoed: “memayu hayuning bawana” (“to nurture the beauty of the world”). My critique: This phrase is far from being realized in the daily behaviour of Javanese people in the Javanese world itself.

Learning and practicing awareness of one’s presence (jagad cilik) among others and within the jagad gedhe is to create a magnificent, exotic, and harmonious orchestration of life.

Rahayu.
Panjiudan, Klaten – January 2025

 

_____________________

Agus Bimo Prayitno is the son of an elementary school teacher and a traditional dhalang (puppet master). From 1987 to 1997, he engaged in an intensive process of mantra gerak (movement mantra) or joged amerta at Lemah Putih (with Suprapto Suryodarmo).

Agus Bimo Prayitno lahir di Wonogiri, 16 Agustus 1959, anak seorang guru SD dan seorang dalang. Sejak kecil ia dilatih orang tua laku prihatin. Ia mendapatkan pendidikan formal Sastra Jawa  di UNS, Solo (lulus 1986) dengan menyusun penelitian” Mantra Aji-aji Jawa (lesan)”. Pada tahun 1987 hingga 1997, ia  belajar dan berproses secara intensif mantra gerak (joged amerta) di Padepokan Lemah Putih bersama Suprapto Suryodarmo.

Tags: Agus Bimo Prayitno Video Amerta

Leave A Comment Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Instagram

This error message is only visible to WordPress admins

Error: No feed with the ID 2 found.

Please go to the Instagram Feed settings page to create a feed.

Twitter

Tweets by crcsugm

Universitas Gadjah Mada

Gedung Sekolah Pascasarjana UGM, 3rd Floor
Jl. Teknika Utara, Pogung, Yogyakarta, 55284
Email address: crcs@ugm.ac.id

 

© CRCS - Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY