Suhadi Cholil | CRCS | Article
Pada tahun 1977, Mochtar Lubis berceramah di Taman Ismail Marzuki yang kemudian dibukukan dengan judul “Manusia Indonesia”. Saya menduga, kalau ceramah itu dilakukan hari-hari ini, Mochtar akan menambahkan satu karakter lagi dalam karakter ketujuh, Manusia Indonesia: Manusia Koruptif.
Belum usai gaduh kasus korupsi di Kemenpora dan Kemnakertrans, atau sebelumnya hingar-bingar kasus Century dan Gayus, kini diduga Banggar DPR pun melakukan penggembungan (mark up) APBN tahun 2011 senilai Rp 27,5 triliun. Meratanya korupsi hampir di setiap sektor birokrasi pemerintahan dari eksekutif, yudikatif, sampai legislatif memunculkan pertanyaan besar, benarkah manusia Indonesia itu manusia Koruptif?
Mungkin ini terlalu berlebihan, karena masih cukup banyak orang yang bersih, misalnya pemerintahan di kota Surakarta yang cukup mendapat apresiasi nasional sebagai kota yang relatif bersih dari korupsi. Betul! Tapi dengan praduga apa lagi kita terus menyaksikan suburnya praktik korupsi di negeri kita walaupun secara retorik Presiden, wakil rakyat, sampai kepala daerah selalu menggebu-gebu akan memberantas korupsi, terutama saat mereka belum terpilih.
Manusia Koruptif?
Sinyalemen keberadaan manusia koruptif sebenarnya secara implisit telah disebut Mochtar dalam pengantar buku “Manusia Indonesia”-nya. Mochtar menceritakan suatu kali dia naik pesawat ke luar negeri. Tidak jauh dari tempat duduknya, ada dua orang asing bercakap-cakap.
Seorang darinya mengeluh bosan tinggal di Indonesia. Sudah menunggu empat bulan surat izin penanaman modal perusahaannya tidak turun-turun. Seorang yang lain menimpali, “Ah, kamu salah. Kamu tak tahu bahwa di Jakarta itu uang memperlancar segalanya… You know”. Tambahnya, “You can buy everybody in Jakarta (kamu bisa beli siapapun di Jakarta)”.
Lalu Mochtar menulis, “Wah, buseet. Darah naik ke kepala saya. Saya kan penduduk Jakarta juga. Ini penghinaan luar biasa”. Mochtar ingin menampar si pengucap kalimat itu, tapi urung. Dia ragu jangan-jangan apa yang dikatakan orang itu benar adanya.
Sebelum ceramah Mochtar tahun 1977 tersebut, rupanya para sarjana dan sastrawan sudah mulai menulis korupsi dengan istilah generik. Pramoedya Ananta Toer menulis sebuah novel yang diterbitkan oleh N.V. Nusantara dengan judul “Korupsi” pada tahun 1954. Pada tahun 1961 penerbit ini mencetak ulang edisi kedua.
Tokoh “aku” dalam novel Pramoedya adalah pegawai menengah di pemerintahan yang jatuh melarat karena kejujurannya. Akhirnya dia menyerah, ingin juga menikmati lezatnya korupsi seperti lazim dilakukan teman sejawatnya. Dalam karir korupsi pertamanya, “aku” mendapatkan suap sebesar Rp 5.000,-
Syed Hussein Alatas menulis buku dengan judul “the Sociology of Corruption” yang diterbitkan oleh Donald Moore Press Ltd. di Singapura tahun 1968. Karya Alatas ini banyak mengambil contoh kasus korupsi di Indonesia, selain di Malaysia dan Amerika Latin. Kalau di Malaysia, kasus korupsi kini relatif lebih tidak menggurita, tidak demikian keadaannya di Indonesia.
Syed Hussein Alatas menyebut korupsi sebagai “a shady transaction” (sebuah tukar menukar yang curang). Mengutip Djakarta Paper, Alatas antara lain mengungkapkan kasus penjualan senjata oleh petinggi militer di Jakarta pada tahun 1967 dengan harga Rp 11.000,- kepada pribadi dan lebih sering untuk tujuan kriminal.
Dari karya fiksi maupun non-fiksi tersebut, kita bisa mencermati sekitar lima puluh tahun lalu jumlah angka nol dalam sebuah kasus korupsi adalah “tiga” (ribuan). Sekarang pada umumnya telah berkembang menjadi “sembilan” (milyaran).
Dari perbandingan sederhana ini, kita bisa menyimpulkan “inflasi” korupsi dalam jangka lima puluh tahun di Indonesia adalah sekitar sepuluh ribu persen. Inilah inflasi terbesar dalam sejarah ekonomi manusia.
Selain eskalasi jumlah uang rakyat yang dikorupsi oleh para koruptor naik drastis dibanding lebih dari empat puluh tahun lalu, praktik korupsi setelah era Reformasi juga menunjukkan persebarannya yang kian luas. Hampir sulit ditemukan birokrasi pemerintah yang bersih dari praktik korupsi. Kalau demikian adanya, masihkan kita berani mengelak identifikasi manusia Indonesia manusia koruptif?
Masihkah ada Harapan pada Agama
Pada umumnya kita berharap, agama bisa memberi inspirasi yang efektif atas problem korupsi di negeri ini. Karena itu, sebagian pemuka agama meluncurkan diskursus keagamaan anti-korupsi untuk mencoba mengerem pembudayaan korupsi di samping terus menjalankan penegakan hukum.
Pada tahun 2003, NU dan Muhammadiyah membuat deklarasi bersama jihad memerangi korupsi. Bukan main-main, kata yang dipakai: jihad. Pada tahun bersama juga telah diterbitkan buku “Fiqh Korupsi”.
Sebelumnya, pada tahun 2002 PBNU pernah mengeluarkan tausiah (nasehat) anjuran kepada ulama atau kiai untuk tidak menyolatkan jenazah para koruptor. Tausiah ini merupakan sinical yang sangat mendalam.
Tapi kini kita menyaksikan, diskursus keagamaan yang mulai diluncurkan sepuluh tahun yang lalu itu pun tidak mempan. Sepertinya upaya-upaya etis keagamaan tersebut kini tanpa bekas apa-apa.
Alih-alih terus mengawal “jihad” yang telah didengungkan, banyak pihak semakin apatis dengan segala bentuk praktik korupsi. Tidak sedikit pula simpatisan ormas, birokrat keagamaan pemerintah, dan partai berbasis keagamaan yang terjerat hukum dalam kasus korupsi.
Ketika secara diam-diam kita mengafirmasi identifikasi kebudayaan “Manusia Indonesia Manusia Koruptif”, dari perspektif keagamaan jangan-jangan kita sedang dalam proses menyepakati bahwa korupsi merupakan “fitrah” manusia Indonesia. Padahal fitrah manusia merupakan identifikasi paling esensial dari manusia.
Meskipun kadang kita masih menyaksikan, misalnya statemen para tokoh agama tentang “kebohongan” yang memberikan semangat pada pemberantasan korupsi, atau gerakan lintas agama belakangan ini yang mengkritik keras berbagai praktik korupsi, tetapi sejujurnya harapan kita pada agama kian pupus.
Pupusnya harapan pada agama ini muncul sebab pada kenyataannya meskipun berbagai diskursus keagamaan untuk menentang korupsi dilontarkan, tapi tidak ada dorongan lahirnya gerakan memerangi korupsi secara lebih masif dan ajeg. Gerakan-gerakan yang ada bersifat sangat insidentil. Para tokoh agama yang aktif dalam gerakan tersebut pun tidak jarang terjebak pada dilema ketika konstituen ormas yang dipimpinnya terjerat hukum dalam kasus korupsi.
Inspirasi dari India
Tanpa mengurangi apresiasi terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), lembaga lain dan individu-individu yang sedang bekerja sangat keras untuk memberangus korupsi, tidak bisa dipungkiri bahwa banyak dari rakyat Indonesia hampir frustasi menyaksikan pemberitaan kasus korupsi yang terus berjibun.
Pada satu sisi hal itu menunjukkan keberhasilan pers dan penegak hukum. Tapi tidak bisa dipungkiri perasaan publik mempertanyakan mengapa pembongkaran kasus dan penegakan hukumnya tidak pernah tuntas. Di sisi lain terus bergulirnya pembongkaran praktik korupsi “baru” memperparah frustasi rakyat.
Secara lirih inspirasi gerakan anti-korupsi terdengar dari India yang dipimpin oleh Anna Hazare, seorang pengikutr Mahatma Gandhi, sebagaimana juga telah banyak ditulis oleh media cetak dan media online di Indonesia. Menariknya, meskipun meminjam beberapa prinsip gerakan damai Gandhi, Hazare dan ribuan pendukungnya mengampanyekan anti-korupsi dan gerakannya melalui twitter, facebook, dan teknologi jejaring sosial lainnya.
Kalau harapan terhadap lembaga keagamaan dan diskursus keagamaan hampir pupus, mungkin gerakan model Hazare ini bisa menjadi inspirasi gerakan anti-korupsi di Indonesia. Gerakan model ini juga bukan benar-benar baru bagi kita. Saat kasus “Cicak-Buaya” mengemuka dulu, kita pernah berhasil menunjukkan bahwa masyarakat tidak berpangku tangan menerima situasi buruk yang ada. Gerakan itu bisa mengandalkan pemimpin kultural yang kuat seperti Hazare, tapi mungkin juga tidak seperti dalam model revolusi di Mesir dan Tunisia.
Tapi kalau sampai gerakan tersebut tidak lahir kembali dan korupsi terus saja dipraktikkan dengan leluasa, jangan-jangan kita sedang mengamini bahwa manusia Indonesia memang manusia koruptif. Gerakan anti korupsi yang kuat hanya akan lahir bila dalam setiap batin warga bangsa ini ada jiwa kuat untuk menolak segala bentuk praktik korupsi. Kalau tidak, mungkin kita tidak perlu terlalu gelisah, karena jangan-jangan korupsi telah kita sepakati menjadi kebudayaan bangsa kita.
Oleh: Suhadi Cholil (Dosen di Prodi Agama dan Lintas Budaya, Sekolah Pascasarjana UGM)
Tulisan ini juga dimuat oleh Harian Solopos edisi Kamis, 13 Oktober 2011