• Tentang UGM
  • Portal Akademik
  • Pusat TI
  • Perpustakaan
  • Penelitian
Universitas Gadjah Mada
  • About Us
    • About CRCS
    • Vision & Mission
    • People
      • Faculty Members and Lecturers
      • Staff Members
      • Students
      • Alumni
    • Facilities
    • Library
  • Master’s Program
    • Overview
    • Curriculum
    • Courses
    • Schedule
    • Admission
    • Scholarship
    • Accreditation and Certification
    • Academic Collaborations
      • Crossculture Religious Studies Summer School
      • Florida International University
    • Student Satisfaction Survey
    • Academic Documents
  • Article
    • Perspective
    • Book Review
    • Event Report
    • Class Journal
    • Interview
    • Wed Forum Report
    • Thesis Review
    • News
  • Publication
    • Reports
    • Books
    • Newsletter
    • Monthly Update
    • Infographic
  • Research
    • CRCS Researchs
    • Resource Center
  • Community Engagement
    • Film
      • Indonesian Pluralities
      • Our Land is the Sea
    • Wednesday Forum
    • ICIR
    • Amerta Movement
  • Beranda
  • Tesis
  • Marapu dalam Bencana Alam: Pemaknaan dan Respons Masyarakat Desa Wunga-Sumba Timur terhadap Bencana Alam

Marapu dalam Bencana Alam: Pemaknaan dan Respons Masyarakat Desa Wunga-Sumba Timur terhadap Bencana Alam

  • Tesis
  • 17 June 2011, 00.00
  • Oleh:
  • 0

Judul: Marapu dalam Bencana Alam: Pemaknaan dan Respons Masyarakat Desa Wunga-Sumba Timur terhadap Bencana Alam

Penulis: Jimmy Marcos Immanuel (CRCS, 2010)

Kata-kata Kunci: Marapu, etnoekologi, bencana alam, pemaknaan. respons, dan ritual

Abstrak:


Tulisan ini merupakan kajian atas realitas kehidupan sebuah masyarakat lokal di Sumba, sebuah tempat yang rentan bencana di bagian Timur Indonesia. Selama dua dekade terakhir ini, desa yang bernama Wunga, di Sumba Timur, telah mengalami beberapa fenomena alam yang terlihat membahayakan, seperti hama belalang/ Locusta Migratoria Manilensis (1998-2005), hama rumput Tai Kabala/Chromolina odorata (2006), angin puting beliung (2007), gempa bumi (2007 and 2009), kelaparan (2007), kemarau dan kekeringan ekstrem (hampir setiap tahun), hama katak (2007), dan kebakaran (beberapa kali). Desa ini dianggap sebagai tempat pertama nenek moyang orang Sumba menginjakkan kakinya di daratan. Desa yang dianggap tua ini menghadapi persoalan ekologis yang disebutkan di atas, dan persoalan tersebut dapat dilihat pula sebagai bentuk bencana alam.

 

Dengan menggunakan pendekatan etnoekologi, penelitian ini menemukan bahwa penduduk Wunga, yang mayoritas penduduknya (84,5%) adalah penganut Marapu (kepercayaan lokal di Sumba), mempunyai pemaknaan yang khas (emik) terhadap fenomena alam dan berbeda dari pandangan pemerintah dan akademisi yang mewakili pandangan global tentang bencana alam. Perbedaan itu terletak pada taksonomi-taksonomi dan perspektif yang dibuat oleh penduduk Wunga terhadap ekologinya.

 

Tulisan ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan mengenai bagaimana penduduk Wunga memandang lingkungan mereka yang rawan bencana, apa pemaknaan dan respons yang diberikan oleh masyarakat Wunga terhadap fenomena alam mereka, dan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi terbentuknya pemaknaan dan respons mereka tersebut. Kita akan melihat bagaimana identitas lokal, yakni pengikut Marapu, mempengaruhi diskursus tentang bencana alam– yang berbeda dari konstruksi global mengenai bencana alam itu sendiri. Isu politik lingkungan dan kekuatan pasar akan digunakan pula sebagai kerangka analisis dan/atau interpretasi penulis dalam memahami persoalan kemiskinan di Wunga–sebagai sebuah faktor resiko yang dapat menyebabkan bencana di kemudian hari. Respons dominan mereka, yakni hamayangu/ ritual, juga akan dianalisis dalam rangka memahami signifikansi dari respons tersebut terhadap kehidupan penduduk Wunga sendiri. Ritual akan dilihat sebagai bentuk kemampuan penduduk (resilience) menghadapi persoalan alamnya, mekanisme adaptasi mereka terhadap lingkungannya, “makanan bersama” yang menyimbolkan identitas bersama, dan cara mereka menjaga aspek maskulinitas dalam masyarakatnya.

Leave A Comment Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Instagram

A M P A T Baru kemarin, pemerintah YTTA melakukan A M P A T
Baru kemarin, pemerintah YTTA melakukan aksi simsalabim dengan mencabut empat konsesi tambang di salah satu gugusan Red Line. Aksi "heroik" itu terlihat janggal ketika perusahaan yang paling bermasalah dalam perusakan lingkungan, bahkan yang menjadi pusat viral, justru dilindungi. Tentu bukan karena cocokologi dengan nama Raja Ampat sehingga hanya empat perusahaan yang dicabut konsesinya. Bukan cocokologi juga ketika Raja Ampat akan menjadi lokus tesis yang akan diuji esok di CRCS UGM. Berkebalikan dengan aksi badut jahat di Raja Ampat, @patricia_kabes akan bercerita bagaimana komunitas masyarakat di Aduwei mengelola laut dengan lestari melalui sasi. Berangkat dari negeri timur, peraih beasiswa LPDP ini justru menjadi yang pertama di angkatannya untuk menambahkan dua huruf pada akhir namanya.
For people who learn religious studies, it is comm For people who learn religious studies, it is common to say that "religion", as a concept and category, is Western modern invention. It is European origin, exported globally through colonialism and Christian mission. Despite its noble intention to decolonize modern social categories, it suffers from historical inaccuracy. Precolonial Islamic Malay and Javanese texts in the 16th and 17th century reflect a strong sense of reified religion, one whose meaning closely resembles the modern concept.

Come and join @wednesdayforum discussion at UGM Graduate School building, 3rd floor. We provide snacks and drinks, don't forget to bring your tumbler. This event is free and open to public.
I N S P I R A S I Secara satir, penyandang disabil I N S P I R A S I
Secara satir, penyandang disabilitas baru mendapatkan sorotan ketika dia mampu berprestasi, mampu mengatasi segala rintangan dan kekurangan. Singkat kata, penyandang disabilitas kemudian menjadi sumber inspirasi bagi nondisabilitas. Budi Irawanto menyebutnya sebagai "inspirational porn". Simak ulasan lengkapnya di situs web crcs ugm.
Human are the creature who live between the mounta Human are the creature who live between the mountain and the sea. Yet, human are not the only one who live between the mountain and the sea. Human are the one who lives by absorbing what above and beneath the mountain and the sea. Yet, human are the same creature who disrupt and destroy the mountain, the sea, and everything between. Not all human, but always human. By exploring what/who/why/and how the life between the mountain and the sea is changing, we learn to collaborate and work together, human and non-human, for future generation—no matter what you belief, your cultural background.

Come and join @wednesdayforum with Arahmaiani at UGM Graduate School building, 3rd floor. We provide snacks and drinks, don't forget to bring your tumbler. This event is free and open to public.
Follow on Instagram

Twitter

Tweets by crcsugm

Universitas Gadjah Mada

Gedung Sekolah Pascasarjana UGM, 3rd Floor
Jl. Teknika Utara, Pogung, Yogyakarta, 55284
Email address: crcs@ugm.ac.id

 

© CRCS - Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY

[EN] We use cookies to help our viewer get the best experience on our website. -- [ID] Kami menggunakan cookie untuk membantu pengunjung kami mendapatkan pengalaman terbaik di situs web kami.I Agree / Saya Setuju