Oleh: Jimmy Marcos Immanuel
Berdasarkan data dari beberapa penelitian dan pemerintah lokal, semakin hari populasi penganut Marapu di Sumba Timur mengalami penurunan. Penurunan ini disebabkan beberapa faktor, eksternal maupun internal. Hidup selama 2 bulan bersama penganut Marapu di desa Wunga, Sumba Timur, membantu peneliti merasakan dan memahami faktor-faktor tersebut, memprediksi masa depan agama lokal ini, sekaligus merasakan keresahan para penganut Marapu.
Hampir serupa dengan sebagian besar agama-agama lokal lainnya di Indonesia, Marapu hanya diakui sebagai aliran kepercayaan. Para penganutnya hampir tidak mendapatkan porsi di dalam pemerintahan. Untuk menjadi pegawai pemerintahan, seseorang haruslah menganut agama nasional, yakni keenam agama besar di Indonesia. Di desa tempat peneliti tinggal, aparat desa masih ditoleransi beragama Marapu oleh karena keterbatasan sumber daya manusia. Lebih dari 80 persen dari total penduduk desa Wunga adalah penganut Marapu.
Marapu ini dianggap oleh orang yang bukan penganutnya sebagai sebuah aliran kepercayaan asli Sumba. Umumnya orang tersebut memanggil mereka dengan sebutan orang kafir, dan bahkan penganut Marapu sendiri menganggap diri mereka sendiri sebagai kafir. Pemaknaan kafir oleh masyarakat Marapu bukanlah dalam pemaknaan negatif, tetapi lebih sebagai pengistilahan lain untuk mereka sendiri yakni sebagai penganut kepercayaan.
Para penganut Marapu percaya akan adanya ilah tertinggi atau yang saat ini disebut oleh mereka sebagai Tuhan. Sebelumnya sang ilah tertinggi tersebut hanya disebut sebagai “bakulu maulang mata, balaru kacilu“? (bermata besar dan bertelinga lebar). Nama sang ilah tidak boleh disebutkan secara langsung, hanya dengan perumpamaan demikian, dan bahkan mereka sendiri tidak mengetahui namanya. Istilah Tuhan biasanya dipakai ketika mereka bertemu dengan orang-orang di luar komunitas atau agama mereka.
Mereka percaya bahwa mereka tidak dapat berkomunikasi langsung dengan sang ilah. Apabila mereka ingin berkomunikasi dengan Tuhan, mereka harus melakukan hamayangu (sembahyang/ritual) kepada roh nenek moyang (Marapu) melalui pengorbanan hewan tertentu (ayam/babi/kambing/kerbau) dan dipimpin oleh wunang (juru sembahyang). Pesan dari masyarakat kepada sang Ilah akan disampaikan oleh Marapu, selanjutnya Marapu akan menyampaikan pesan dari sang Ilah kepada masyarakat melalui hati dari hewan yang dikorbankan.
Meskipun agama lokal ini masih ada sampai saat ini, namun jumlah penganutnya berangsur menurun oleh karena faktor eksternal. Menurunnya jumlah penganut tersebut ditandai dengan pendidikan di sekolah. Sejak Sekolah Dasar (SD) guru yang kebanyakan beragama Kristen mengharuskan anak-anak dari para pengikut Marapu untuk memilih salah satu “agama nasional” untuk dipelajari sekaligus menjadi identitasnya di dokumen sekolah. Guru umumnya mengarahkan mereka untuk memilih Kristen. Ketika mereka ingin menginjakkan kaki di Sekolah Menengah Atas (SMA) atau sederajat, sebagian besar sekolah mengharuskan mereka untuk mempunyai surat baptis atau menjadi warga gereja tertentu. Pada saat ini bagi penganut Marapu yang ingin membuat Kartu Tanda Penduduk (KTP), nama agama mereka tidak dicantumkan pada kolom agama, kecuali mereka mau bersikeras dan beradu pendapat dengan pegawai pembuatan KTP, seperti yang dialami oleh salah satu warga di desa Wunga ini.
Terhadap fenomena diatas, penganut Marapu saat ini lebih memilih untuk membiarkan anak-anaknya menganut agama lain selama anak mereka menginginkannya dan mendapat pendidikan yang lebih baik dari orangtua mereka. Kondisi ini dikarenakan pula harapan orangtua terhadap anak untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik, terutama di Kota, agar dapat membantu meringankan beban ekonomi keluarga di desa. Meskipun ditantang dengan persoalan masa depan penganut Marapu ke depan yang akan menurun dan bahkan hilang, para penganut Marapu percaya hal tersebut tidak akan terjadi, karena sang Ilah dan Marapu akan mempertahankan sejumlah orang untuk meneruskan agama ini.
Persoalan ekonomi, seperti yang disebutkan diatas, menjadi salah satu faktor internal yang turut menyebabkan penurunan jumlah ini. Hamayangu yang mereka lakukan menuntut pengorbanan hewan yang tidak sedikit di tengah krisis ekonomi yang mereka hadapi. Intensitas hamayangu tersebut sangat tergantung dengan persoalan yang dihadapi keluarga atau orang lain di sekitar mereka yang membutuhkan bantuan hewan, dan proses adat yang mereka lalui. Oleh karena dirasa Kristen tidak terlalu banyak menuntut pengorbanan yang demikian, sebagian dari mereka lebih memilih pindah ke Kristen, selain oleh karena Kristen dianggap lebih maju atau mewakili perkembangan jaman (superior). Meskipun demikian, persoalan sebab-akibat yang diceritakan dalam agama Marapu membuat mereka masih setia ataupun ragu untuk meninggalkan agama ini. Fungsi sosial dari agama ini juga mengikat setiap orang pada lingkungan penganut Marapu untuk melakukan tradisi-tradisi mereka secara bersama, meskipun di antara mereka sudah beragama Kristen. Kemiskinan bersama terjadi di sini.
Kesulitan untuk mengakses sumber daya alam, seperti alang-alang dan bambu untuk rumah mereka, khususnya rumah adat, turut menjadi salah satu faktor internal yang menyebabkan semakin beratnya persoalan ekonomi rumah tangga. Padahal, rumah mempunyai berbagai fungsi penting dalam kaitannya dengan agama dan tradisi mereka. Fungsi sosial, ekonomi dan politik turut menjadi bagian dari fungsi rumah adat mereka. Kesulitan ini ditambah lagi dengan pencurian hewan (oleh para pencuri dari desa lain bekerjasama dengan pengusaha-pengusaha besar antar-pulau) yang tak berujung dan menyebabkan kerugian besar dari para penduduk desa.
Dilema yang tampak dari para penganut Marapu ini menunjukkan pula masa depan dari agama lokal ini. Kurangnya perhatian dari pemerintah terhadap eksistensi dari agama Marapu turut menjadi salah satu penyebabnya. Selama ini belum ada usaha untuk memperjuangkan bagaimana agama ini dapat diakui sebagai salah satu agama di Indonesia, seperti halnya usaha pemerintah lokal Kalimantan dan masyarakat Dayak dalam mengangkat agama Kaharingan. (JMI)