• Tentang UGM
  • Portal Akademik
  • Pusat TI
  • Perpustakaan
  • Penelitian
Universitas Gadjah Mada
  • About Us
    • About CRCS
    • Vision & Mission
    • People
      • Faculty Members and Lecturers
      • Staff Members
      • Students
      • Alumni
    • Facilities
    • Library
  • Master’s Program
    • Overview
    • Curriculum
    • Courses
    • Schedule
    • Admission
    • Scholarship
    • Accreditation and Certification
    • Academic Collaborations
      • Crossculture Religious Studies Summer School
      • Florida International University
    • Student Satisfaction Survey
    • Academic Documents
  • Article
    • Perspective
    • Book Review
    • Event Report
    • Class Journal
    • Interview
    • Wed Forum Report
    • Thesis Review
    • News
  • Publication
    • Reports
    • Books
    • Newsletter
    • Monthly Update
    • Infographic
  • Research
    • CRCS Researchs
    • Resource Center
  • Community Engagement
    • Film
      • Indonesian Pluralities
      • Our Land is the Sea
    • Wednesday Forum
    • ICIR
    • Amerta Movement
  • Beranda
  • Articles
  • Masihkah Yogyakarta Istimewa?

Masihkah Yogyakarta Istimewa?

  • Articles, Headline, Opinions
  • 23 September 2015, 14.43
  • Oleh:
  • 0

Kelli Swazey | CRCS

Kelli Swazey is a lecturer and faculty member of CRCS.

CRCS-18012013-78-kellie Saya ingin memulai dengan berbagi cerita tentang pengalaman saya enam bulan yang lalu. Suatu malam dalam perjalanan pulang ke rumah, saya sendirian naik motor dan saya menjadi korban perampokan di Ring Road Utara. Syukurlah, ada para pekerja yang sedang memperbaiki sebuah hotel yang terletak di pinggir jalan tempat saya mengalami perampokan malam itu. Para pekerja itu menyelamatkan saya, karena ketika saya jatuh dari motor, saya sempat pingsan. Orang yang menyelamatkan saya meminta maaf berulang kali. Seperti banyak orang lain yang mendengar cerita tentang musibah yang saya alami, mereka merespon dengan kecurigaan bahwa orang yang menyerang saya pasti orang pendatang. Ternyata, orang-orang yang merampok saya adalah dua anak muda dari Sleman. Salah satu pelakunya masih ABG, berumur sekitar usia anak SMA. Selama diopname di rumah sakit, saya tidak habis pikir dan bertanya pada diri sendiri apa motivasi mereka.

Selama lima tahun terakhir saya menyaksikan perubahan yang terjadi di kota Yogyakarta dan sekitarnya. Secara teoretis perubahan di Yogya masa kini lebih cenderung ke “pembangunan”, atau dengan kata lain perkembangan yang sesuai dengan jaman modern. Tampaknya setiap bulan ada rencana untuk membangun hotel baru, dan tidak kurang dari tiga mall sudah muncul di wajah kota Yogya dalam beberapa bulan terakhir. Dengan perkembangan tersebut, terdapat aliran kebudayaan baru, aliran budaya konsumtif yang biasanya hanya dapat dilakukan oleh masyarakat kelas menengah. Dalam istilah ilmu sosial, fenomena ini dikenal sebagai “gentrification”, di mana orang dengan pendapatan berlebih (dispensible income) dapat mengklaim dan membangun kembali (rebuild) atau memugar (rehabilitate) ruang-ruang urban agar lebih sesuai dengan kelas dan gaya hidup mereka. Tapi dengan investasi tersebut, mereka menguasai akses atas tanah dan sumber daya yang ada sekaligus mengambil alih, merepresentasikan dan mengkonsumsi kebudayaan setempat.

Kembali ke pengalaman perampokan saya, pikiran saya mengarah pada dampak “gentrification”, di mana penduduk lokal mengalami keterbatasan kemampuan untuk ikut serta dalam budaya baru yang muncul di tempat tinggalnya, dan pada saat yang sama, ruang ekspresi kebudayaan mereka semakin dipersempit. Para anak muda lokal melihat banyak hotel bermunculan di sekitar tempat tinggal mereka sementara mereka sendiri tidak memiliki akses ke hotel-hotel tersebut. Mereka menyaksikan hilangnya lahan dan jaminan mata pencaharian. Mereka melihat berkembangnya sebuah budaya kelas menengah namun mereka tidak menjadi bagian dari perkembangan tersebut. Mereka melihat hilangnya fenomena dan praktek-praktek yang terkait dengan sejarah dan realitas mereka. Mereka merasa tidak memiliki jalan keluar untuk mengekspresikan harapan masa depan mereka dan harapan tempat tinggal mereka di masa depan sehingga tidak heran bahwa mereka marah dan frustasi.

Baca selengkapnya di: http://kelliswazey.squarespace.com/blog/2015/9/9/hari-keistimewaan-yogyakarta-2015

*Tulisan ini dipresentasikan di Acara Peringatan Hari Keistimewaan, Diskusi Budaya, Dinas Kebudayaan DIY 2 Septemember 2015

Tags: Hari Keistimewaan Jogja Istimewa Jogja Hari ini Jogjakarta Pemuda. Yogya

Leave A Comment Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Instagram

Since the end of 19th century, the Catholic Church Since the end of 19th century, the Catholic Church has conducted missionary activities among the Javanese in Muntilan, Indonesia, establishing it as the first Catholic mission site in Java. The missionary work not only impacted the Javanese but also the Chinese descendants in Muntilan. The conversion of the Chinese to Catholicism in sparked debates among the Chinese community, who perceived it as a contributing factor to the abandonment of Chinese characteristics. This contest leads to the dynamic and diverse identities of Chinese Catholics within the community, as Chinese characteristics and Catholic faith mutually influence each other.

Come and join the #wednesdayforum discussion with @astridsyifa at the UGM Graduate School building, 3rd floor. We provide snacks and drinks, don't forget to brong your tumbler. This event is free and open to public
Selamat kepada peserta terpilih!!! Ada namamu di s Selamat kepada peserta terpilih!!!
Ada namamu di situ?

😎

peserta terpilih akan dihubungi oleh panitia
yoohoooo... are you waiting for this announcement? yoohoooo...
are you waiting for this announcement?

#studentexchange #religiousstudies #kaburajadulu
Setiap bahasa punya pendekatan dan penyebutan berb Setiap bahasa punya pendekatan dan penyebutan berbeda untuk menamai "pendidikan". Bahasa Arab membedakan antara tarbiyah, ta'lim, tadris, dan ta'dib ketika berbicara tentang "pendidikan". Sementara itu, bahasa Inggris memaknai "pendidikan" sebagai educare (latin) yang berarti 'membawa ke depan'. Jawa memaknai pendidikan sebagai panggulawênthah, 'sebuah upaya mengolah', dan upaya untuk mencari pendidikan itu disebut sebagai "ngelmu", bukan sekadar mencari melainkan juga mengalami. Apa pun pemaknaannya, hampir semua peradaban sepakat bahwa pendidikan adalah kunci untuk memanusiakan manusia.
Load More Follow on Instagram

Twitter

Tweets by crcsugm

Universitas Gadjah Mada

Gedung Sekolah Pascasarjana UGM, 3rd Floor
Jl. Teknika Utara, Pogung, Yogyakarta, 55284
Email address: crcs@ugm.ac.id

 

© CRCS - Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY

[EN] We use cookies to help our viewer get the best experience on our website. -- [ID] Kami menggunakan cookie untuk membantu pengunjung kami mendapatkan pengalaman terbaik di situs web kami.I Agree / Saya Setuju