• Tentang UGM
  • Portal Akademik
  • Pusat TI
  • Perpustakaan
  • Penelitian
Universitas Gadjah Mada
  • About Us
    • About CRCS
    • Vision & Mission
    • People
      • Faculty Members and Lecturers
      • Staff Members
      • Students
      • Alumni
    • Facilities
    • Library
  • Master’s Program
    • Overview
    • Curriculum
    • Courses
    • Schedule
    • Admission
    • Scholarship
    • Accreditation and Certification
    • Academic Collaborations
      • Crossculture Religious Studies Summer School
      • Florida International University
    • Student Satisfaction Survey
    • Academic Documents
  • Article
    • Perspective
    • Book Review
    • Event Report
    • Class Journal
    • Interview
    • Wed Forum Report
    • Thesis Review
    • News
  • Publication
    • Reports
    • Books
    • Newsletter
    • Monthly Update
    • Infographic
  • Research
    • CRCS Researchs
    • Resource Center
  • Community Engagement
    • Film
      • Indonesian Pluralities
      • Our Land is the Sea
    • Wednesday Forum
    • ICIR
    • Amerta Movement
  • Beranda
  • Tesis
  • Masjid yang Terbelah di Gunung Sari

Masjid yang Terbelah di Gunung Sari

  • Tesis
  • 31 March 2010, 00.00
  • Oleh:
  • 0

Judul: MASJID YANG TERBELAH DI GUNUNG SARI (Tarik-Menarik antar Aliran Islam dalam Masyarakat Jawa)

Penulis: Ahmad Salehudin (CRCS, 2006)

Kata-kata Kunci: ekspresi keberagamaan, interksi sosial-keagamaan, dan konstruksi sosial-keagamaan

Abstrak:

 

Gunung Sari adalah sebuah dusun yang semua penduduknya beragama Islam. Pada awalnya di Gunung Sari hanya ada satu langgar dan semua penduduknya berpaham Islam-NU. Masuknya kelompok Islam lain secara drastis telah mengubah wajah Islam di Gunung Sari. Dari hanya satu rombongan Islam berubah menjadi tiga rombongan Islam yaitu rombongan NU, Muhammadiyah, dan Islam Tauhid. Langgar yang pada awalnya sebagai tempat beribadah dan pertemuan semua masyarakat Gunung Sari dirobohkan, kemudian dibangun tiga buah masjid yaitu Masjid Zuhud milik Islam Tauhid, Masjid Miftahul Huda milik NU, dan Masjid al-Ikhlas milik Muhammadiyah. Adanya tiga rombongan keagamaan dan tiga masjid menunjukkan adanya perbedaan ekspresi ke-Islaman di Gunung Sari.

 

Penelitian ini secara khusus akan membahas tiga hal, yaitu: bagaimana ekspresi keberagamaan masyarakat Gunung Sari; bagaimana ekspresi keberagamaan tersebut mempengaruhi interaksi sosial-keagamaan masyarakat; dan bagaimana ekspersi keberagamaan tersebut dikonstruksi. Dengan meneliti ketiga hal tersebut, maka diharapkan penelitian ini dapat menghadirkan beragam konsep “kebenaran” yang dipahami oleh masyarakat dan bukan dengan meminjam pandangan orang luar. Secara lebih luas, penelitian ini akan melihat kembali konsep Islam sinkretis yang disematkan kepada Islam, khususnya Jawa, seperti yang diungkapkan oleh Geertz, Mulder, dan Beatty.

 

Untuk mencapai tujuan tersebut, penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan data dianalisis secara deskriptif-analitis. Data dikumpulkan, diolah, dan dianalisis secara bertahap (multistage dan multilevel) dengan sampel perposif. Teknik yang dipakai meliputi: dokumentasi, observasi, dan wawancara mendalam (in-depth interview). Dalam penelitian ada beberapa teori yang diagunakan yaitu: agama sebagai sistem kebudayaan (Geertz), konstruksi sosial (Berger), dan ekspresi Keberagamaan (Wach). Penelitian dilakukan antara bulan Oktober 2005 sampai bulan Mai 2006.

 

Hasil penelitian menunjukkan bahwa bentuk ekspresi keberagamaan masyarakat Gunung Sari, baik secara pemikiran seperti upacara-upacara lingkaran hidup, ritual, dan persekutuannya yang terbentuk menjadi NU, Muhammadiyah, dan Islam Tauhid, merupakan respons terhadap realitas mutlak (Allah). Perbedaan paham keagamaan mempunyai pengaruh terhadap interaksi sosialnya seperti adanya ungkapan: wong ora duwe akhlaq (orang tidak punya ahlak), wong Jowo ora njawani (orang Jawa yang tidak bertingkah laku Jawa), dan panganane asu (makanan anjing). Ekspresi keagamaan tersebut dipengaruhi oleh konstruksi sosial keberagamaan yang dilakukan oleh elit agama terutama bagaimana mereka memahami teks-teks suci, warisan ulama salaf, dan bagaimana mereka melihat hubungan antara agama dan tradisi lokal. Tak pelak, perbedaan pemahaman keagamaan telah melahirkan beragam wajah Islam dan pada saat bersamaan melahirkan beragam jenis orang taat.

Leave A Comment Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Instagram

R A G A Ada beberapa definisi menarik tentang raga R A G A
Ada beberapa definisi menarik tentang raga di KBBI. Raga tidak hanya berarti tubuh seperti yang biasa kita pahami dalam olah raga dan jiwa raga. Raga juga dapat berarti keranjang buah dari rotan, bola sepak takraw, atau dalam bahasa Dayak raga berarti satuan potongan daging yang agak besar. Kesemua  pengertian itu menyiratkan raga sebagai upaya aktif berdaya cipta yang melibatkan alam. Nyatanya memang keberadaan dan keberlangsungan raga itu tak bisa lepas dari alam. Bagi masyarakat Dondong, Gunungkidul, raga mereka mengada dan bergantung pada keberadaan telaga. Sebaliknya, keberlangsungan telaga membutuhkan juga campur tangan raga warga. 

Simak pandangan batin @yohanes_leo27  dalam festival telaga Gunungkidul di web crcs ugm
K O S M O P O L I S Kosmo bermakna semesta, sement K O S M O P O L I S
Kosmo bermakna semesta, sementara polis itu mengacu pada kota yang seupil. Sungguh istilah oksimoron dengan daya khayal maksimal. Namun, nyatanya, yang kosmopolis itu sudah hadir sejak dulu dan Nusantara adalah salah satu persimpangan kosmopolis paling ramai sejagad. Salah satu jejaknya ialah keberadaan Makco di tanah air. Ia bukan sekadar dewa samudra, melainkan kakak perempuan yang mengayomi saudara-saudara jauhnya. Tak heran, ketika sang kakak berpesta, saudara-saudara jauh itu ikut melebur dan berdendang dalam irama kosmopolis. Seperti di Lasem beberapa waktu silam, Yalal Wathon dinyanyikan secara koor oleh masyarakat keturunan tionghoa dan para santri dengan iringan musik barongsai. Klop!

Simak ulasan @seratrefan tentang makco di situs web crcs!
At first glance, religious conversion seems like a At first glance, religious conversion seems like a one-way process: a person converts to a new religion, leaving his old religion. In fact, what changes is not only the person, but also the religion itself. The wider the spread of religion from its place of origin, the more diverse the face of religion becomes. In fact, it often gives birth to variants of local religious expressions or even "new" religions. On the other hand, the Puritan movement emerged that wanted to curb and eradicate this phenomenon. But everywhere there has been a reflux, when people became disaffected with Puritan preachers and tried to return to what they believed their religion was before.

Come and join the #wednesdayforum discussion  at the UGM Graduate School building, 3rd floor. We provide snacks and drinks, don't forget to bring your tumbler. This event is free and open to public.
D H A R M A Dunia ini adalah tempat kita tinggal, D H A R M A
Dunia ini adalah tempat kita tinggal, tempat kita berbagi, dan tempat semua makhluk berada. Sabbe satta bhavantu sukhitatta, semoga semua makhluk hidup berbahagia. Sadhu, sadhu, sadhu
Follow on Instagram

Twitter

Tweets by crcsugm

Universitas Gadjah Mada

Gedung Sekolah Pascasarjana UGM, 3rd Floor
Jl. Teknika Utara, Pogung, Yogyakarta, 55284
Email address: crcs@ugm.ac.id

 

© CRCS - Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY

[EN] We use cookies to help our viewer get the best experience on our website. -- [ID] Kami menggunakan cookie untuk membantu pengunjung kami mendapatkan pengalaman terbaik di situs web kami.I Agree / Saya Setuju