Menafsir Ulang Hubungan Tradisi Cina dan Kekristenan di Indonesia
Ira Chuarsa – 11 Mei 2019
Kebudayaan kaum peranakan Cina telah lama memengaruhi sekaligus menyerap kebudayaan lokal di Indonesia. Hal ini tampak di banyak aspek, mulai dari busana, kosakata (seperti dialek Betawi yang banyak menyerap kosakata Cina-Hokkien), wawasan kuliner (bakmi, bakso, bakpao, kwetiau, dll), pertunjukan seni (seperti barongsai—kata barong berasal dari figur mitologis di Bali dan Jawa, dan sai dalam dialek Hokkien berarti ‘singa’), hingga perayaan hari besar (Imlek, Cap Go Meh, Ceng Beng, dll, yang di sejumlah tempat telah menjadi perayaan komunal yang diikuti oleh banyak orang non-Cina). Secara umum di era pasca-Reformasi, setidaknya di tingkat wacana mengenai penghargaan terhadap keragaman dan kekayaan budaya Nusantara, tradisi Cina kini relatif mendapat keleluasaan untuk tampil di ruang publik.
Namun demikian, hubungan antara tradisi Cina dan kekristenan masih belum semulus seperti yang terjadi dalam akulturasi tradisi Cina dalam budaya lokal. Era pasca-Reformasi memang turut menandakan munculnya kembali sejumlah ekspresi kebudayaan Cina dalam praktik kekristenan di Indonesia, seperti diperbolehkannya kembali ibadah dalam bahasa Mandarin di berbagai gereja berorientasi Cina yang dulu pernah dilarang di masa Orde Baru. Hal ini disusul dengan berdirinya Persekutuan Gereja-gereja Tionghoa di Indonesia (PGTI) sebagai wadah bagi gereja-gereja berorientasi Cina di Indonesia untuk melestarikan bahasa Mandarin sebagai bagian dari warisan budaya Cina.
Akan tetapi, setidaknya satu pertanyaan masih tersisa: Mengapa hanya bahasa Mandarin yang secara eksplisit dilestarikan, dan tidak demikian halnya dengan budaya dan tradisi Cina lainnya, seperti pengunaan dupa, ‘ritual’ pembungkukan badan, dan peletakan makanan di depan altar leluhur? Di satu sisi, reformasi telah berhasil membawa kembali budaya dan tradisi Cina di Indonesia ke tengah-tengah masyarakat luas setelah lama dibungkam oleh pemerintahan Orde Baru. Tetapi di sisi lain, budaya dan tradisi Cina tersebut masih terus mengalami penolakan selektif dari kalangan Cina-Indonesia-Kristen. Hingga taraf tertentu, penolakan selektif ini terrembesi paradigma modern (tetapi sebetulnya sudah lawas) mengenai apa itu ‘agama’ (yang harus murni), ‘budaya lokal’ (yang dipandang mengontaminasi), dan hubungan antara keduanya dalam paradigma mengenai kemodernan yang dikonstruksi dalam wacana kekristenan Barat abad 19.
Cina dan kekristenan di Indonesia
Bagaimana tradisi Cina harus dipahami atau dipraktikan dalam perspektif kekristenan telah menjadi perdebatan lama di pelbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia hingga saat ini. Permasalahan utamanya adalah adanya kepercayaan umum di kalangan etnis Cina yang beragama Kristen, termasuk orang Cina Indonesia, bahwa banyak praktik dalam tradisi Cina yang bertentangan dengan ajaran Kristen. Kepercayaan turun temurun yang diterima dari para pemimpin Kristen dan menyebar di komunitas Cina-Indonesia-Kristen ini umumnya diterima tanpa kritis. Dalam cara pandang ini, menjadi seorang Kristen sejati berarti harus meninggalkan sebagian tradisi budayanya, yang dipercaya tidak sesuai dengan ajaran Kristen.
Negosiasi yang selama ini ditawarkan oleh pemimpin agama Kristen adalah orang Cina-Indonesia-Kristen boleh mengambil bagian dalam praktik tradisi budaya Cina, tetapi secara selektif. Tradisi yang dipercaya berhubungan dengan hal yang irasional, mitos dan kepercayaan agama lain, khususnya Konghucu dan Buddha, tak berterima. Merayakan Imlek diperbolehkan bagi orang Cina-Indonesia-Kristen, tetapi segala hal yang bersifat mitos adalah hal tabu dan dengan demikian harus dijauhi, seperti kepercayaan bahwa pakaian warna merah dan petasan yang digunakan saat Imlek dapat mengusir roh jahat; mengundang barongsai tidak dianjurkan sebab dapat mengundang roh jahat dan dapat tergolong dalam penyembahan berhala.
Tradisi Ceng Beng, atau yang dikenal dengan tradisi ‘sembahyang kubur’, termasuk salah satu tradisi yang sangat dijauhi oleh orang Cina-Indonesia-Kristen karena dalam prosesinya seseorang harus membakar dupa atau hio sambil membungkukkan badan di depan kubur leluhur serta menaruh buah, bunga, dan makanan lainnya di depan kubur leluhur tersebut. Keseluruhan proses tersebut dikategorikan sebagai bentuk penyembahan terhadap arwah orang mati, sedangkan dalam pemahaman umum orang Kristen, penyembahan terhadap apapun selain Tuhan berarti melanggar perintah Tuhan dan karenanya adalah dosa. Teks Alkitab pun seringkali dikutip sebagai justifikasi untuk menolak praktik ritual tradisi tersebut.
Fenomena ini tentu saja menimbulkan perdebatan di internal komunitas Cina-Kristen. Tak sedikit masalah keluarga yang timbul berkenaan dengan adanya anggota keluarga yang bukan Kristen, yang menjalankan tradisi budaya Cina tersebut. Tidak jarang pula perselisihan terjadi akibat adanya pandangan bahwa orang Cina Indonesia yang beragama Kristen tidak lagi berbakti kepada orang tua dan leluhur karena menjauhi tradisi yang telah diwarisi turun temurun.
Masalah ini bisa ditarik ke tingkat nasional. Penetapan Imlek sebagai hari raya umat Konghucu di Indonesia, misalnya, adalah problematis, mengingat tidak semua orang Cina Indonesia adalah penganut Konghucu. Di samping itu, perayaan Imlek tidak seharusnya hanya menjadi milik agama tertentu. Wacana publik cenderung menguatkan persepsi lama bahwa Hari Raya Imlek hanya berhubungan dengan tradisi agama tertentu, dalam hal ini Konghucu, sehingga orang Cina-Indonesia-Kristen harus waspada terhadap nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi perayaan Imlek tersebut. Bagaimanapun juga, tuntutan umat Konghucu terhadap pemerintah Indonesia agar mengesahkan Imlek sebagai hari raya umat Konghucu untuk memastikan pengakuan identitas dan eksistensi mereka di Indonesia dapat sepenuhnya dimengerti. Namun ia juga tak bisa dilepaskan dari pengaruh paradigma agama-dunia (world religion) yang menentukan prasyarat pengakuan suatu tradisi sebagai agama dengan adanya hari raya khusus. Di sinilah letak area kontestasi.
Kontestasi makna ‘agama’
Bila menilik sejarah kontestasi wacana tentang agama, definisi agama sebagaimana kini umum dipahami sebenarnya bermasalah dalam konteks sejarah Cina. Tidak ada kata yang tepat menjadi padanan kata religion dalam bahasa yang dipakai orang-orang Cina zaman dulu. Pada akhir abad 19, penerjemah Jepang untuk teks-teks dari bahasa Eropa mengambil kata ‘zongjiao’ (atau shūkyō dalam bahasa Jepang), kata yang diambil dari tradisi Buddha Cina, sebagai padanan kata religion. ‘Zong’ diambil dari sebuah piktogram altar leluhur dan mengacu pada ‘sekte’ dan ‘jiao’ berarti ‘pengajaran’. Oleh karena prototipe utama dari padanan kata ini diambil dari wacana kekristenan Eropa, maka pemahaman mengenai agama yang diinjeksikan ke dalam kata padanan tersebut menggunakan kekristenan sebagai standar ideal. Hal ini pada gilirannya menimbulkan masalah lain, sebab pada dasarnya agama-agama di Cina (dan Jepang) tidak memiliki doktrin eksklusif seperti yang dimiliki agama Kristen.
Karena itu, pengambilan kata zongjiao sebagai padanan kata religion bermasalah, karena kedua kata ini tidak memiliki cakupan dan signifikansi makna yang sama. Dengan kata lain, para sarjana atau agamawan Barat hingga setidaknya awal abad 20 terpengaruhi bias kekristenan Barat ketika melihat ‘yang lain’ –dalam hal ini, budaya dan tradisi Cina. Para misionaris Kristen Barat dulu memandang budaya non-Barat, termasuk budaya Cina, sebagai praktik paganisme. Isu yang berkembang kemudian bukan ‘Injil dan budaya lain’ tetapi ‘Injil dan tradisi agama lain’.
Jika ditelusuri dari sejarah asal mula pelarangan praktik tradisi Cina bagi etnis Cina yang beragama Kristen, terdapat pengaruh kuat dari paradigma agama-agama dunia, dalam hal ini Kristen Barat. Sejak kekristenan mula-mula di abad ke-4 zaman Romawi, kata ‘pagan’ telah digunakan untuk mengacu pada segala kegiatan, praktik, atau upacara di luar kekristenan. Pandangan semacam ini terbawa jauh hingga era kolonialisme negara-negara Barat di banyak kawasan Asia.
Pemahaman fenomenologis
Paradigma ‘modern’ mengenai agama itu kini telah banyak dikritik para sarjana studi agama karena bias kekristenan Barat yang sangat kental di dalamnya. Dalam paradigma ini, pandangan yang diderivasi dari perspektif orang Cina sendiri kurang terwakili, dan dilihat secara inferior, dalam menjawab bagaimana seharusnya hubungan antara tradisi Cina dan ajaran Kristen. Dalam kerangka keterwakilan perspektif Cina ini, saya menawarkan penafsiran ulang terhadap sejumlah tradisi Cina yang dianggap problematis dalam ajaran Kristen.
Pertama-tama, kita harus memahami bahwa orang Cina sangat menjunjung tinggi ikatan kekeluargaan dan kekerabatan. Bakti anak kepada orang tua merupakan pilar dalam keluarga Cina dan bakti tersebut tidak berhenti setelah orang tua meninggal dunia. Tradisi penghormatan terhadap anggota keluarga yang telah meninggal merupakan kewajiban bagi anggota keluarga yang masih hidup sebagai cara untuk memelihara ikatan kekeluargaan atas dasar kesamaan identitas, yaitu sebagai satu keluarga. Dalam perspektif demikian, penggunaan istilah “ritual penyembahan leluhur” dalam wacana kekristenan ketika menilai tradisi Cina mengandung masalah.
‘Penyembahan’ merupakan paradigma agama-agama dunia, dalam hal ini kekristenan, yang memiliki konsep hierarki dalam melihat dimensi dunia: supernatural (Tuhan, atau yang gaib), kultur (manusia), dan alam (yang bukan manusia). Supernatural (Tuhan, yang gaib) berada pada posisi yang lebih tinggi daripada kultur (manusia). Relasi antara supernatural (Tuhan, yang gaib) dan kultur (manusia) selalu dicirikan dalam hubungan ‘penyembahan’. Dalam paradigma semacam ini, ‘penghormatan leluhur’ kemudian diimajinasikan sebagai ‘penyembahan leluhur’.
Sebagai contoh, prosesi menaruh makanan, yang disebut “makanan sesembahan”, di depan makam atau altar leluhur diimajinasikan oleh orang Kristen sebagai makanan yang dipersembahkan kepada orang mati. Jika dipandang dari perspektif orang Cina yang melakukan ritual itu, makanan yang ditaruh di depan makam atau altar adalah makanan yang disukai almarhum semasa hidup sehingga makanan tersebut menjadi simbol yang menjembatani ruang-waktu dalam mengenang almarhum. Ritual (li) dalam tradisi Cina tidak selalu berhubungan dengan hal spiritual atau gaib.
Aspek lain yang acapkali dipermasalahkan dalam ritual ‘penghormatan leluhur’ adalah adanya gestur atau sikap tubuh membungkuk di depan makam atau altar leluhur, yang dimaknai sebagai penyembahan terhadap leluhur atau orang mati. Mengenai hal ini, Clifford Geertz telah memeringatkan tentang bias Barat dalam memaknai gestur tubuh dalam kebudayaan di wilayah Asia. Di dalam budaya Cina, membungkukkan badan di depan makam atau altar leluhur hendaknya dimaknai sebagai simbol penghormatan, bukan penyembahan. Ini berbeda dengan, misalnya, tradisi Yahudi yang menghubungkan pembungkukkan badan dengan ‘penyembahan’ karena adat para penyembah berhala dulu adalah membungkukkan badan di depan berhala mereka. Cina, juga negara Asia lain seperti Jepang dan Korea, memiliki konsep berbeda tentang membungkukkan badan. Istilah dalam bahasa Ibrani untuk membungkukkan badan di depan berhala adalah Hishtachavayah, yang berbeda dari Shakkhah yaitu membungkukkan badan sebagai penghormatan terhadap raja, orang tua, dan orang yang dihormati lainnya. Di dalam Alkitab versi bahasa Inggris maupun bahasa Indonesia tidak ada perbedaan untuk istilah Shakkhah and Hishtachavayah, sehingga diterima secara umum oleh orang Cina-Indonesia-Kristen bahwa ‘membungkukkan badan’ sama dengan ‘menyembah’. Padahal dalam agama Kristen sendiri, membungkukkan badan juga bukan merupakan gestur yang umum dipakai dalam menyembah Tuhan.
Penggunaan dupa (hio) dalam ritual penghormatan leluhur juga diimajinasikan oleh sebagian kalangan Cina-Indonesia-Kristen sebagai bentuk penyembahan karena membandingkannya dengan ritual dalam Alkitab yang menggunakan dupa sebagai alat sembahyang. Padahal pada mulanya hio bukan digunakan untuk penyembahan dalam tradisi Cina. Hio mulai digunakan ketika agama Buddha masuk ke Cina. Alkisah Buddha Sakyamuni sedang mengajar dan murid-muridnya merasa mengantuk sehingga mereka meggunakan hio untuk meningkatkan daya konsentrasi. Sejak itu hio kemudian sering digunakan dalam berbagai tradisi dan ritual Cina.
Intersubjektivitas
Konflik antara tradisi budaya Cina—yang cenderung erat diasosiaikan dengan Konghucu—dan kekristenan di Indonesia memang tidak berkembang menjadi konflik agama yang besar. Akan tetapi masih sulit untuk menyangkal terjadinya perselisihan internal komunitas Cina-Indonesia-Kristen dalam membangun identitas tripel Cina-Indonesia-Kristen dalam hubungan yang setara. Sikap menuduh dan antipati terhadap ritual tradisi budaya Cina masih dianggap oleh sebagian orang Cina Indonesia yang bukan Kristen sebagai ancaman terhadap identitas budaya yang mereka warisi dari leluhur.
Studi mengenai identitas dari Stets dan Burke (2000) mengajukan pandangan bahwa keberadaan multiidentitas rentan mengakibatkan satu identitas lebih tinggi daripada identitas yang lain, dan identitas yang lebih tinggi tersebut menjadi tolok ukur bagi identitas yang lebih rendah. Pandangan ini cukup selaras dengan kajian Werbner (2013), yang menyatakan bahwa identitas agama dipengaruhi kekuatan sentimental sekaligus kekuatan politik, khususnya ketika mengingat bahwa paradigma agama-agama dunia adalah warisan kolonial Eropa yang dianggap ‘maju’ dan ‘modern’, sehingga identitas keagamaan bisa mengatasi budaya lokal dan tradisi etnis tertentu.
Hal-hal yang saya tawarkan di atas, dari pemahaman ulang makna ‘agama’ hingga penafsiran kembali terhadap sejumlah tradisi Cina, bertujuan untuk mengatasi kesenjangan kepelbagaian identitas dalam satu diri (dalam hal ini tiga identitas Cina-Indonesia-Kristen): praktik-praktik dari tradisi Cina hendaknya dipahami dalam perspektif fenomenologis, yakni dengan menyerap makna dan membangun tafsir secara intersubjektif dan lintas-budaya (cross-cultural) antara budaya penafsir dan budaya dalam perspektif praktisi budaya itu sendiri.
__________________
Esai ini disarikan dari tesis magister penulis di CRCS (2019) berjudul “Reimagining Chinese Cultural Tradition: The Quandary between Chinese Cultural Tradition and Christian Dogma in Indonesia”.