A.S. Sudjatna | CRCS | News
Agar gelar “City of Tolerance” Yogyakarta tak sekadar slogan, warga Yogyakarta harus terlibat aktif dan berani mendorong pemerintah untuk melakukan langkah-langkah strategis. Itulah kesimpulan diskusi selama kurang lebih tiga jam pada “Refleksi Dinamika dan Tantangan Kemajemukan di Yogyakarta 2015-2016”, Senin, 11 Januari 2016. Bertempat di kantor Kementerian Agama Kota Yogyakarta, diskusi hasil kerjasama antara Institut DIAN/Interfidei, Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) DIY dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) DIY ini menghadirkan tiga narasumber dari latar belakang berbeda, antara lain Prof. Noorhaidi Hasan MA., MPhil., PhD, dari akademisi; Agung Supriyono, SH., kepala Kepala Badan Kesbangpol DIY; dan Tomy Apriando dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta.
Dalam kesempatan tersebut, Noorhaidi membeberkan penelitian Wahid Institute yang menyematkan Yogyakarta sebagai kota intoleran peringkat kedua di Indonesia. Menurut Direktur Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta ini, sepanjang tahun 2014 dan 2015 terjadi lebih dari dua puluh satu kasus kekerasan agama di Yogyakarta. Di antaranya, penyerangan terhadap kantor LKiS saat menghelat diskusi bersama Irshad Manji, penyegelan kantor Ahmadiyah Yogyakarta, kampanye massif anti-Syiah, pembubaran aktivitas Yayasan Rausyan Fikr, perusakan dan penyegelan sejumlah gereja, penolakan perayaan Paskah bersama di Gunung Kidul, serta pembubaran kemah pelajar Kristen. Kasus-kasus semacam ini menjadi ironi bagi Yogyakarta yang digadang-gadang sebagai kota tempat bernaung beragam suku dan agama yang ada di Indonesia.
Yang menarik, Noorhaidi juga mencatat Yogyakarta sebagai tempat lahir dan besar organisasi keagamaan dan gerakan yang sering dianggap sebagai pemicu konfrontasi dan intoleransi . Semisal FUI yang sejak tahun 2000 getol memprotes pendirian gereja di Yogyakarta, seperti Gereja GIDI di Kalasan serta Kapel St. Antonius di Pondokrejo. Selain itu, organisasi ini juga lantang menentang eksistensi Ahmadiyah dan Syiah. Yogyakarta juga menjadi saksi lahirnya Laskar Jihad yang turut serta dalam pengiriman laskar Islam ke Poso dan Ambon. Di luar itu, masih ada organisasi lainnya yang juga lahir dan berkiprah di Yogyakarta, semisal MMI yang bertekad menegakkan syariah atau HTI yang senantiasa menyerukan khilafah. Pada kurun waktu yang sama, sekelompok anak-anak muda dari Gerakan Anti Maksiat (GAM), Front Jihad Islam (FJI), Laskar Mujahidin MMI, GPK, KOKAM, dan Al-Misbah juga aktif turun ke jalan menentang Syiah.
Menurut Noorhaidi, ada tiga alasan banyak organisasi keagamaan itu memilih Yogyakarta sebagai arena pergerakannya. Pertama, Yogyakarta adalah kota tujuan para pelajar dan mahasiswa dari berbagai wilayah di Indonesia untuk menuntut ilmu. Dengan begitu, Yogyakarta menjadi lokasi strategis untuk membangun tulang punggung organisasi dan titik sebar gerakan ke berbagai wilayah. Kedua, iklim budaya dan kemasyarakatan di Yogyakarta yang cukup permisif terhadap kelompok atau ajaran-ajaran baru yang muncul. Selain itu, struktur kesempatan politik yang diperankan oleh beberapa orang atau beberapa pihak membutuhkan kehadiran organisasi-organisasi tersebut demi menyokong kekuasaannya, dan begitu pula sebaliknya.
Sementara itu, Agus Supriyono menyebutkan Yogyakarta sebagai barometer dan miniature Indonesia dengan segala keragamannya. Karenanya, menurut Agus, wajar jika ada beberapa benturan yang terjadi sebagai sebuah dinamika kehidupan masyarakat majemuk. Namun, Agus menggarisbawahi, kelompok mana pun semestinya tak berusaha mengeliminasi identitas kelompok lainnya. Hal yang harus dilakukan adalah menempatkan identitas masing-maisng tersebut sesuai dengan porsi dan kesempatannya.
Pembicara dari kalangan aktivis media, Tommy, lebih banyak menyoroti persoalan media di dalam kasus-kasus kekerasan agama. Ia menyebutkan, media harus terlibat aktif dalam resolusi konflik dengan menampilkan fakta-fakta sekaligus membuka peluang untuk dialog. Menurt Tommy, media memiliki kemampuan untuk membangun opini publik atau “framing” peristiwa dengan sudut pandang tertentu. Akan tetapi, ia mengingatkan, tantangan awak media di lapangan juga cukup besar. Tak jarang para awak media ini menjadi sasaran kecurigaan pihak-pihak yang sedang berkonflik. Sehingga, kehadiran mereka di wilayah konflik terkadang mendapatkan penolakan. Ini tentu akan menghambat proses pengambilan data sebagai sumber berita secara utuh dan berimbang. Selain itu, tak jarang pula awak media menjadi korban kekerasan dalam sebuah konflik, baik disengaja maupun tidak.
Masalah lainnya yang kerap dihadapi media adalah persoalan keredaksian. Tak jarang , sebuah berita gagal terbit lantaran kebijakan redaksi yang tidak menginginkan memuat hasil liputan tentang konflik beragama sebab dirasa membahayakan maupun teknis penulisan berita yang membuat media menjadi seolah berpihak dan tendensius. Alih-alih dapat menjadi bagian dari solusi, justru media malah menjadi pihak yang ikut memprovokasi. Di dalam beberapa kasus bahkan reaksi publik atas suatu pemberitaan kekerasan agama kerap menjadi bumerang bagi media itu sendiri. Tak jarang kelompok-kelompok tertentu datang dan mengintimidasi kantor sebuah media akibat adanya pemberitaan yang dianggap merugikan pihak mereka.
Di dalam sesi tanya jawab pada acara yang dimoderatori oleh Siti Aminah dari Interfidei tersebut, terungkaplah beberapa pertanyaan dan fakta-fakta lain di lapangan yang dikemukakan oleh para peserta yang hadir. Masriyah, misalnya, menyebutkan Yogyakarta semakin intoleran terhadap minoritas. Bahkan, menurut aktivis Fatayat ini, pendidikan multikultural atau keragaman di wilayah dunia pendidikan formal hampir dapat dikatakan tidak ada. Di dalam hal ini, ia memberi contoh nyata yang dialaminya saat akan mendaftarkan anaknya sekolah ke salah satu SD negeri di Yogyakarta. Pada saat ia mendaftarkan anaknya, ia diwanti-wanti oleh pihak sekolah agar sang anak yang saat itu hanya menggunakan kaos dan celana panjang jeans untuk dipakaikan rok dan jilbab saat nanti sudah masuk sekolah, sebab ia seorang muslimah. Penyeragaman dan pembedaan yang dilakukan semacam ini sejak dini, menurutnya, memungkinkan seseorang bertindak intoleran di masa depan sebab ia tidak terbiasa dengan perbedaan dan keragaman. Selain itu, ia juga menyayangkan sebab hal tersebut terjadi di SD yang notabene berstatus sekolah negeri, bukan sekolah Islam. Padahal, seharusnya sekolah negeri bersikap lebih netral dan mampu menerima serta menanamkan sikap toleransi terhadap keragaman yang ada.
Di dalam kesempatan ini, Masriyah juga mempertanyakan sikap aparat yang menurutnya kerap bersikap lembek atau bahkan seolah melakukan pembiaran terhadap perilaku intoleransi. Pertanyaan senada juga diungkapkan oleh Isna dari Gusdurian Yogyakarta. Mahasiswi UIN Sunan Kalijaga tersebut menyayangkan sikap aparat yang terkesan permisif terhadap aksi-aksi intoleran yang terjadi di Yogyakarta, padahal identitas para pelaku sangat mudah dikenali.
Sebagai tambahan komentar mengenai sikap aparat ini, Agnes dari Aliansi Nasional Bhineka Tunggal Ika menyebutkan bahwa seharusnya aparat bersikap tegas dengan melakukan tindakan nyata di dalam menangani kasus-kasus intoleran ini. Ia mencontohkan bahwa pada tahun 2014 dan 2015, ada banyak spanduk provokatif yang merupakan syiar kebencian terhadap kelompok tertentu. Menurutnya, aparat semestinya menindak tegas para pelaku pemasang spanduk tersebut sebab meresahkan. Selain itu, Agnes juga mempertanyakan persoalan penutupan beberapa rumah ibadah secara paksa oleh ormas tertentu. Ia mempertanyakan apakah memang masyarakat umum berhak melakukan penutupan rumah ibadah atau tidak.
Menanggapi beberapa pertanyaan tersebut, Noorhaidi menjawab bahwa pendidikan multikultural sangat perlu dikembangkan, terutama di sekolah-sekolah. Hal itu dapat dimanifestasikan di dalam berbagai program yang sesuai dengan tingkatan pendidikan yang ada. Selain itu, ia mengatakan bahwa kegagalan melakukan sebuah sistem secara substantif oleh pemegang kebijakan hendaklah diatasi dengan cara mengurai masalahnya, bukan malah diatasi dengan cara penyeragaman. Mengenai peran aparat kepolisian, Noorhaidi mengatakan bahwa polisi memang seharusnya tidak usah takut untuk menindak para pelaku tindakan intoleran selama tak menggunakan cara-cara represif. Sebab jika dibiarkan, hal ini akan mencoreng wibawa negara dan mengarah pada gejala privatisasi kekerasan, membiarkan kekerasan dilakukan oleh sekelompok orang sipil. Padahal, privatisasi kekerasan ini adalah sebuah sinyalemen akan lemahnya negara. Di dalam hal ini, Noorhaidi juga menyebutkan bahwa privatisasi kekerasan ini juga dapat menjadi indikasi akan adanya kepentingan politik dari pihak tertentu. Misalnya ada aktor politik yang sengaja melindungi kelompok-kelompok intoleran tertentu guna mendapatkan dukungan suara dan kekuasaan dari kelompok tersebut. Namun, di akhir penjelasannya, ia kembali menegaskan bahwa penegak hukum harus tetap bertindak sesuai proporsi dan kewenangannya. Polisi lebih kuat dari kelompok radikal, jadi seharusnya tidak boleh ada toleransi terhadap kelompok-kelompok pelaku intoleran.
Di lain pihak Agus menyebutkan bahwa kemungkinan penyebab tidak adanya tidakan dari polisi atas para pelaku intoleran itu adalah tidak adanya cukup bukti. Karenanya, ia menghimbau agar laporan akan adanya tindakan intoleran juga disertai bukti-bukti yang cukup, jangan hanya berbentuk laporan semata. Hal ini akan membantu aparat dalam menegakkan hukum yang seharusnya. Selain itu, ia juga meminta masyarakat memaklumi akan kinerja aparat yang mungkin terlihat agak lamban sebab banyaknya kasus yang harus diselesaikan sedangkan jumlah SDM yang dimiliki masih terbatas.
Pertemuan ini akhirnya ditutup oleh tanggapan dari pihak kepolisian, diwakili oleh beberapa anggota polisi yang hadir pada saat itu. Pihak polisi mengakui bahwa memang ada banyak kendala yang harus mereka hadapi di lapangan di dalam penuntasan kasus-kasus kekerasan agama dan tindakan intoleran lainnya. Namun, mereka senantiasa berusaha melakukan penanganan terbaik agar tidak kontraproduktif. Selain itu, polisi juga mengingatkan bahwa peran serta masyarakat di dalam penyelesaian kasus-kasus kekerasan agama ini sangatlah dibutuhkan. Karenanya, pihak kepolisian mengimbau agar masyarakat tidak segan-segan melaporkan atau membantu polisi di dalam menghadapi persoalan intoleransi yang hadir.
Hadirnya Babinsa dan Babinkamtibmas di setiap wilayah di Yogyakarta hendaklah dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya oleh masyarakat untuk membantu kepolisian di dalam kasus-kasus tindakan intoleran. Sehingga, tindakan preventif dapat dilakukan secara bersama-sama oleh pihak kepolisan dan masyarakat. Sebab, menciptakan kehidupan yang rukun dan damai adalah tanggung jawab bersama seluruh elemen masyarakat dan pemerintahan Indonesia, bukan hanya tanggung jawab salah satu pihak saja.
Editor: Azis Anwar Fachrudin