
Tiga belas tahun lalu, tepatnya 31 Mei 2012, saya untuk pertama kalinya mengunjungi Padepokan Lemah Putih di Karanganyar Jawa Tengah. Perjalanan yang cukup melelahkan dari Jogja, yang saya tempuh dengan naik kereta api ke Solo, disambung naik sepeda motor bersama seorang rekan.
Waktu itu, saya masih menjadi jurnalis di grup media Kedaulatan Rakyat di Jogja. Kenapa saya ke sana? Sebenarnya bukan untuk liputan, tapi untuk belajar pada sosok Suprapto Suryodarmo, atau Mbah Prapto, sang pencipta Amerta Movement, atau Jogèt Amerta. Waktu itu saya sudah dengar kalau Jogèt Amerta itu dipelajari dan diterapkan di berbagai negara di dunia, oleh seniman tari dan gerak, musisi, guru, psikoterapis, terapis seni/musik/drama, seniman instalasi dan seniman lainnya. Begitu berkelas lah.
Jogèt Amerta yang saya pahami waktu itu adalah bentuk praktik gerakan non-bergaya yang mengacu pada gerakan bebas, berlandaskan praktik meditasi Vipassanā buddhis dan meditasi Sumarah kejawen. Ini sangat menarik, karena saya sendiri mempelajari dan mempraktikkan meditasi Vipassanā, walau merasa tidak pandai menari.
Di Lemah Putih, saya disambut oleh Mbah Prapto yang berkarakter hangat, ramah, rendah hati, dan terbuka. Saya lupa apa saja yang diobrolkan waktu itu. Yang jelas, saya sempat bertanya tentang bagaimana sejarah padepokan dan seni gerak yang berkembang. Sayang pertemuan ini tidak saya rekam maupun saya catat. Pemaparan tentang pengalaman ini hanya berdasarkan memori saya saja. Namun demikian, saya sempat mengambil foto Mbah Prapto, dan juga foto suasana di Padepokan Lemah Putih.
Tentang Amerta
Kata “Amerta” berasal dari bahasa Jawa [yang kalau dilacak dari Sansekerta] yang juga masuk dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Artinya adalah “tidak dapat mati” atau “abadi”. Berarti ada kehidupan di sana. Dan salah satu ciri kehidupan adalah gerakan.
Begitulah saya memaknai Jogèt Amerta, sesuai ajaran Mbah Prapto, yang menekankan pada gerakan yang alami, spontan, dan tidak terstruktur. Praktisi diajak untuk melepaskan diri dari pola gerakan yang kaku dan membiarkan tubuh bergerak sesuai dengan dorongan internal. Inilah intisari hidup dan kehidupan. Tujuan praktik meditasi gerak ini adalah untuk mencapai kesadaran penuh akan tubuh, ruang, dan lingkungan sekitar. Di dalam prosesnya, praktisi belajar untuk mendengarkan tubuh mereka, merasakan aliran energi, dan menghubungkan diri dengan alam.
Kebetulan, waktu saya ke sana, ada dua orang perempuan seniman gerak yang tinggal di sana untuk belajar. Saya sempat mengamati bagaimana mereka berlatih, berproses, bergerak, yang memang intuitif. Salah seorang di antaranya memanfaatkan media kursi kayu untuk mengekspresikan diri. Saya pun melihat bagaimana Mbah Prapto lalu ikut menari bersama kedua orang itu. Sangat menarik, walau bukan hal yang baru bagi saya, yang sewaktu SMA di Kolese De Britto selama 3 tahun ikut ekskul teater dan bergelut dengan proses yang sejenis.
“Saya pernah diajak bante Pannya (Bhikkhu Śri Paññāvaro Mahāthera) ke Jepang,” begitu tutur Mbah Prapto waktu itu. Bhante Pannya memang terkenal sebagai guru meditasi, khususnya meditasi Vipassanā, atau yang sering ia sebut sebagai meditasi kesadaran. Saya kebetulan beberapa kali pernah mengikuti retret meditasi di tempat bante Pannya di Vihara Mendut.
Kesadaran ini, menurut Mbah Prapto, merupakan hal esensial guna merespons eksistensi kita sebagai bagian dari lingkungan alam maupun lingkungan sosial. Melalui gerakan yang penuh kesadaran (mindful), kita dapat mengintegrasikan kembali bagian-bagian diri kita, baik batin maupun jasmani, untuk menjadi bagian dari semesta.
Saya tidak ingat persis, apa saja hal-hal yang dijelaskan oleh Mbah Prapto waktu itu. Yang saya ingat, sajian penuturan pengalaman dan penjelasan beliau lalu memberikan banyak wawasan baru bagi saya, waktu itu. Sungguh perjumpaan pertama yang mengesankan kala itu dengan beliau.
Mempelajari Sumarah
Meski sudah mempelajari berbagai jenis meditasi, termasuk berbagai jenis Vipassanā (meditasi memiliki banyak jenis, dua yang paling terkenal adalah Vipassanā & Goenka], saya belum pernah mempelajari meditasi Sumarah, yang oleh Mbah Prapto dijadikan fondasi Jogèt Amerta. Sampai akhirnya, ketika saya mengikuti acara Borobudur Writers & Cultural Festival (BWCF), yang digelar November 2018, saya berkesempatan mengikuti sesi meditasi bersama Laura Romano, seorang pamong Sumarah kelahiran Italia yang sudah menjadi warga negara Indonesia.
Kesimpulan saya, banyak kemiripan memang–walau tidak sama persis–antara meditasi kesadaran buddhis, dengan meditasi Sumarah. Saya pun merasa bisa memahami Jogèt Amerta secara lebih mengena, usai mencicipi cita rasa Sumarah.
Perjumpaan Terakhir dengan Mbah Prapto
Akhir 2019, saya mendapat kabar bahwa Mbah Prapto meninggal dunia. Saya ikut merasakan kesedihan kala itu. Saya ingat, setahun sebelumnya, April 2018, saya sempat berjumpa dengan beliau untuk terakhir kali dalam sebuah acara diskusi seni di UGM Yogyakarta. Waktu itu dirinya ikut menjadi pembicara. Saya lebih banyak memiliki memori tentang perjumpaan dengan beliau di “Kampus Biru” ini dibanding di Padepokan Lemah Putih.
Dalam perjumpaan singkat ini ia sempat menyinggung bahwa proses dirinya belajar meditasi buddhis Vipassanā maupun ajaran kejawen Sumarah sangat berguna untuk mengeksplorasi alam dan kesadaran.
“Dari situ saya belajar tentang resonansi, kepekaan tubuh,” ungkapnya.
Mbah Prapto pun waktu itu membahas juga terkait Jogèt Amerta. Catatan kata-katanya waktu itu masih bisa saya akses.
“Saya sebut joget, karena lebih merujuk pada orang yang sedang belajar menari dari dasar,” terangnya.
Mbah Prapto menambahkan, secara filosofis jogetnya bertolak dari konsep tradisi, yaitu hubungan antarmanusia, alam dan The Unknown, atau Tuhan Yang Tak Diketahui. Transformasi batin manusia menurut dia harus selalu mengacu ke tiga hal itu. Sedangkan dari sisi bentuk, Jogèt Amerta adalah olah tubuh sehari-hari yang mengabaikan pakem yang selama ini berlaku dalam olah tubuh. Lewat Jogèt Amerta inilah ia mengajarkan murid-muridnya untuk merespons dirinya sendiri dan atmosfir di sekelilingnya.
“Orang asing yang belajar dengan saya sebenarnya tidak paham. Namun karena budaya mereka yang ingin tahu, sedikit-sedikit mereka paham. Ingin tahu inilah yang harus kita kembangkan,” katanya penuh ketegasan.
Satu lagi ilmu dan anjuran dari Mbah Prapto, teruslah ingin tahu, teruslah menyadari, teruslah mengalami, dan jangan selesai dengan pengetahuan yang sudah tertanam di benak kita. Karena kalau selesai, sama saja kita itu mati, tidak amerta.
Terima kasih Mbah Prapto, atas Jogèt Amerta, warisan rasa dan intelektualmu yang mendunia. Semoga semakin banyak warga bumi yang mau mempelajari dan mempraktikkan ilmu adiluhung ini.
______________________
Deny Hermawan ialah seorang jurnalis dan praktisi spiritual, yang pernah mempelajari meditasi Vipassana dan Sumarah yang menjadi basis kebatinan Amerta Movement. .