Menggandeng Tokoh Agama untuk Menghapus Kekerasan Seksual
Inasshabihah – 20 Juli 2020
Tokoh agama memiliki posisi strategis untuk mendukung pengesahan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS). Peran strategis ini bukan saja untuk mengedukasi umatnya, melainkan juga menangani kasus di lingkungan keagamaan. Sebab, kekerasan seksual bisa terjadi di mana saja, termasuk di tempat yang dianggap suci seperti rumah ibadah, dan bahkan dilakukan oleh tokoh agama sendiri.
Hal ini dibahas dalam diskusi daring awal bulan ini bertajuk Peran Tokoh Agama dalam Penghapusan Kekerasan Seksual yang diselenggarakan LBH Asosiasi Perempuan Indonesian untuk Keadilan (APIK). Koordinator Divisi Pelayanan Hukum LBH APIK Uli Pangaribuan memaparkan data 9 pengaduan atas kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh tokoh agama pada tahun 2019-2020. Pelakunya antara lain adalah ustaz, pemilik pondok pesantren, dan pendeta.
Tokoh agama sebagai pelaku
Salah satu kasus misalnya dialami oleh Lembayung, seorang santri sebuah pondok pesantren di Bogor. Lembayung dipilih menjadi ‘pemegang kitab’ oleh pelaku kekerasan seksual yang memiliki pondok pesantren tersebut. Ia sering dipanggil ke ruangan pelaku, awalnya untuk membahas perkara keuangan. Namun muncul perilaku tak senonoh dari pelaku yaitu mencium, meraba tubuh, hingga melakukan oral seks. Pelecehan itu terjadi cukup sering, baik pagi, malam, maupun dini hari, dan Lembayung tak kuasa menolaknya karena pelaku mengatakan bahwa seorang santri yang menolak panggilan ustaznya bukanlah santri yang baik.
Lembayung bercerita pada ibunya, yang kemudian melaporkan kasus itu ke Polres Depok pada November 2019. Tak lama, ia justru menerima intimidasi dari pelaku dan kawan-kawan pelaku yang meminta Lembayung mencabut laporannya. Lembayung diancam dengan pencemaran nama baik jika tak mampu memberi bukti bahwa pemilik pesantren telah melecehkannya. Istri pelaku meminta perkara ini diselesaikan secara kekeluargaan, dengan memberikan uang sebagai iming-iming kepada Lembayung.
Namun Lembayung bersiteguh agar kasus diproses secara hukum. Pelaku pun ditahan, tetapi pada April 2020 Lembayung malah dilaporkan balik oleh istri pelaku dengan pasal perzinahan. Laporan itu membuat Lembayung tak berdaya, sementara LBH APIK dan LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban) berupaya menyelamatkan Lembayung dengan menyurati Polres Bogor agar pelaporan istri pelaku tidak direspons sampai ada kekuatan hukum tetap di Polres Depok.
Kasus pelecehan juga terjadi di lingkungan gereja sebagaimana dialami Gerhana, seorang pelayan gereja di Bekasi yang dilecehkan oleh pendeta di lingkungan gereja. Gerhana tinggal dengan pelaku dan istrinya dalam satu rumah dinas yang disediakan oleh gereja. Setelah dua bulan melakukan pelayanan di sana, pendeta mulai sering mengirimkan pesan-pesan Whatsapp yang membuat Gerhana tak nyaman.
Suatu hari pada April 2020, Gerhana jatuh pingsan dan dibawa ke sebuah kamar. Setelah ia sadar, pendeta menyuruh istrinya pergi ke luar kamar untuk mengambil minyak. Saat itulah, pendeta meremas, memegang, dan menekan-nekan bagian tertentu pada tubuh korban.
Gerhana melaporkan peristiwa itu kepada istri pelaku dan pengurus gereja, tetapi tidak ada yang percaya, bahkan dirinya cenderung disalahkan. Gerhana diintimidasi dan diteror oleh jemaat gereja karena dianggap sebagai perempuan yang mencemarkan nama baik pelaku. Hal ini membuat Gerhana semakin merasa tertekan karena tidak mendapatkan dukungan dari komunitasnya sendiri. Pada Mei 2020, Gerhana melaporkan kejadian tersebut ke pihak berwajib. Namun dalam proses ini, pelaku cuti dari gereja dan meninggalkan kota tersebut sehingga proses penanganan kasus ini sulit dilanjutkan.
Melibatkan tokoh agama
Contoh-contoh kasus ini memperlihatkan kendala berlapis dalam mengadvokasi korban kekerasan seksual. Kendala ini mencakup korban yang merasa takut dan malu karena pelaku adalah orang berpengaruh di lingkungannya; korban tidak mendapatkan dukungan dari pihak keluarga atau lingkungan sekitar; Aparat Penegak Hukum (APH) menuntut adanya saksi yang melihat kejadian; adanya bujukan dari pihak pelaku agar korban mencabut laporan dan diimingi-imingi uang; adanya ancaman dari pihak pelaku yang akan melaporkan balik korban kepada polisi; serta stigmatisasi dan persepsi masyarakat yang masih menyudutkan korban.
Maka di sinilah pentingnya melibatkan tokoh agama yang sadar keadilan gender dalam advokasi anti-kekerasan seksual. Di lingkungan yang meletakkan agama sebagai poros rujukan nilai, argumen keagamaan anti-kekerasan seksual, yang harus juga ditambah dengan integritas tokoh agama yang menyampaikannya, akan efektif mengedukasi masyarakat.
Dalam diskusi daring, Romo Chrisanctus Paschalis Saturnus menyampaikan seruan dari Paus, surat-surat gembala, dan macam-macam komisi yang dibuat oleh gereja sebagai tanda keseriusan gereja dalam penghapusan kekerasan seksual. Di sisi lain, Ketua Lakpesdam PCNU Kabupaten Sukabumi Daden Sukendar menyatakan bahwa ayat qiwamah (“kepemimpinan” laki-laki atas perempuan) dalam al-Quran, alih-alih menjadi justifikasi bagi subordinasi terhadap perempuan, justru meniscayakan perlindungan.
Sementara itu, Pendeta Ira Imelda dari Women Crisis Center Pasundan Durebang melihat pendeta sebagai tokoh agama yang memiliki peran strategis karena dirinya memimpin secara kolektif-kolegial dalam sebuah forum keagamaan. Sebagai panutan umat, tokoh agama memiliki posisi lebih tinggi dari umat, disertai dengan kekuatan atau kekuasaan yang kini nyatanya perlu dibatasi. Ketimpangan relasi kuasa dapat terjadi jika tokoh agama memanfaatkan akses yang dimilikinya untuk melakukan atau menutupi kasus kekerasan seksual di lingkungan komunitasnya demi menjaga nama baik lembaga keagamaan alih-alih menyadari, mengakui, dan mendampingi proses kasus tersebut.
Diskusi daring memberikan contoh-contoh langkah kongkret yang dapat dilakukan oleh tokoh agama guna menyusun program pencegahan, pemulihan, dan pendampingan. Misalnya, lingkungan keagamaan seperti gereja, pondok pesantren, atau Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) perlu menerapkan sebuah kode etik mengenai pedoman berperilaku dan penanganan kasus kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan keagamaan, yang meliputi mekanisme pengaduan dan sanksi dari lembaga. Untuk kepentingan ini, lembaga keagamaan perlu menjalin relasi dengan pendamping dari LPSK, LBH, atau LSM.
Dalam program pencegahan, Pdt. Ira mengusulkan adanya edukasi di kalangan komunitas keagamaan bahwa tubuh dan seksualitas tidak bisa diobjektivikasi. Edukasi ini dapat dilakukan melalui lokakarya, materi pembinaan, materi katekisasi (bimbingan bagi umat Kristiani sebelum pembaptisan), dan pelatihan-pelatihan lainnya. Dalam program pemulihan dan pendampingan, tokoh agama dapat berperan dengan cara berpihak pada korban, misalnya dengan memfasilitasi konseling guna memulihkan kondisi psikologis korban.
Di atas segalanya, upaya-upaya ini masih akan mendapat hadangan besar jika belum ada kepastian hukum berperspektif keadilan gender bagi korban kekerasan seksual. Maka di sinilah pengesahan RUU PKS sudah bukan saja penting, melainkan mencapai tahap darurat. Menggandeng tokoh agama yang berwawasan gender akan menunjang daya tekan politik untuk pengesahan RUU P-KS sekaligus menambah keberterimaan RUU ini di komunitas keagamaan akar rumput.
______________
Inasshabihah adalah mahasiswa Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana UGM, angkatan 2018. Baca tulisan Inas lainnya di sini.
Nama-nama korban kekerasan seksual dalam esai ini bukanlah nama sebenarnya.
Kredit gambar header: Jurnal Perempuan