Afifur Rochman Sya’rani | CRCS | Jurnal Kelas
Terdapat berbagai cara untuk mempelajari agama-agama, masing-masing dengan tujuan dan kelebihannya tersendiri. Bila mengikuti klasifikasi Achmad Munjid, model studi agama(-agama) dapat dibagi menjadi tiga dilihat dari caranya.
Pertama, model monoreligius, yakni model studi agama yang hanya mempelajari satu agama yang dianut. Kedua, model multireligius, yakni model studi agama yang tidak hanya mempelajari satu agama yang dianut, tetapi juga agama lain. Ketiga, model interreligius, yakni model studi agama yang menekankan pada adanya “dialog” dalam mempelajari agama-agama.
Dalam pandangan Munjid, tiga model studi agama tersebut bukan berarti yang satu lebih unggul daripada yang lain, sebab selain mempunyai tujuan yang berbeda, penerapan tiga model tersebut mempunyai konteks yang berbeda. Model monoreligius misalnya sangat efektif diterapkan di pesantren, seminari, dan semacamnya, karena bertujuan untuk mendalami agama yang dianut.
Dua model yang lain, yaitu model multireligius dan interreligius, sekilas tampak sama, namun memiliki perbedaan esensial. Kata kunci yang membedakan antara keduanya ialah adanya dialog. Model multireligius hanya memperkenalkan perbedaan masing-masing agama. Lebih dari itu, menurut Munjid, studi agama-agama model interreligius menuntut kesediaan seseorang untuk membuka diri dan menghargai pandangan agama lain, dengan cara mendialogkan perspektif agama yang dipelajari dengan perspektif agama yang dianut secara bergantian. Dalam proses dialog tersebut, masing-masing agama akan dikaji melalui proses dialektis “melihat” dan “dilihat”, “berbicara” dan “mendengar”, “internalisasi” dan “klarifikasi”, secara bergantian.
Studi agama model interreligius dapat mengurangi stigma atau pandangan negatif terhadap agama lain. Dalam model ini, seseorang harus mempertimbangkan perspektif agama yang sedang dipelajari tidak dengan pandangan agamanya sendiri. Stigma atau pandangan negatif terhadap agama lain terjadi karena ketidaktahuan terhadap titik berangkat perspektif yang berbeda dari masing-masing agama dan ketika seseorang mengukur keberagamaan orang lain melalui perspektif agamanya sendiri.
Misalnya, ketika seorang Muslim melihat ritual agama Hindu, ia lalu menilai bahwa pemeluk agama Hindu menyembah “patung” Siwa, Wisnu, Brahma, dan lain-lain. Prasangka semacam ini dapat muncul karena ia memahami agama Hindu melalui “perspektif Islam”: Tuhan berbeda dengan apapun dan tidak boleh atau tidak bisa dilukiskan dalam bentuk patung. Namun, berbeda halnya jika ia memahami cara beribadah agama Hindu melalui perspekti agama Hindu sendiri.
Diana L. Eck, dalam bukunya Darśan: Seeing the Divine Image in India, menjelaskan bagaimana umat Hindu India memaknai cara beribadah mereka. Dalam perspektif Hindu, objek patung atau gambar hanyalah media dalam ritual mereka dan bukan objek sesembahan itu sendiri. Dalam berkomunikasi dengan Tuhan, umat Hindu berkeyakinan bahwa mereka harus “melihat” dan “dilihat” oleh Tuhan yang disimbolkan dalam bentuk objek suci (sacred object). Umat Hindu India menyebut ritual ini dengan “darśan”. Bagi mereka, melihat (seeing) mempunyai makna religius yang mendalam. Dengan melihat, mereka dapat merasakan kehadiran Tuhan dalam kesadaran (consciousness). Melihat juga bukan sekadar visualisasi pasif melainkan aktif, sebab melihat membutuhkan konsentrasi penuh untuk bisa seakan-akan “menggapai” dan “menyentuh”-Nya.
Bukan esensialisme agama
Studi agama model interreligius tidak bertujuan untuk mencari persamaan esensial dari semua agama, yang berujung pada kesimpulan bahwa “semua agama itu pada intinya sama”, baik sama-sama mengajarkan kebaikan maupun sama-sama memiliki satu konsep tertentu mengenai “Tuhan” betapapun teologinya bisa jadi berbeda-beda. Pandangan semacam itu dikemukakan oleh kalangan esensialis. Huston Smith, misalnya, dalam bukunya The World’s Religions, mengatakan bahwa semua agama menuju satu tujuan yang sama, yaitu Tuhan. Ia mengibaratkatkan “kesatuan esensial agama-agama dunia” dengan gunung: meskipun berangkat dari sisi yang berbeda, umat beragama menuju satu puncak yang sama.
Pandangan esensialisme ini dikritik oleh Stephen Prothero dalam bukunya God is Not One (2010). Menurutnya, meskipun memiliki tujuan yang baik, yakni untuk menjembatani dialog guna meredam konflik antarumat beragama, pandangan esensialis terhadap agama ini justru menghindarkan seseorang dari memahami keunikan tiap agama dan, lebih buruk dari itu, kadang membuat satu agama tertentu diteropong melalui konstruksi teologis agama lain yang lebih besar atau mendominasi. Prothero menyebut pandangan esensialis semacam ini dengan “pretend pluralism”, pandangan yang justru menutup mata terhadap partikularitas setiap agama.
Menurut Prothero, kita harus mula-mula memahami agama-agama dari perspektif masing-masing agama itu sendiri. Dalam nada yang retoris, Prothero mempertanyakan: Jika benar bahwa semua agama menuju satu puncak yang sama, bagaimana dengan agama-agama yang tidak mengenal konsep tentang Tuhan, seperti Buddhisme, Taoisme dan Konfusianisme? Bagi Prothero, sikap toleran antarumat beragama meniscayakan pada dirinya akan adanya perbedaan, sebab jika semua agama sama, manakah yang harus ditoleransi?
Mengkaji agama-agama secara interreligius berarti bersedia untuk tidak menggunakan kacamata dari agama sendiri dalam menilai agama lain. Ini bukan untuk merelatifkan agama, apalagi untuk mendangkalkan iman, melainkan untuk membuat agama-agama yang dipelajari berbicara melalui perspektifnya sendiri, sebab satu hal dasar yang pertama-tama harus disadari setiap pengkaji agama ialah bahwa agama-agama mempunyai keunikan dan partikularitasnya masing-masing.
*Afifur Rochman Sya’rani adalah mahasiswa CRCS angkatan 2017.