Mengolah Sampah, Membangun Damai di Papua
Samsul Maarif – 27 Agustus 2018
“Festival Organda! Kitorang Basodara!”
Itulah jargon yang berkali-kali diteriakkan bersama oleh warga Organda, dari anak-anak hingga orang tua, perempuan dan laki-laki, Kristen dan Muslim, Papua asli dan pendatang, saat pelaksanaan festival Organda sekaligus penutupan Kuliah Kerja Nyata Program Pemberdayaan Masyarakat (KKN PPM) UGM antarsemester, pada tanggal 5 Agustus 2018.
KKN PPM UGM di Organda adalah salah satu dari tujuh unit KKN Papua yang ditempatkan di Organda, Kel. Heedam, Distrik Heeram, Kota Jayapura, Papua. Penempatan unit ini, yang terdiri dari 29 mahasiswa UGM dengan latar belakang bidang keilmuan dari empat kluster, yakni sosial humaniora, teknik, agro, dan medika, adalah bagian dan untuk mendukung program Community Resilience and Economic Development/CaRED UGM yang sudah berlangsung di Papua sejak pertengahan 2016.
Organda adalah daerah basis salah satu kelompok Mama-Mama Papua binaan Tim CaRED UGM yang dilaksanakan oleh Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS) Sekolah Pascasarjana UGM bekerjasama dengan LSM lokal, Ilalang Papua. Nama kelompok binaan tersebut adalah Ikatan Peduli Sampah Organda (IPSO). Selain IPSO, kelompok binaan Mama-Mama Papua yang kedua bernama “Kelompok Yakuarba” yang berdomisili di Skyland Jayapura. Kedua kelompok tersebut fokus pada kegiatan pengelolaaan sampah sebagai media untuk menciptakan lingkungan bersih, sehat dan indah serta menciptakan ruang perjumpaan dan interaksi sosial antaridentitas yang produktif dan damai. Kedua kelompok binaan di Jayapura tersebut dikawal oleh Tim Community Development (Comdev) yang terdiri dari delapan (8) pemuda Jayapura, yang telah mengikuti pelatihan resolusi konflik berbasis modal sosial dan program live-in di awal program CaRED UGM (2017).
Sebagai bagian dari Program CaRED UGM, tema dan program KKN PPM UGM pun disinergikan. Mahasiswa KKN diterjunkan dan ditempatkan dalam format live-in. Mereka disebar dan tinggal bersama keluarga-keluarga Organda. Mahasiswa Muslim misalnya ditempatkan di keluarga Kristen, demikian juga sebaliknya. Format live-in memfasilitasi mahasiswa dan warga Organda untuk menyelami dan mengalami langsung realitas keragaman, mengamati dan memahami problem-problem keragaman, sekaligus menemukan dan merumuskan solusi yang tepat sasaran, realistis dan efektif mengatasi isu dan masalah riil yang dihadapi.
Fokus utama program KKN adalah “Mengolah Sampah, Membangun Damai”, tema yang disesuaikan dengan program IPSO, binaan CaRED UGM. Sebelum KKN, IPSO sudah aktif dalam kegiatan bank sampah (kerjasama dengan Bank Sampah Jayapura/BSJ binaan Dinas Lingkungan Hidup Jayapura) dan daur ulang. Dengan program Bank Sampah, mereka mengumpulkan, memilah, dan menjual sampah-sampah seperti botol bekas dan kertas kepada BSJ. Mereka juga sudah aktif mendaur ulang sampah menjadi produk-produk indah yang layak jual, selain untuk dipakai sendiri, sebagai tindak lanjut dari dua kali pelatihan CaRED UGM. Hingga sebelum KKN PPM UGM, keanggotaan IPSO masih homogen. Anggotanya umumnya dari kalangan Mama-Mama Papua asli dan Kristen/Katolik. Program-program KKN dikembangkan untuk menambah jangkauan dimensi-dimensi pengelolaan sampah dan juga untuk melibatkan warga lintas identitas etnis dan agama. Ide dasarnya adalah bahwa pengelolaan sampah meniscayakan pelibatan warga secara keseluruhan sehingga ia dapat menjadi media perjumpaan yang interaktif, harmonis dan produktif.
Melalui KKN, IPSO dikembangkan, dan saat ini memiliki 5 kelompok: (1) Kelompok Bank Sampah dan Daur Ulang, (2) Kelompok Mama-mama Tani, (3) Kelompok Ternak, (4) Kelompok Sanggar Rongsok (kelompok seni musik yang menggunakan barang rongsokan seperti botol air mineral yang diisi bebatuan, galon air, drum, dan seterusnya). Mereka terdiri dari remaja masjid dan pemuda gereja. Kelompok ini juga telah merumuskan pengembangan seni lukis, kerajinan, dan teater atas kerja sama dengan Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI-TP) Jayapura. Kelompok terakhir (5) adalah Kelompok Siaga Bencana (KSB) yang juga terdiri dari pemuda gereja dan remaja masjid yang fokus pada antisipasi banjir di musim penghujan.
Kelima kelompok tersebut telah menjadi sarana perjumpaan lintas identitas. Mama-Mama Muslim berjilbab bergabung di kelompok yang sesuai minatnya dan bekerjasama dengan Mama-Mama Kristen. Mereka berbagi: yang sudah lincah mendaur ulang sampah, misalnya, mengajari yang baru bergabung. Masing-masing anggota bangga bisa berbagi, dan senang bisa belajar dan menambah pengetahuan dan keterampilan baru. Dengan sarana (kelompok) tersebut, interaksi antarwarga beda identitas yang sebelumnya canggung bahkan tegang, menjadi cair dan hidup. Mereka belajar dan bekerja bersama penuh canda, seakan tanpa sekat. Kristen-Muslim, Papua asli-pendatang menikmati hidup bersama, bertetangga, dan bersaudara se-Organda.
Di setiap kegiatan bersama, doa bersama senantiasa dilaksanakan. Religiositas Organda memang tampak kental. Di Organda terdapat masjid dan gereja. Warga Muslim yang umumnya pendatang tidak hanya aktif memakmurkan masjid, tetapi juga aktif dalam pengajian-pengajian. Kebanyakan warga Muslim, khususnya ibu-ibu, adalah anggota untuk empat macam pengajian. Demikian halnya warga Kristen. Umumnya mereka selain anggota jamaat gereja, juga merupakan anggota perkumpulan berbasis gereja. Saat kegiatan akan dimulai atau diakhiri, seorang peserta kegiatan dipersilakan memimpin doa. Dia berdoa dengan cara agama yang dipeluknya, tetapi juga mendoakan peserta lain yang beragama berbeda darinya. Orang Islam menjadi akrab dengan cara doa Kristen/Katolik, demikian juga sebaliknya. Melalui doa, tampak bahwa warga Organda lintas agama senantiasa terlibat dalam dialog antar agama. Mereka mempraktikkan dan menunjukkan salah satu model dialog antariman/agama di tingkat akar rumput. Bagi mereka, agama adalah pondasi religiositas personal sekaligus pondasi hidup bersama dalam keragaman.
Rasa bersaudara se-Organda (lintas iman dan etnik) mereka deklarasikan pada pelaksanaan festival Organda yang dimotori oleh KKN PPM UGM dan IPSO. Beberapa kegiatan olahraga, keterampilan dan kebersihan diperlombakan dengan melibatkan semua warga lintas identitas di hari-hari sebelum festival. Hasilnya diumumkan pada malam festival/penutupan KKN. Pada penutupan tersebut, KKN, IPSO, serta warga lintas identitas menggelar makan bersama. Warga diajak dan diundang untuk berkontribusi ala kadarnya dalam kegiatan makan bersama itu. Tokoh masayarakat dan agama ikut hadir. Kebersamaan ditampilkan dengan warna keragaman. Tentu tidak semua warga Organda hadir, tetapi festival tersebut menunjukkan bahwa Organda telah mendeklarasikan area perjumpaan yang interaktif, harmonis dan produktif. Anak-anak, orang tua, Kristen dan Muslim tumpah bersama menampilkan dan menikmati festival Organda: perayaan keragaman dalam kebersamaan untuk menegaskan dan melanggengkan persaudaraan.
Ekspresi keharuan menyelimuti suasana festival. Mahasiswa KKN, IPSO, dan warga Organda tampak bahagia tetapi sekaligus sedih karena momen tersebut juga merupakan penutupan/perpisahan KKN. Mereka akan berpisah setelah sebulan setengah merakit sistem pengelolaan keragaman dalam kebersamaan melalui program pengelolaan sampah. Mahasiswa KKN, terlepas dari berbagai tantangan sosial dan budaya yang dihadapi di awal program, terlanjur merasakan ikatan kekeluargaan yang kuat terutama dengan keluarga-keluarga tempat mereka live-in, dengan warga yang terlibat secara aktif dalam berbagai program KKN, dan warga Organda secara keseluruhan. Demikian juga sebaliknya. Mama-mama IPSO, para tuan rumah live-in dan anak-anak yang semangat belajarnya meningkat melalui program-program KKN, telah menganggap mahasiswa KKN sebagai bagian dari keluarga sendiri, terlepas apapun identitas suku dan agamanya. Perpisahan memang tak terhindarkan. Ia harus dihadapi dan dialami.
Pengelolaan sampah untuk pembangunan damai, yang menjadi tema dan program KKN dan CaRED UGM, berhasil memuaskan. Belum sempurna, tetapi peta-jalan menuju lingkungan bersih, indah dan produktif serta laboratorium sosial untuk perdamaian tampak semakin konkret. Yang lebih utama untuk peta-jalan tersebut adalah semakin meningkatnya jumlah warga yang terlibat dalam IPSO, yang dimotori oleh Mama-Mama, diikuti pemuda, anak-anak, termasuk orang tua laki-laki dengan kesadaran dan komitmen tinggi. Dengan demikian, target program CaRED setahun ke depan (2019) diharapkan tercapai dan berkelanjutan. “Kitorang basodara”, yang melandasi kehidupan kewargaan dalam keragaman diharapkan terus membahana, tidak hanya di Organda, tetapi juga di Jayapura, Papua, juga di seantero Indonesia.
____________
Samsul Maarif adalah pengajar di Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana UGM.