Zainal Abidin Bagir | CRCS
Pada akhir 1980-an, dunia sedang memasuki politik tahap baru pasca meredanya Perang Dingin antara Amerika Serikat dan Uni Soviet. Ciri yang cukup mengemuka kala itu adalah kehadiran “The End of History” Francis Fukuyama yang menyatakan Demokrasi Liberal Barat sebagai bentuk akhir dari evolusi sosial, kultural dan pemerintahan di dunia dan terjerembabnya nation state dalam tarikan tribalisme dan globalisme. Pecahnya Uni Soviet yang menandakan berakhirnya Perang Dingin membuat Amerika Serikat membutuhkan panduan baru untuk membaca situasi dunia ke depan. Salah satu pemikiran yang mendapatkan perhatian pengambil kebijakan di Amerika Serikat adalah artikel Samuel P. Huntington’s pada tahun 1993 dengan judul “The Clash of Civilizations” di Foreign Affairs journal.
Huntington menyatakan, “It is my hypothesis that the fundamental source of conflict in this new world will not be primarily ideological or primarily economic. The great divisions among humankind and the dominating source of conflict will be cultural…. the principal conflicts of global politics will occur between nations and groups of different civilizations. The clash of civilizations will dominate global politics. The fault lines between civilizations will be the battle lines of the future.” Lewat hipotesisnya, Huntington mencoba menawarkan paradigma baru dalam melihat dunia. Ia melihat ada 7 peradaban yang akan mewarnai persaingan global: Western, Latin American, Confucian, Japanese, Islamic, Hindu dan Slavic-Orthodox.
Professor of the Science of Government Harvard University ini memprediksikan akan terjadi konflik di level makro antara negara-negara dari peradaban yang berbeda dalam mengontrol institusi internasional, ekonomi global dan kekuatan militer. Tesis Huntington ini sering dijustifikasi kebenarannya lewat peristiwa mengemparkan 11 September 2001.
Akan tetapi oleh pemikir-pemikir kenamaan lainnya, the Clash Civilizations ala Huntington ini mendapat kritik keras. Tariq Ali misalnya,mempersoalkan kategorisasi peradaban Huntington yang cenderung statis dan monolitik. Padahal peradaban sendiri memiliki komplekstitas dan berbagai perbedaan antar pendukungnya. Oleh karena itu, tokoh yang dikenal keras terhadap kebijakan luar negeri Amerika Serikat ini lebih cenderung melihat kepada benturan unsur-unsur fundamentalis pada peradaban-peradaban yang ada.
Dari perspektif yang berbeda, Edward Said turut mengkritik pandangan Huntington. Pakar orientalisme ini berpendapat bahwa peradaban bukanlah kotak tertutup. Sejarah memaparkan secara jelas dinamika interaksi, pertukaran, dan saling pinjam antar peradaban. Sehingga paradigma Huntington justru tidak membantu memahami realitas yang ada, meskipun mampu “memberi perspektif” kongkret dan praktis. Selain itu, Said melihat perspektif Huntington memberikan porsi signifikan terhadap Islam sangat dipengaruhi memori lama tentang pertentangan Muslim dan Eropa, khususnya persaingan Abramistic Religions. Menurutnya, benturan antar peradaban tak lebih dari bahasa baru untuk mengungkap (seleksi) sejarah, bukan untuk memahami kesalingbergantungan yang terus berlangsung sampai saat ini.
Belum cukup sampai di situ, masih ada Martha Nussbaum yang turut menunjukkan kelemahan tesis Huntington. Bagi Martha, “The real clash is not a civilizational one between “Islam” and “the West,” but instead a clash within virtually all modern nations—between people who are prepared to live with others who are different, on terms of equal respect, and those who seek the protection of homogeneity, achieved through the domination of a single religious and ethnic tradition.” Yang jadi sumber perbenturan menurut Professor of Law and Ethics University of Chicago ini adalah pertentangan antara kehendak menguasai dengan kehendak untuk hidup bersama dalam kesetaraan.
Posisi kontra Huntington juga dapat temui pada pandangan Dominique Moisi. Ilmuan politik dari Perancis ini cenderung melihat pertentangan yang terjadi lebih disebabkan oleh faktor psikologis: balutan ketakutan, keterhinaan, dan harapan, Ketakutan Dunia Barat, keterhinaan Dunia Muslim dan harapan sebagian besar negara-negara di Asia. Oleh karena itu, diperlukan upaya menghilangkan ketakutan yang tak berdasar, menciptakan kesetaraan (menumbuhkan martabat) agar melenyapkan rasa keterhinaan, dan terus berusaha mewujudkan masa depan yang penuh harapan dengan semangat perdamaian.
Untuk menciptakan solidaritas global harus dimulai dari upaya saling mengenal. Hal lain yang sangat penting adalah mengenali “musuh bersama” dan problem-problem bersama. Demo anti Perang AS atas Irak menjadi sinyal positif bagi peluang kerjasama antar orang-orang yang punya semangat menciptakan kerukunan dari berbagai belahan dunia. Dalam batas-batas tertentu, upaya inilah yang sedang dilakukan CRCS UGM untuk mewujudkan situasi dunia baru yang lebih harmonis dengan semangat mencari sekutu di antara “musuh” lama. (GUN)
(Dinarasikan dari slide powerpoint yang disampaikan oleh Dr. Zainal Abidin Bagir pada Diskusi “Great Thinkers” Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, 31 Oktober 2011)
Tetap tidak pernah mau jujur, teori Samuel P Huntington terbukti kan? Anda lihat Arab Spring, menambah semakin derasnya pengungsi ke daratan Eropa dengan harapan hidup yg lebih baik. Bagaimana jika harapan itu tidak terpenuhi? mulai terjadi polarisasi yang partikular, atas dasar budaya dan agama. Terjadi pertikaian karena pendatang yang jelas tidak bisa beradaptasi karena dasar partikularitas tadi. Lihat London, pendatang dari luar mulai membentuk daerah yang berbasis Syariah, mulai ada “polisi” syariat. Resistensi sudah memuncak dikalangan penduduk lokal, clash sangat mungkin terjadi.