Mengukur Patron di Balik Kuasa Rekognisi
Haris Fatwa Dinal Maula – 02 Januari 2022
Gagasan pluralisme merupakan ruang fleksibel bagi keberagaman untuk saling berinteraksi. Namun di sisi lain, pluralisme juga memberi keleluasaan lebih bagi mayoritas untuk mengatur keberagaman tersebut.
Implikasi dan problematika pluralisme tersebut menjadi kerangka buku Indonesian Pluralities: Islam, Citizenship, and Democracy dalam membaca isu-isu keberagaman dan negosiasinya untuk mendapatkan pengakuan di Indonesia. Buku ini mengasumsikan bahwa rekognisi justru sering kali digagalkan oleh gagasan pluralisme itu sendiri. Sebagai tulisan pembuka, Robert W. Hefner dalam “The Politics and Ethics of Social Recognition and Citizenship in a Muslim-Majority Democracy” mengilustrasikan bagaimana Arab Spring justru menciptakan krisis kewarganegaraan karena gagal memberikan rekognisi terhadap identitas-identitas minoritas dalam dunia Arab. Mesir dan Tunisia misalnya. Meskipun telah menjalankan demokrasi pascatransisi pemberontakan 2011, keduanya justru menciptakan kesepakatan antara kelompok islamis dan nonislamis tentang perlunya menjadi negara “Islam”.
Buku Indonesian Pluralities berisi kompilasi artikel yang membincang Indonesia sebagai negara plural dengan mayoritas muslim terbesar di dunia beserta pola-pola rekognisi yang menyertainya. Gagasan-gagasan pokok yang dipaparkan Hefner dalam tulisannya menjadi penting untuk digarisbawahi karena menjadi rujukan utama tulisan-tulisan dalam buku ini. Misalnya, term normativitas. Menurut Hefner, normativitas merujuk pada nilai norma atau etika yang menjadi panduan individu atau kelompok tentang bagaimana hidup bersama dalam kehidupan plural. Alih-alih berfokus pada wacana normatif tentang kewarganegaraan dan negara, berbagai penelitian dalam buku ini berusaha mengidentifikasi aktor dan organisasi yang berperan dalam membentuk normativitas tersebut yang pada akhirnya membentuk pola rekognisi di suatu wilayah.
Pola rekognisi yang dimaksud Hefner, salah satu contohnya, merujuk pada patron kuasa muslim reformis dan misionaris Kristen yang menormalisasi “agama vs kepercayaan” di awal tahun 1950-an. Artinya, bentuk rekognisi yang banyak dibincang dalam buku ini tidak jauh dari pola inklusi dan eksklusi yang diciptakan oleh patron-patron tertentu.
Rekognisi Sosial: Sebuah Proses
Buku ini mengurai berbagai pola dan proses rekognisi sosial dan konsep kewarganegaraan. Hefner mendefinisikan keduanya secara berbeda. Kewarganegaraan merupakan gerakan vertikal para pelakunya dengan pemangku otoritas politik. Secara konkrit, kewarganegaraan mengacu pada hubungan individu dengan negara untuk dapat mengakses hak dan kewajiban secara timbal balik. Jika kewarganegaraan merupakan gerakan vertikal, maka proses-proses rekognisi dibentuk oleh hubungan horizontal di mana aktor menemukan diri mereka terlibat dalam tradisi dan praktik sehari-hari. Rekognisi merupakan proses penerimaan masyarakat yang lahir melalui pertimbangan-pertimbangan yang diperoleh dari interaksi sosial dalam konteks realitas tertentu.
Dalam mengonsepsi rekognisi, Hefner merujuk pada konsep filsafat politik Barat yang mengakar pada ajaran Hegel “quest for recognition” yang utamanya berbicara tentang negosiasi masyarakat terhadap lingkungannya. Negosiasi ini bisa berarti bahwa status seorang individu sebenarnya sangat tergantung dari pengakuan individu-individu lain di sekitarnya. Hanya saja, seperti yang ditengarai oleh Hefner, konsepsi Hegelian ini kerap mengerucutkan rekognisi pada tataran etis dan legal formal, seperti karya Axel Honneth, the Struggle for Recognition: The Moral Grammar of Social Conflict (1996). Honneth mengandaikan hadirnya hukum yang koersif sehingga keadilan dan rekognisi bisa terimplementasi. Buku Indonesian Pluralities ini mengembangkan lebih jauh gagasan rekognisi Barat itu dalam konteks kehidupan majemuk di Indonesia dengan mengungkap mekanisme rekognisi yang muncul dalam masyarakat. Artinya, rekognisi tidak cukup hanya diperoleh dari perjuangan individu untuk memastikan bahwa individu-individu lainnya mengafirmasi keberadaannya, tetapi juga bergantung pada mekanisme kultural bagaimana sekelompok masyarakat menilai individu.
Menakar Pluralisme di Indonesia
Buku ini menyajikan isu-isu rekognisi melalui dua dimensi kemajemukan. Pertama, proses interaksi antara satu identitas dan identitas dominan di sebuah masyarakat. Kedua, proses interaksi antara satu identitas dan identitas nasional. Artinya, beragam identitas di Indonesia akan bernegosiasi dengan prinsip dan nilai yang telah mapan dipahami sebagai prinsip ideologi negara. Hal ini yang kurang lebih menjelaskan mengapa buku ini menggunakan term jamak “pluralities”, alih-alih tunggal “plurality”. Dalam hal ini, misalnya, Zainal Abidin Bagir melalui tulisannya “Religion, Democracy, and Citizenship, Twenty Years After Reformation” menegaskan bahwa pluralisme di Indonesia sangat bergantung pada faktor-faktor sosial, politik, dan ekonomi. Ia mengidentifikasi bagaimana proses rekognisi dan kewarganegaran dalam kasus Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang dianggap menista agama.
Demonstrasi terhadap Ahok merupakan manifestasi dari imajinasi Islam ideal milik sebagian kelompok Islam di Indonesia seperti Front Pembela Islam (FPI), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), dan Wahdah Islamiyah. Salah satunya adalah perihal haramnya kepemimpinan nonmuslim. Menariknya, Bagir menyebutkan tentang absennya dua organisasi besar Islam, NU dan Muhammadiyah, dalam demonstrasi ini. Dalam konteks ini, muncul kontestasi antara apa yang penulis sebut dengan Islam poros utama dan poros alternatif. Islam poros utama berarti kelompok Islam yang mayoritas diikuti oleh umat Islam di Indonesia. Sebaliknya, Islam poros alternatif muncul dengan kepentingan politik tertentu. Pengikut dan simpatisannya memang tidak sebanyak poros utama tetapi condong lebih militan.
Di satu sisi, NU dan Muhammadiyah cenderung berada pada apa yang disebut Jeremy Menchik dengan “communal tolerance”, sebuah toleransi yang berbasis pada hak-hak komunal. Di sisi lain, kelompok Islam poros alternatif muncul dengan gagasan eksklusif, misalnya FPI dengan jargon “NKRI Bersyariah”. Konteks ini menggambarkan bagaimana FPI melakukan evaluasi terhadap mana yang layak dan mana yang tidak. Imajinasi kepemimpinan Islam merupakan salah satu pertimbangan rekognisi ini. Oleh karena itu, Ahok secara otomatis tereliminasi dan demikian mendapat serangan luar biasa dari para simpatisan Islam poros kanan.
Drama rekognisi berlanjut, di antaranya, pada kasus marginalisasi penghayat kepercayaan. Diskriminasi ini bertolak dari konstruksi definisi agama yang lahir melalui usulan Departemen Agama (Depag) pada tahun 1952. Depag mengusulkan bahwa agama harus mencakup tiga elemen dasar: adanya nabi, kitab suci, dan pengakuan internasional. Meski usulan tersebut mendapat penolakan, definisi agama usulan Depag tersebut telah efektif dipakai untuk mengklasifikasi dan menentukan apa yang dapat dan tidak dapat dikategorikan sebagai agama, dan siapa yang dapat dan tidak dapat dianggap sebagai kelompok agama (Maarif, 2017). Prototipe ini yang kemudian diintensifkan oleh rezim Orde Baru ketika mewajibkan warga negara memeluk satu dari lima agama yang “diakui” negara sebagai komitmen melawan komunisme. Konsekuensinya, penghayat kepercayaan yang tidak menganut salah satu agama tersebut rawan dianggap tidak beragama atau seorang komunis. Stigma ini, menurut Maarif, berdampak pada abainya negara terhadap pemenuhan hak-hak kewarganegaraan para penghayat aliran kepercayaan.
Masa Depan Pluralisme di Indonesia
Dua kasus yang dibawa Zainal Abidin Bagir dalam buku ini cukup menjadi ilustrasi bagaimana agama, masyarakat, dan negara berinteraksi dalam menciptakan pola rekognisi sosial. Variabel utama yang menjadi poin penting rekognisi dalam kedua kasus adalah agama. Menariknya, seperti yang dikatakan Hefner, bahwa meskipun sumbernya sama, pola rekognisinya bisa berbeda-beda. Meminjam argumen Kristian Stokke dalam “Politics of citizenship: Towards an analytical framework” (2017), kewarganegaraan bukanlah sebuah model yang statis. Kewarganegaraan bersifat kontekstual dan dinamis. Ia bergantung pada bagaimana aktor-aktor saling beradu kepentingan dalam ruang politik yang beragam.
Mohammad Iqbal Ahnaf dalam “Scaling Against Pluralism: Hizbut Tahrir Indonesia and Islamist Opposition to Pancasila Citizenship” memberikan salah satu contoh kasus bagaimana pluralisme Indonesia diuji oleh ormas antipluralis. HTI pada akhirnya mendapat perlawanan dari banyak pihak, baik muslim maupun nonmuslim, karena dianggap bertentangan dengan nasionalisme, prinsip pluralisme bangsa, maupun normativitas. Kasus yang disodorkan Ahnaf tersebut menjadi bukti bagaimana pluralitas Indonesia termanifestasi dalam keberagaman agama, etnis, budaya, dan bahasa. Berbagai perbedaan itulah yang kemudian memunculkan berbagai normativitas yang tak tunggal. Hal ini yang mungkin juga menegaskan kembali tentang “pluralities” yang menjadi judul buku. Ada keragaman di dalam keberagaman. Ada banyak aspek yang menjadi tolok ukur kelompok untuk merekognisi individu, begitupun juga banyak ragam pola rekognisi yang terbentuk akibat kontestasi dari berbagai tolak ukur tersebut.
Inilah yang membuat buku ini berbeda dengan terbitan sejenis, misalnya Pluralisme Kewargaan: Arah Baru Politik Keragaman di Indonesia (2011) yang berfokus pada reorientasi konsep pluralisme sebagai upaya untuk saling merekognisi terhadap beragam perbedaan. Meski kedua buku tersebut membincang tentang pluralisme, Indonesian Pluralities bergerak lebih luas dengan membenturkannya dengan era Indonesia kontemporer. Hal itu terlihat dari keragaman tema dan sudut pandang tulisan. Terkait gender, misalnya, Alimatul Qibtiyah meneliti tentang perdebatan wacana kesetaraan gender di Yogyakarta. Qibtiyah mengelaborasi narasi-narasi pro dan kontra terhadap kesetaraan gender, di antaranya dari tiga organisasi muslimah terkemuka, ‘Aisyiyah, Muslimat Nahdhatul Ulama, dan Muslimat Hizbut Tahrir Indonesia. Dalam konteks lokal, Marthen Tahun menganalisis bagaimana muslim-kristiani membangun dan menjaga perdamaian di Ambon pascakonflik. Komunitas keagamaan yang tersegregasi pascakonflik 1999, menurut Tahun, menjadi tantangan tersendiri dalam upaya rekonsiliasi antaragama di Ambon.
Normativitas akan terus mendapatkan ujian dari para kelompok antipluralis. Namun, Bagir dalam tulisannya meyakini bahwa hampir tidak ada kemungkinan bagi antipluralis untuk benar-benar berhasil mengacaukannya. Di sisi lain, ia juga menggarisbawahi bahwa Indonesia dan demokrasinya adalah still unfinished projects, ‘proyek yang belum pungkas’. Pertanyaan untuk buku ini secara umum, dan untuk tulisan Bagir secara khusus, adalah apakah proyek itu benar-benar bisa “pungkas”? Bagaimana imajinasi Indonesia “sebagai proyek yang pungkas” dalam bayangan buku ini?
Indonesian Pluralities: Islam, Citizenship, and Democracy
Robert W. Hefner dan Zainal Abidin Bagir (ed.)
University of Notre Dame, 2021. 268 hlm.
ISBN: 978-0-268-10861-8 (Hardback)
______________________
Haris Fatwa Dinal Maula adalah mahasiswa Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana UGM, angkatan 2020. Baca tulisan Haris lainnya di sini.