M Rizal Abdi | CRCS | Book Review
Menandai sebuah usia dengan penerbitan sebuah buku bukanlah hal baru di dunia akademik. Boleh jadi hampir setiap pusat studi dan fakultas melakukannya meski tak ajeg, misal dua tahunan atau per lustrum. Bahkan, perayaan ulang tahun seorang professor di masa paruh bayanya kini kurang sahih tanpa penerbitan sebuah karya. Namun, di tengah gempita penerbitan itu, patut dicatat sejauh mana penerbitan buku tersebut tidak sekadar berhenti pada glorifikasi pribadi atau instansi tetapi juga berkontribusi bagi bidang studi yang ia naungi.
Maka, buku Studi Agama di Indonesia: Refleksi Pengalaman ini menjadi menarik untuk dicermati. Alih-alih memajang rentetan pencapaian dan prestasi, buku yang diterbitkan dalam rangka perayaan 15 tahun Program Studi Agama dan Lintas Budaya (Center for Religious and Cross-cultural Studies atau CRCS) Universitas Gadjah Mada (UGM) ini justru menyajikan catatan pergulatan yang sebetulnya belum selesai. Meski ditulis sebagai refleksi institusi, buku ini tidak terjebak pada kumpulan keluh-kesah pribadi yang kurang produktif. Ketujuh artikel dalam buku edisi revisi ini berisi telaah mata kuliah yang tengah diajarkan di CRCS dan satu artikel epilog dari penulis tamu berisi perkembangan terkini studi agama. Namun, di jantungnya yang terdalam, buku setebal 144 halaman ini hendak menggali berbagai isu sentral dan krusial dalam kehidupan beragama kita. Studi agama menjadi titik berangkat ketujuh penulis sebelum masing-masing bergelut dengan pendekatannya.
Suhadi memulai pergulatan dengan meneroka ulang paradigma studi agama atau Religious Studies yang berkembang di dunia. Dengan tekun, artikel ini menelisik perbedaan dan menarik benang merah yang menautkan ketiga aras besar paradigma dalam disiplin Religious Studies: Teologi, Science of Religion, dan Studi Agama. Telaah ini menjadi titik berangkat dalam mereflesikan sejarah dan perkembangan Religious Studies di Indonesia. Di akhir ulasan, Suhadi mengadvokasi kajian studi agama yang terlibat sebagai arah perkembangan studi agama di Indonesia.
Zainal Abidin Bagir menukik diskusi dengan problematisasi konsep “agama” di Indonesia. Melalui pengajaran mata kuliah “Academic Study of Religion”, definisi-definisi “agama” dibongkar dan dikritisi. Politik negara, maupun politik dari akademisi studi agama, ikut andil dalam konstruksi definisi “agama” yang tentu saja tak pernah bersifat “netral” dan “bebas nilai.” Menyambut ulasan Bagir, Samsul Maarif melalui bahasan “agama lokal” mempertajam polemik kategori “agama” oleh negara. Tidak hanya memiskinkan studi agama, kategorisasi itu ternyata berdampak sosial yang serius. Pada tahap ini, tulisan Maarif hendak melempar pertanyaan kritis kepada para akademisi studi agama: sejauh mana studi agama mampu mengadvokasi keberadaan agama lokal dan penganutnya tanpa menafikan karakter akademis yang ia bawa.
Dampak dari polemik definisi “agama” ini kian tampak pada refleksi Achmad Mundjid pada pengajaran mata kuliah “World Religion”. Melalui pendekatan inter-religius dengan analogi-analogi sederhana, Mundjid berusaha mengubah pola pikir mahasiswa dalam “menilai” agama lain. Pola pendekatan inter-religius merangsang mereka untuk melakukan refleksi kritis atas identitas keagamaannya tatkala berinteraksi dengan yang lain. Langkah serupa juga dilakukan oleh Vanderbilt, dosen dari California sekaligus sejarahwan, dalam mengampu mata kuliah “Christianity” untuk mahasiswa non-Kristen. Tak sekadar memahami Kristen lewat literatur di kelas, ia mengajak mahasiswanya untuk berinteraksi langsung dengan para pemuka dan pemeluk Kristen. Merasa terhubung adalah sama pentingnya dengan memperluas atau memperdalam kajian terhadap subyek. Pola pengajaran di kedua mata kuliah ini menjadi refleksi menarik dalam centang perenang definisi “agama” di dua tulisan sebelumnya.
Selanjutnya, Muhammad Iqbal memberikan contoh bagaimana program studi ini mendekati sebuah fenomena keagamaan secara teoritis. Mata kuliah “Religion, Violence, and Peace Building” yang ia ampu membekali mahasiswa dengan beragam amunisi kerangka teoritis untuk menganalisis kekerasan berbasis agama dari berbagai sudut dan kemungkinan. Tentu saja, pemahaman kritis dan kreatif tentang konsep agama secara historis dan politis diperlukan di sini. Kekritisan dan kekereativitasan ini pula yang tengah digarisbawahi A. Bagus Laksana dalam epilog buku ini. Pengajar program S2 Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma ini membeberkan beragam tema dan pendekatan mutakhir dalam studi agama. Kekritisan dalam menanggapi kajian yang lampau pada akhirnya akan membuka celah-celah baru dalam studi agama. Pada tataran ini, kekreativitasan dari akademisi studi agama akan mengisi celah-celah baru tersebut. Di akhir tulisan, Laksana memberikan refleksi kritis: seberapa jauh narasi pengajaran studi agama saat ini mampu merangsang kejelian para akademisi studi agama untuk membaca kekayaan realitas dan fenomena agama?
Dari rangkaian artikel di buku ini, kita bisa menebak ke arah mana program studi ini hendak berlayar.
Menarik untuk dicermati, alih-alih diletakkan di bagian akhir atau disisipkan sebagai artikel susulan, dalam edisi revisi ini tulisan Suhadi yang merupakan tulisan tambahan justru ditaruh selaku pembuka pergulatan. Pilihan tak biasa ini rupanya cukup jitu. Tak sekadar menambah tulisan sebagai pelengkap, artikel tentang Religious Studies yang diletakkan di awal justru memberi warna baru. Dalam satu kayuhan, artikel Suhadi tak cuma memberikan gambaran bagaimana studi agama di Indonesia berkembang dan berpengaruh hingga mendapati bentuknya seperti sekarang ini, tetapi sekaligus menempatkan studi agama di Indonesia dalam konteks Religious Studies dalam tingkat global.
Poin menarik lainnya, kumpulan tulisan di buku ini cukup pintar mengenalkan dan memprovokasi orang untuk juga membaca buku-buku yang mereka kutip. Sebagai contoh, Bagir membuka perbincangan tentang polemik agama melalui ramalan William C. Smith, tokoh penting studi agama, tentang kepunahan kata “agama.” Bagi pembelajar studi agama pemula, singgungan singkat macam ini merangsang untuk membaca lebih lanjut ramalan Smith yang mashur tersebut. Atau ketika Maarif mengajak kembali untuk mencermati sila pertama Pancasila, “Ketuhanan Yang Maha Esa,” yang ternyata sangat diskriminatif. Dengan memberi rujukan terkait dari berbagai tradisi kelimuan, Maarif tengah memancing daya jangkau dan daya kreativitas literatur pembaca.
Salah satu kekurangan buku ini adalah isinya yang mini, bukan dari kapasitas membangun argumentasi melainkan jumlah artikel yang cuma delapan biji, itu pun termasuk pengantar. Memang, 15 tahun tergolong belia bagi sebuah program studi di universitas yang usianya hampir setara negara ini. Namun, tidak terlalu pendek juga untuk berbagi lebih banyak amunisi. Apalagi ini program studi lintas disiplin “baru” yang tentunya menyimpan banyak pergulatan, mulai dari posisi keilmuan hingga proses bongkar-pasang kurikulum pengajaran. Di bagian pengantar, Bagir memberikan sinyal bahwa buku ini hanyalah awal dari rangkaian panjang penerbitan tentang narasi pengajaran studi agama dan refleksi pengalaman penelitian tentang agama. Dengan kata lain, akan menyusul buku-buku selaras tema sebagai, mengutip istilah Bagir, rangkaian work in progress. Kehadirannya patut kita sambut.
Studi Agama di Indonesia:Refleksi Pengalaman| Penulis: Zainal Abidin Bagir, Suhadi, Samsul Maarif, Achmad Munjid, Gregory Vanderbilt, Mohammad Iqbal Ahnaf, A. Bagus Laksana| Halaman: xii + 142 halaman | Dimensi Buku: 15×23 cm | Terbit: Oktober 2015; edisi revisi: Juli 2016 | Penerbit: Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), UGM.
*Penulis adalah mahasiswa CRCS angkatan 2015.