• Tentang UGM
  • Portal Akademik
  • Pusat TI
  • Perpustakaan
  • Penelitian
Universitas Gadjah Mada
  • About Us
    • About CRCS
    • Vision & Mission
    • People
      • Faculty Members and Lecturers
      • Staff Members
      • Students
      • Alumni
    • Facilities
    • Library
  • Master’s Program
    • Overview
    • Curriculum
    • Courses
    • Schedule
    • Admission
    • Scholarship
    • Accreditation and Certification
    • Academic Collaborations
      • Crossculture Religious Studies Summer School
      • Florida International University
    • Student Satisfaction Survey
    • Academic Documents
  • Article
    • Perspective
    • Book Review
    • Event Report
    • Class Journal
    • Interview
    • Wed Forum Report
    • Thesis Review
    • News
  • Publication
    • Reports
    • Books
    • Newsletter
    • Monthly Update
    • Infographic
  • Research
    • CRCS Researchs
    • Resource Center
  • Community Engagement
    • Film
      • Indonesian Pluralities
      • Our Land is the Sea
    • Wednesday Forum
    • ICIR
    • Amerta Movement
  • Beranda
  • Articles
  • Millah Ibrahim dalam Tafsir Al-Mizan

Millah Ibrahim dalam Tafsir Al-Mizan

  • Articles, Headline, News
  • 23 January 2017, 11.20
  • Oleh:
  • 0

A. S. Sudjatna | CRCS | Event Report

Bedah buku di Convention Hall UIN Sunan Kalijaga. Sumber gambar: uin-suka.ac.id

Secara  historis dan genealogis, Yahudi, Kristen, dan Islam mengklaim memiliki hulu yang sama, yakni dari Ibrahim atau Abraham. Ketiga agama ini kerap mendaku dirinya masing-masing sebagai agama penerus dari tradisi Ibrahimiah, Abrahamic religion, atau millah Ibrahim. Karenanya, tak heran jika sampai saat ini, ketiga agama ini kerap bersaing dalam klaim kebenaran sebagai yang paling Abrahamic, atau sebagai pewaris paling sah atas millah Ibrahim yang mendakwahkan monoteisme sebagai inti ajarannya.
Di Indonesia sendiri, para pemeluk Islam dan Kristen tak jarang terlibat konflik, baik secara terbuka maupun tertutup. Gesekan demi gesekan, kasus demi kasus dalam perebutan pengaruh dan klaim terus berlanjut hingga saat ini dengan tren fluktuatif. Faktor kekhawatiran atas kondisi semacam inilah yang kemudian menggerakkan Dr. H. Waryono Abdul Ghafur, Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan dan Kerjasama UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, menulis sebuah buku berjudul Persaudaraan Agama-Agama: Millah Ibrahim dalam Tafsir al-Mizan. Harapannya, dengan memahami substansi dari millah Ibrahim sebagai hulu dari Islam dan Kristen serta Yahudi, setiap pemeluk agama-agama ini dapat menangkap kesan persaudaraan yang hadir di dalamnya.
Untuk tiba pada pemahaman akan hadirnya garis persaudaraan di antara agama-agama penerus millah Ibrahim ini, ada tiga terma penting yang harus dipahami terlebih dahulu, yakni millah, din dan syariat. Ketiga terma ini biasanya diterjemahkan dengan agama saja di dalam Bahasa Indonesia. Padahal ketiganya memiliki makna yang berbeda. Secara ringkas, din dapat dipahami sebagai agama secara umum; sedangkan millah dimaknai sebagai tradisi; dan syariat adalah cara atau jalan tertentu yang khusus bagi suatu umat atau dapat juga dipahami sebagai cara atau ajaran nabi tertentu terhadap umatnya yang akan berbeda dengan cara nabi lainnya, misalnya syariat shalat dan puasa umat Nabi Muhammad yang berbeda dengan syariat puasa dan shalatnya umat nabi-nabi terdahulu. Dalam hal ini, millah Ibrahim dapat dipahami sebagai tradisi Ibrahim di dalam beragama yang memiliki seperangkat cara/syariat tertentu.
Menanggapi buku setebal 274 halaman yang diterbitkan oleh penerbit Mizan ini, Dr. Abdul Mustaqim, Ketua Program Studi Ilmu Al-Quran dan Tafsir UIN Sunan Kalijaga, yang menjadi pembedah pertama buku tersebut, mengatakan bahwa konsep millah Ibrahim ini dapat menjadi basis teologis dan epistemologis kerukunan beragama, terutama tiga agama besar dunia, yakni Islam, Kristen dan Yahudi.
Secara lebih lanjut, ia lalu menjelaskan karakter dari millah Ibrahim yang telah dikonseptualisasikan oleh Dr. Waryono di dalam buku tersebut berdasarkan analisisnya terhadap tafsir al-Mizan, yakni fitrah, tauhid, hanif, islam dan iman. Fitrah berarti ajarannya itu sejalan dengan naluri kemanusiaan. Tauhid berarti mengesakan Tuhan. Hanif berarti condong kepada kebenaran atau lurus. Islam—dalam hal ini bukan Islam yang menjadi proper name agama—bermakna, di antaranya, kepasrahan sikap atau kepasrahan total terhadap Tuhan. Iman berarti konsistensi antara pengetahuan dan perbuatan, atau pembenaran terhadap sesuatu disertai dengan melakukan konsekuensinya. Dalam hal ini, suatu din atau agama dapat dikategorikan sebagai penerus millah Ibrahim jika memenuhi kriteria-kriteria tersebut.
Dr. Abdul Mustaqim juga menyoroti pembahasan mengenai Yahudi dan Nasrani yang dikategorikan sebagai ahli kitab di dalam pembahasan buku tersebut, termasuk pembagian Yahudi dan Nasrani yang dikategorisasi ke dalam dua bagian, yakni mukmin dan kafir. Ahli kitab yang kafir dicirikan dengan karakter thugyan (durjana/melampaui batas),  ghuluw (ekstrem), melakukan penentangan, berbuat zalim dan nifaq. Menurutnya, ketika melakukan kategorisasi ini, Dr.Waryono sedang melakukan kajian tematik terma sekaligus tokoh. Disebut tematik terma karena Dr. Waryono banyak membahas soal terma-terma tertentu; disebut tematik tokoh karena ia memilih salah satu karya tokoh sebagai subjek bahasannya, yakni Thabathaba’i. Dalam hal ini, Dr. Abdul Mustaqim kemudian menyarankan bahwa karakter-karakter yang membuat ahli kitab dikategorikan sebagai kafir juga seharusnya direfleksikan terhadap muslim, sehingga ini dapat menjadi peringatan bagi umat Islam dalam beragama.  
Memungkasi pembedahannya atas buku tersebut, Dr. Abdul Mustaqim mengatakan bahwa konsep millah Ibrahim ini dapat menjadi otokritik bagi klaim kebenaran yang tertutup terhadap para penganut abrahamic religion, yakni para penganut Islam, Kristen dan Yahudi, sebab semua agama secara historis memiliki potensi menyimpang. Dengan  memahami ini, kita nantinya tak akan terjerumus kepada keberagamaan yang semu, melainkan akan memiliki keberagamaan yang otentik, yang menjadikan agama ini bukan untuk Tuhan, namun untuk kemaslahatan manusia. Selain itu, ia juga menegaskan bahwa fenomena perbedaan agama tidak semestinya dijadikan penghalang untuk merajut persaudaraan, sebab secara genealogis kita memiliki akar payung yang sama, yakni millah Ibrahim.
Pembedah kedua, Dr. Zainal Abidin Bagir dari CRCS, Sekolah Pascasarjana UGM, menyoroti soal signifikansi Ibrahim di dalam Islam. Menurutnya, kelekatan Islam terhadap Nabi Ibrahim sangat kentara. Selain dalam salat, sejatinya ibadah haji dapat pula disebut sebagi napak tilas Ibrahim. Ini sangat menarik, sebab Islam sebagai ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad tidak melakukan napak tilas Muhammad, namun justru menapaktilasi Ibrahim di dalam salah satu ibadahnya. 
Menyoroti terma-terma yang dibahas secara panjang lebar di dalam buku tersebut, terutama dengan istilah-istilah tauhid, kafir, iman, ihsan dan sebagainya, Dr. Zaenal Abidin Bagir mempertanyakan pemahaman mengenai terma-terma tersebut: apakah secara teologis ataukah etis. Menurutnya, jika dilihat dari maknanya, terma-terma semacam fitri, hanif, iman, islam, dan sejenisnya lebih dekat dengan persoalan etis ketimbang teologis. Di samping itu, dengan meletakkan terma-terma tersebut ke dalam landasan etis, maka nilai-nilai universal yang dapat hadir dan dimiliki bersama oleh ketiga agama yang mengklaim sebagai penerus millah Ibrahim ini lebih dapat mungkin untuk ditemukan dan dipertemukan, sehingga titik temu dan garis persaudaraan yang dimaksudkan dapat terlihat dengan lebih jelas. Selain itu, hal ini juga dikarenakan di dalam agama, menurutnya, aspek-aspek etis ini lebih ditekankan daripada teologis. Dalam hal ini, Dr. Zaenal Abidin Bagir mengingatkan penulis akan kalimatun sawa yang dideklarasikan di Jordan beberapa tahun lalu.
Menegaskan apa yang diajukan oleh Dr. Zaenal Abidin Bagir, di penghujung acara Dr. Abdul Mustaqim mengingatkan bahwa inti ajaran agama itu ada pada akhlak, atau persoalan etis, di mana Nabi Muhammad Saw. menegaskan di dalam haditsnya mengenai tujuan diutusnya, yakni untuk menyempurnakan akhlak, bukan melulu menegakkan aqidah, meski hal tersebut termasuk salah satu tugas kenabian. Ia kemudian menyampaikan bahwa sudah seharusnya kita mengubah paradigma dalam berteologi dari permusuhan menuju persaudaraan, dari kekerasan menuju kasih sayang, dari konflik menuju rukun, dari yang tercerai-berai menjadi bersatu, dari ekstremisme menuju moderasi, serta dari agama yang suka melaknat ke agama yang menebar rahmat.

Tags: agama Abrahamik Bedah Buku islam kafir tafsir al-mizan waryono abdul ghafur zalim

Leave A Comment Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Instagram

For people who learn religious studies, it is comm For people who learn religious studies, it is common to say that "religion", as a concept and category, is Western modern invention. It is European origin, exported globally through colonialism and Christian mission. Despite its noble intention to decolonize modern social categories, it suffers from historical inaccuracy. Precolonial Islamic Malay and Javanese texts in the 16th and 17th century reflect a strong sense of reified religion, one whose meaning closely resembles the modern concept.

Come and join @wednesdayforum discussion at UGM Graduate School building, 3rd floor. We provide snacks and drinks, don't forget to bring your tumbler. This event is free and open to public.
I N S P I R A S I Secara satir, penyandang disabil I N S P I R A S I
Secara satir, penyandang disabilitas baru mendapatkan sorotan ketika dia mampu berprestasi, mampu mengatasi segala rintangan dan kekurangan. Singkat kata, penyandang disabilitas kemudian menjadi sumber inspirasi bagi nondisabilitas. Budi Irawanto menyebutnya sebagai "inspirational porn". Simak ulasan lengkapnya di situs web crcs ugm.
Human are the creature who live between the mounta Human are the creature who live between the mountain and the sea. Yet, human are not the only one who live between the mountain and the sea. Human are the one who lives by absorbing what above and beneath the mountain and the sea. Yet, human are the same creature who disrupt and destroy the mountain, the sea, and everything between. Not all human, but always human. By exploring what/who/why/and how the life between the mountain and the sea is changing, we learn to collaborate and work together, human and non-human, for future generation—no matter what you belief, your cultural background.

Come and join @wednesdayforum with Arahmaiani at UGM Graduate School building, 3rd floor. We provide snacks and drinks, don't forget to bring your tumbler. This event is free and open to public.
R A G A Ada beberapa definisi menarik tentang raga R A G A
Ada beberapa definisi menarik tentang raga di KBBI. Raga tidak hanya berarti tubuh seperti yang biasa kita pahami dalam olah raga dan jiwa raga. Raga juga dapat berarti keranjang buah dari rotan, bola sepak takraw, atau dalam bahasa Dayak raga berarti satuan potongan daging yang agak besar. Kesemua  pengertian itu menyiratkan raga sebagai upaya aktif berdaya cipta yang melibatkan alam. Nyatanya memang keberadaan dan keberlangsungan raga itu tak bisa lepas dari alam. Bagi masyarakat Dondong, Gunungkidul, raga mereka mengada dan bergantung pada keberadaan telaga. Sebaliknya, keberlangsungan telaga membutuhkan juga campur tangan raga warga. 

Simak pandangan batin @yohanes_leo27  dalam festival telaga Gunungkidul di web crcs ugm
Follow on Instagram

Twitter

Tweets by crcsugm

Universitas Gadjah Mada

Gedung Sekolah Pascasarjana UGM, 3rd Floor
Jl. Teknika Utara, Pogung, Yogyakarta, 55284
Email address: crcs@ugm.ac.id

 

© CRCS - Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY

[EN] We use cookies to help our viewer get the best experience on our website. -- [ID] Kami menggunakan cookie untuk membantu pengunjung kami mendapatkan pengalaman terbaik di situs web kami.I Agree / Saya Setuju