Mitos Kerentanan Agama terhadap Kekerasan
Azis Anwar Fachrudin – 15 Agustus 2017
Dalam wacana modern mengenai hubungan agama dan kekerasan, terdapat satu prasangka yang dipercaya banyak orang, yakni bahwa dibanding fenomena kehidupan lain, agama memiliki karakter unik yang membuatnya paling rentan melahirkan tindak kekerasan.
Prasangka ini, lepas dari benar atau salahnya, berfungsi menopang suatu konfigurasi kekuasaan tertentu, persisnya yang berlandaskan pada nilai-nilai sekuler-liberal. Alur pikirnya: karena agama sangat rentan terhadap kekerasan, sudah seharusnya agama dipojokkan ke kawasan privat, sementara urusan publik harus merupakan wilayah sekuler tempat diskursus publik dijalankan secara rasional. Bila agama turut campur dalam urusan publik, konflik akan segera terjadi, tak terhindarkan, dan sulit diredam sebagaimana sulitnya merekonsiliasi klaim-klaim absolutis-irrasional yang, menurut prasangka ini, sudah inheren dalam agama.
Berupaya menentang asumsi itu, William Cavanaugh, profesor teologi dari DePaul University, Amerika, menulis buku berjudul The Myth of Religious Violence: Secular Ideology and the Roots of Modern Conflict (Oxford, New York: 2009). Sebagaimana sudah tampak dari judulnya, buku ini menyatakan bahwa prasangka di atas, yang hingga tingkat tertentu telah menjadi semacam conventional wisdom, sejatinya adalah “mitos”. Yang dimaksud dengan “mitos” di sini bukan sekadar klaim yang keliru. Lebih dari itu, “mitos” di sini ialah suatu kepercayaan yang dipahami seolah-olah sudah benar secara natural (taken for granted), tak-tertanyakan (unquestioned), dan, karena sudah menjadi paradigma, orang sulit untuk berpikir di luar kotak yang telah dibingkai oleh paradigma itu.
Namun perlu dicatat bahwa tatkala mengajukan pemahaman tentang kekerasan agama sebagai “mitos”, Cavanaugh tidak hendak menyatakan bahwa agama tidak menyebabkan kekerasan. Dalam perdebatan klasik mengenai “apakah agama dapat menyebakan kekerasan”, Cavanaugh mengambil posisi yang menjawab pertanyaan itu dengan “ya”. Dengan kata lain, Cavanaugh mengatribusikan suatu agensi positif dalam agama yang kadang turut bersaham melahikan kekerasan.
Yang ditentang Cavanugh dan dinyatakannya sebagai “mitos” ialah premis bahwa agama memiliki karakteristik esensial yang membuatnya rentan terhadap kekerasan. Dalam buku itu Cavanaugh mengajukan tesis bahwa ideologi-ideologi sekuler seperti nasionalisme, marxisme, kapitalisme, dan liberalisme, adalah sama rentannya terhadap kekerasan sebagaimana agama.
Cavanaugh menelisik literatur terpenting yang pernah ditulis dalam topik kekerasan agama (religious violence), yakni karya para sarjana terkenal seperti Charles Kimball, Martin Marty, Mark Juergensmeyer, Scott Appleby, dan beberapa lainnya. Dari literatur tersebut, Cavanaugh menyimpulkan bahwa premis mengenai kekerasan agama itu dibangun di atas asumsi lain, yakni bahwa agama memiliki karakteristik yang tak dimiliki ideologi-ideologi sekuler dan menyebabkannya rentan terhadap kekerasan. Karakteristik itu ialah (1) absolutis, (2) divisive atau memecah belah, dan (3) irrasional. Sebagian besar, kalau bukan malah semua, yang mendukung premis mengenai kekerasan agama itu memercayai satu atau lebih dari ketiga sifat itu sebagai karakteristik yang inheren dalam agama.
“Agama” sebagai invensi modern
Cavanaugh melawan prasangka itu mula-mula dengan memproblematisasi konsep “agama” itu sendiri. Prasangka itu mengasumsikan bahwa “agama” memiliki definisi yang stabil dan universal. Umumnya orang akan segera mengasosiasikan agama sebagai sebuah kategori yang mencakup tradisi-tradisi terinstitusionalkan seperti Kristen, Islam, Hinduisme, Buddhisme, dan seterusnya. Perkembangan mutakhir dalam Studi Agama menunjukkan bahwa pemahaman semacam ini sesungguhnya merupakan invensi modern.
Mengikuti argumen yang sebenarnya sudah cukup lama dikembangkan dalam tren mutakhir Studi Agama—tren yang kadang disebut dengan “konstruksionisme sosial”—Cavanaugh menyatakan bahwa konsep “agama” dalam diskursus modern merupakan konstruksi yang bermula dari era Pencerahan di Barat dan karena itu, bila dikontraskan dengan diskursus di kawasan kebudayaan lain, “agama” dalam diskursus modern tidak memiliki definisi yang stabil, universal, dan transhistoris.
Argumen konstruksionisme sosial itu ringkasnya begini. Agama dalam bahasa Inggris (religion) berasal dari bahasa Latin “religio”. Pada abad-abad awal dalam penanggalan Masehi, religio berarti “patuh menjalankan tugas individual dan sosial”. Apa yang disebut religius dalam masa itu bukan hanya disiplin dalam melakukan ritual-ritual tradisional, melainkan juga patuh menjalankan kewajiban sosial. Loyalitas pada asal kelompok sosial atau patriotisme pada masa itu merupakan hal yang bersifat religius. Di zaman modern, loyalitas semacam ini akan dikategorikan dalam kawasan sekuler. Ini satu hal yang menyebabkan diskursus modern harus menghadapi problem disparitas antara loyalitas terhadap agama dan loyalitas terhadap negara/bangsa karena dua hal itu diandaikan terpisah.
Pada masa pra-modern, religio merembesi semua bidang kehidupan. Religio pada masa itu masih berupa kata benda-sifat (adjectival noun), bukan kata benda murni, dan tidak memiliki bentuk plural. Hingga menjelang masa modern, sebagaimana istilah-istilah lain, kata religio mengalami evolusi makna. Ringkas cerita, pada masa Reformasi Protestan, ketika terjadi persengketaan keras antara Gereja Katolik dan mereka yang tak mau patuh pada Gereja Katolik, makna religio mulai berubah. Dalam iklim diskursus yang polemis itu, kata religio menjadi bermakna sikap patuh yang benar terhadap Tuhan, di mana kebenaran itu terwujud dalam postulat-postulat teologis. Pada masa ini, religio menjadi kata benda murni, dan ia memiliki bentuk plural yang mencakup religio-nya Katolik dan religio-nya Protestan. Dengan maknanya yang merujuk pada doktrin-doktrin teologis, makna religio pun menyempit: dari yang semula memberikan penekanan pada praktik, berubah penekanannya pada kepercayaan (belief). (Salah satu bacaan terpenting dalam sejarah kata “religion” ialah karya klasik Wilfred Cantwell Smith, The Meaning and End of Religion [1962])
Persengkatan Katolik-Protestan itu, yang dalam narasi umum sejarah disebut-sebut menyebabkan perang 30 tahun (yang belakangan dinamai “Perang Agama” [Wars of Religion]) turut mengiringi gelombang intelektual Pencerahan di Eropa dan selanjutnya membidani kelahiran negara-negara bangsa (nation states). Negara bangsa ini tentu memerlukan satu konsep diskursus yang diandaikan netral-agama guna mengakhiri “Perang Agama” itu. Satu solusi yang hadir ialah: pembagian bidang kehidupan antara yang privat-individual untuk agama; dan yang publik untuk ranah kehidupan sosial yang dinamai “yang sekuler” (the secular).
Peminggiran agama dalam wilayah privat adalah solusi negara bangsa liberal-modern untuk mengakhiri konflik agama dengan klaim-klaimnya yang “absolutis, divisive, dan irrasional” itu. Pada mulanya solusi ini mengandung niatan yang baik, yakni untuk mengampanyekan sikap toleran dalam sengketa klaim-klaim absolutis agama, sebagaimana ditulis oleh intelektual liberal John Locke dalam risalahnya yang terkenal, A Letter Concerning Toleration (1689). Hanya saja, ia menjadi problem ketika, seiring dengan kolonialisme dan imperialisme, konstruksi biner religius-vis-à-vis-sekuler itu diimpor ke belahan dunia lain (ke “Timur”) yang sebelumnya tak mengenalnya. Diskursus biner religius-vis-à-vis-sekuler itu kini sudah begitu hegemonik sehingga orang modern hampir tak bisa melepaskan diri darinya—satu hal yang oleh Cavanaugh kemudian dinyatakan telah menjadi “mitos”.
Jadi, konsep “agama” dalam diskursus yang hegemonik saat ini ialah hasil invensi modern, khususnya dari Barat, dan karena itu ia tidak universal dan tidak transhistoris; ia lahir dari konfigurasi politik tertentu. Pada titik ini, menjadikan agama sebagai hal yang dapat terdefinisikan di dalam dirinya sendiri adalah hal yang bermasalah. Penisbatan hal-hal lain terhadap agama, termasuk kekerasan agama, adalah sama problematisnya jika agama di situ dipahami sebagai konsep yang transhistoris dan tidak bersifat contingent terhadap satu konfigurasi politik tertentu.
Mitos “Perang Agama”
Lebih dari sekadar mempermasalahkan konsep “agama”, Cavanaugh bergerak lebih jauh dengan memproblematisasi narasi “Perang Agama” di Eropa abad 16-17. Cavanaugh menyatakan bahwa bukti-bukti sejarah menolak simplikasi Perang Agama itu sebagai Perang Katolik vs Protestan. Cavanaugh memaparkan bahwa dalam rangkaian perang itu terdapat permusuhan dan jaringan aliansi yang lebih kompleks dari yang kerap diceritakan.
Dalam “Perang Agama” itu banyak terjadi aliansi Katolik-Protestan melawan orang-orang yang juga terbentuk dari aliansi Katolik-Protestan. Untuk menyebut sebagian contohnya: pada abad 16, Gereja Katolik dilawan orang-orang Katolik Prancis sendiri yang didukung oleh beberapa pangeran dari gereja-gereja protestan, dan di sisi lain, kaisar Katolik Charles V mendapat dukungan dari beberapa pangeran dari gereja Lutheran. Orang-orang Katolik Bavaria juga beraliansi dengan pangeran-pangeran Lutheran dalam melawan Ferdinand yang saat itu hendak menjadi raja Romawi.
Jadi, dalam sejarah yang dinarasikan sebagai “Perang Agama” itu, terdapat jalinan aliansi yang kompleks antara orang-orang Katolik dan Protestan (dan kadang didukung oleh kaum Muslim Turki) melawan pemimpin-pemimpin politik yang Katolik. Cavanaugh mendedikasikan satu bab khusus untuk merobohkan mitos tentang “Perang Agama” itu. Cavanaugh berpandangan bahwa yang terjadi bukanlah “Perang Agama” melainkan perang perebutan kekuasaan politik. Dengan nada yang lebih tegas, Cavanaugh menyimpulkan bahwa dalam kasus-yang-disebut-“Perang Agama”-itu, bukan “agama” (dalam pengertian modernnya) yang menyebabkan perang, tapi justru proses pembentukan negara bangsa (nation state building)-lah yang justru memicu perang.
Ideologi “sekuler” mirip agama
Melanjutkan argumennya, Cavanaugh menelisik lebih mendalam bahwa ideologi-ideologi “sekuler”, ketika asumsi-asumsi dasarnya diproblematisasi, juga berbagi sifat dengan karakteristik yang dianggap inheren dalam agama itu (yakni absolutis, divisive, dan irrasional). Dalam aspek tertentu, ideologi sekuler itu juga memiliki kemiripan dengan agama, misalnya dalam hal mewajibkan suatu ritual.
Contoh: nasionalisme, juga etnisisme, yang bisa divisive karena membagi manusia menurut identitas kebangsaan atau suku dengan basis yang tak bisa dipertahankan secara rasional. Nasionalisme bisa menjadi absolutis ketika terpeleset ke titik ekstremnya: chauvinisme. Nazisme adalah manifestasi dari nasionalisme ekstrem yang “absolutis, divisive, dan irrasional” itu.
Tampak bahwa nasionalisme tak kalah rentannya terhadap kekerasan dibanding agama. Ia bahkan mirip agama. Nasionalisme punya “ritual”, seperti penghormatan terhadap lambang/simbol negara. Nasionalisme menjadikan “negara bangsa” sebagai hal yang sakral (the sacred), yang karenanya orang rela mati demi membelanya. Karena unsur-unsur inilah, Carlton Hayes pernah menulis buku berjudul Nationalism: A Religion (1926).
Di samping nasionalisme, hal yang sama bisa diberlakukan untuk ideologi-ideologi sekuler lain guna menemukan apakah ia tak mengandung aspek yang “absolutis, divisive, dan irrasional itu”. Marxisme, misalnya, dengan materialisme historisnya yang berupaya menjelaskan sejarah secara totalitarian, atau liberalisme dengan hak dan otonomi individunya, atau kapitalisme dengan pasar bebasnya.
Rangkaian argumen dari Cavanaugh itu berujung pada kesimpulan bahwa premis mengenai kerentanan agama terhadap kekerasan tak layak dipertahankan karena (1) definisi agama, yang merupakan invensi modern, tidaklah stabil dan universal; (2) pembentukan negara bangsalah yang justru memicu kekerasan dalam fenomena yang dinarasikan sebagai “Perang Agama”; dan (3) ideologi-ideologi sekuler tak kalah divisive-nya dibanding agama dan karena itu sama rentannya terhadap kekerasan.
Jalan ringkas
Argumen yang dibangun Cavanaugh ini merupakan jalan panjang akademis dalam melawan “mitos” kekerasan agama. Ada jalan yang lebih ringkas, meski sasarannya lebih terbatas untuk audiens populer.
Argumen populer itu begini: Bila agama adalah yang paling rentan terhadap kekerasan, seharusnya kekerasan yang paling banyak menimbulkan korban adalah kekerasan yang didominasi justifikasi keagamaan. Yang terjadi di zaman modern, alasan-alasan non-keagamaanlah (tentu, sekali lagi, “agama” dalam diskursus modern) yang melahirkan para diktator brutal dengan korban jutaan. Mao Tse Tung, Pol Pot, Joseph Stalin, dan Adolf Hitler adalah di antara contohnya. Tragedi kemanusiaan seperti bom atom ke Hiroshima-Nagasaki adalah contoh lainnya.
Salah satu studi yang banyak dikutip dalam debat populer mengenai terorisme dengan bunuh diri (suicide terrorism) ialah karya Robert Pape, Dying to Win: The Strategic Logic of Suicide Terrorism (2005), yang meneliti terorisme bunuh diri dari sudut pandang strategi, sosial, dan psikologi—sayangnya Cavanaugh tak mengutip buku ini. Objek yang ditelitinya mencakup 315 kasus terorisme bunuh diri dalam rentang waktu 1980-2003.
Salah satu kesimpulan utama buku itu ialah bahwa “terdapat sedikit koneksi antara terorisme bunuh diri dengan agama”, dan bahwa “justru hampir semua serangan teror bunuh diri memiliki tujuan spesifik yang strategis dan sekuler: memaksa negara-negara demokrasi modern untuk menarik pasukan militernya dari teritori yang oleh para teroris itu dianggap sebagai tanah mereka” (“what nearly all suicide terrorist attacks have in common is a specific secular and strategic goal: to compel modern democracies to withdraw military forces from territory that the terrorists consider to be their homeland”). Hanya saja, karya ini tampak masih menerima begitu saja diskursus biner yang mempertentangankan antara “yang religius” dan “yang sekuler”, satu hal yang diproblematisasi oleh Cavanaugh.
Memahami buku Cavanaugh bukan hal yang mudah karena, sebagaimana ide-ide dekonstruktif lainnya, ia mengharuskan seseorang untuk keluar dari paradigma yang sudah terlanjur hegemonik. Ketika terjadi kekerasan yang kebetulan pelakunya menjustifikasinya dengan alasan keagamaan, orang modern akan segera mengasosiasikan peristiwa itu dengan agama. Namun ketika pelakunya tak membawa justifikasi keagamaan, orang modern yang sama cenderung tak menyadarinya sebagai “peristiwa sekuler”. Buku Cavanaugh itu bermanfaat setidaknya untuk menambah sensitivitas agar lebih kritis terhadap diskursus modern semacam itu, yang oleh kebanyakan orang dianggap normal belaka.[]