Elma Haryani, alumni CRCS 2001, dalam sebuah wawancara dengan CRCS menjelaskan bahwa aktifitasnya saat ini telah banyak dipengaruhi pengalamannya selama di CRCS. “Saya lebih siap berbeda dan menerima perbedaan, artinya bahwa saya siap membuka diri untuk internal saya, trus eksternal saya siap menerima apapun. Saya lebih bisa mengapresiasi perbedaan,” tegas perempuan yang kerap disapa “Elma” ini. Meskipun demikian, ia juga mempunyai kritik terhadap CRCS berdasarkan pengalamannya tersebut.
Ibu dari dua anak ini menjalani karirnya sebagai seorang dosen di sebuah lembaga pendidikan internasional bernama The Islamic College, Jakarta. Selain mengajar di lembaga ini dan beberapa universitas rekanan (UIN Bandung dan Universitas Paramadina), ia juga menduduki jabatan koordinator kemahasiswaan di kampusnya.
Elma mengakui bahwa keberadaannya saat ini telah banyak didukung oleh pengalamannya selama kuliah di CRCS. Perempuan yang berdarah Bugis dan Madura ini mengembangkan studi agama dan gender yang ia minati di CRCS, dan bidang ini pula yang masih ia geluti dalam pekerjaannya saat ini. “Belajar gender itu challenge bagi saya, dan fenomena ini bukan hanya fenomena pada agama tertentu, tetapi juga diberbagai agama, apalagi dilihat dengan perspektif religious studies, karena terkesan jadi nendang,” ungkap Elma sambil tersenyum.
Dalam bidang kajian agama dan gender ini, Elma lebih senang mengkritisi sebab, yakni lebih pada kecenderungan. Menurutnya hal ini dikarenakan ia lebih suka kajian pada ranah filsafat. Elma tidak hanya berkutat pada ruang kelas dalam menyampaikan gagasan-gagasan yang ia miliki. Ia pernah aktif di beberapa organisasi Islam selama 12 tahun, menjadi senior trainer untuk isu-isu perempuan dengan menggunakan pendekatan agama dan gender.
Beberapa hal yang ia dapatkan di CRCS telah ia ikuti, khususnya dalam prinsip-prinsip ‘peace building process’. Pada kurikulum yang berkaitan dengan ajaran agama-agama, ia mendatangkan pengajar-pengajar yang beragama sesuai dengan matakuliah yang diajarkan.
Pengalamannya di CRCS juga dianggapnya sebagai life changing experience. Elma yang dahulunya besar di lingkungan pesantren, merasakan pengalaman yang berbeda di CRCS. “Ada semacam pengayaan spritualitas dan sosiologis. Secara spiritualitas saya lebih humble way, lebih bisa menghargai apapun. Secara sosiologis, banyak saya dapatkan pertemanan-pertemanan baru dari berbagai kelompok, kalau dulu monolitik, sekarang lebih majemuk. Itu sebuah fase paling penting dalam kematangan berproses expertis saya secara pribadi, maupun secara sosial, karena siapa sih yang tidak tahu jaringannya CRCS ada di mana-mana dan kapan saja”, ungkap Elma.
Meskipun demikian, Elma juga melihat sisi negatif dari suasana yang ada di CRCS. “CRCS itu comfort zone, yang nyaris meminimalisir kritisisme. Karena di situ sebuah komunitas yang nyaman, hangat, kekeluargaannya enak, jaringannya enak, ke mana-mana. Saya melihat bahwa nyaris kehilangan challenge. Seperti itu mungkin jadi tidak bagus, kalau 10 tahun ke depan kira-kira mau dijadikan apa ya, itu jadi kurang menantang lagi, karena semuanya sudah nyaman,” jelas Elma. (JMI)