• Tentang UGM
  • Portal Akademik
  • Pusat TI
  • Perpustakaan
  • Penelitian
Universitas Gadjah Mada
  • About Us
    • About CRCS
    • Vision & Mission
    • People
      • Faculty Members and Lecturers
      • Staff Members
      • Students
      • Alumni
    • Facilities
    • Library
  • Master’s Program
    • Overview
    • Curriculum
    • Courses
    • Schedule
    • Admission
    • Scholarship
    • Accreditation and Certification
    • Academic Collaborations
      • Crossculture Religious Studies Summer School
      • Florida International University
    • Student Satisfaction Survey
    • Academic Documents
  • Article
    • Perspective
    • Book Review
    • Event Report
    • Class Journal
    • Interview
    • Wed Forum Report
    • Thesis Review
    • News
  • Publication
    • Reports
    • Books
    • Newsletter
    • Monthly Update
    • Infographic
  • Research
    • CRCS Researchs
    • Resource Center
  • Community Engagement
    • Film
      • Indonesian Pluralities
      • Our Land is the Sea
    • Wednesday Forum
    • ICIR
    • Amerta Movement
  • Beranda
  • Book Review
  • Pengobatan ‘Klenik’ dan Keberagamaan ‘Sinkretik’ di Barus

Pengobatan ‘Klenik’ dan Keberagamaan ‘Sinkretik’ di Barus

  • Book Review
  • 15 January 2020, 16.34
  • Oleh: CRCS UGM
  • 0

Pengobatan ‘Klenik’ dan Keberagamaan ‘Sinkretik’ di Barus

Zulfikar R H Pohan – 15 Januari 2019

Peresmian dan penandatanganan prasasti di Barus, Sumatera Utara, untuk menandai “titik nol peradaban Islam Nusantara” oleh Presiden Joko Widodo tiga tahun lalu (Maret 2017) bisa menjadi acuan untuk memicu diskusi tentang bagaimana perjumpaan antara agama-agama dunia dan modernisasi di satu sisi dan kepercayaan lokal di sisi lain terjadi di Nusantara.

Apakah ada konversi yang menandai keterputusan total dari budaya lokal, atau ada kontinuasi dan negosiasi yang masih berjejak hingga kini, atau malah terjadi subordinasi terhadap yang ‘belum modern’?

Sebagai salah satu tempat persinggahan niaga lintas bangsa di masa silam, Barus mewarisi beragam khazanah ilmu dan budaya yang dibawa para pedagang, yang kemudian bertemu dengan sistem religi lokal. Perjumpaan ini pada gilirannya mewarnai corak agama dunia yang mengejawantah di Barus. Islam di Barus-Singkel, misalnya, berbeda dari corak Islam di Minangkabau. Jejak-jejak yang masih tersisa menunjukkan bahwa cara beragama masyarakat Barus dulu relatif cair menyerap berbagai elemen praktik keagamaan yang datang dari luar.

Pengobatan ‘klenik’

Satu contoh bagus yang bisa diketengahkan untuk membaca persebaran agama dunia dan jalannya modernisasi di Barus bisa dilihat di bidang pengobatan. Ihwal ini dibahas di buku yang belum lama terbit berjudul Gerbang Agama-Agama Nusantara: Kajian Antropologi Agama dan Kesehatan di Barus (2017) karya Rusmin Tumanggor. Buku ini menyasar pengetahuan serta kepercayaan yang melatari pembuatan ramuan tradisional di Barus, dan implisit hendak menyampaikan pesan bahwa, dengan digantinya pengobatan tradisional Barus oleh pengobatan modern, industri farmasi dan bisnis kesehatan modern meraup untung, sementara obat-obatan tradisional terpinggirkan karena dianggap klenik, padahal manjur.

Di bukunya, Tumanggor menjelaskan bahwa pengobatan tradisional di Barus merefleksinya kepercayaan lokal yang sudah lama berkembang di sana, yakni bahwa tetumbuhan dan hewan-hewan mempunyai roh dan tuah yang dititipkan Tuhan untuk digunakan sebagai obat. Karena roh ini, kepercayaan lokal memiliki aturan khusus dalam pembuatan ramuan, dari sejak cara penangkapan, pengawetan, hingga menjadi obat. Bak mantra, kepercayaan ini tercermin dalam ungkapan lokal “dahut-sedahutnya, suan-suanon, rambasa pengipaina ima dongat ngolu” (rumput-rumput, tanam-tanaman, dan hutan seisinya adalah teman hidup).

Namun karena pengobatan tradisional itu dianggap klenik dan para penyembuh (datu) lokal yang memakai mantra-mantra dalam meramu obat tersingkir oleh dokter-dokter modern, banyak tumbuh-tumbuhan ‘berkhasiat’ (menurut tradisi) di Barus tidak masuk ke dalam laboratorium farmasi. Data dari Tumanggor mencatat, ada 166 spesies tumbuhan yang menjadi ramuan tradisional di Barus, dan 56 spesies darinya belum diketahui ‘khasiat’ medisnya (menurut pengobatan modern) karena belum diuji di laboratorium farmasi.

Dari bidang pengobatan saja kita bisa mengetahui bahwa apa yang disebut ilmu pengetahuan yang ‘sah’ tidaklah lepas dari siapa yang sedang mendominasi. Kasus pengobatan tradisional di Barus menjadi satu dan sekian banyak contoh mengenai pentingnya antropologi pengetahuan dalam meneroka apa yang oleh sebagian orang disebut ‘sains’ yang kerap diandaikan netral dan bebas dari agensi manusia.

Keberagamaan ‘sinkretik’

Bila para datu-nya dianggap klenik, keberagamaan di Barus dulu juga dianggap sinkretik, paling tidak oleh kaum puritan. Buku Tumanggor menceritakan bagaimana agama lokal Parmalim begitu terbuka sehingga dengan mudah mengadopsi beberapa elemen dari agama-agama dunia yang datang ke Barus. Ini bukan sekadar terjadi di abad-abad mutakhir, melainkan bisa ditarik hingga melebihi satu milenium (ingat, Barus adalah penghasil kapur, yang oleh bangsa-bangsa kuno dulu dicari untuk mengawetkan jenazah) .

Tumanggor mencatat bahwa kitab Pustaha dalam Ugamo Parmalin berisi sejumlah ungkapan yang berasal dari Islam, Yahudi, dan bahkan Konghucu. Mantra penyembuhan dalam Parmalim dibuka dengan “Ben somerlah bi rahaman bi rahamin” (dari bahasa Ibrani, yang mirip kalimat basmalah dalam Islam), ditutup dengan “Rasulullah, Laillaillallah”. Mantra lain ditujukan pada Dewa Kwan Khong, yang berbunyi, “Hong, ulosi aha on songon tumbaga huling, palua sahitna, hipashon imana”, yang kurang lebih berarti, “Hong, sematkan ulos ke tubuhnya, seperti Tumbaga Huling, sembuhkan sakitnya, kelegaan baginya.”

Keberagamaan yang terbuka pada beragam sistem kepercayaan ini boleh jadi berkaitan erat dengan corak keislaman yang dulu berkembang di Barus. Sufi mistik terkenal dari wilayah ini ialah Hamzah Fansuri (“Fansur” adalah sebutan Arab untuk Barus), yang ikut menyebarkan ajaran wahdatul-wujud di Aceh.

Hingga sekarang, daerah-daerah sekitar Barus, yang sebagian besar kini masuk wilayah Singkel, Aceh, memiliki praktik keislaman yang relatif khas, yakni penyembuhan berbasis tanaman dan mantra-mantra (tabas), serta doa-doa yang memakai kemenyan. Dulu nama-nama pemuka agama Islam di Singkel dulu banyak yang memakai ‘malim’, seperti Malim Sogek, Malim Pokekh, dst, sebelum punah di akhir abad 20 ketika purifikasi mulai dominan dalam wacana keagamaan dan ‘malim’ diganti ‘abuya’.

Kaum puritan di Minangkabau mungkin akan menganggap doa dengan kemenyan dan mantra-mantra dalam penyembuhan itu sebagai bentuk pencampuradukan kepercayaan lokal dengan agama Islam yang seharusnya ‘murni’. Namun terlepas dari persoalan akidah/fikih mengenai yang murni atau yang bidah, jejak-jejak budaya lokal yang masih ada hingga kini di Barus merupakan satu dari sekian banyak contoh bahwa persebaran Islam di Nusantara tidaklah berjalan dalam satu hentakan dengan konversi besar-besaran sembari putus total dari tradisi lokal.

Bila benar demikian itu yang terjadi—atau malah demikianlah yang sebagian besar terjadi dulu di Nusantara—sulit untuk menolak pandangan bahwa, alih-alih ‘mencampur-aduki’, corak keberagamaan yang cair dan terbuka, yang dianggap ‘sinkretis’ itu, justru berkontribusi besar bagi diterimanya agama-agama dunia oleh masyarakat-masyarakat lokal di Nusantara.

Untuk merenungkan hal itu, mari membayangkan: apa jadinya bila masyarakat lokal dulu cenderung puritan dan eksklusif ketika menjumpai agama-agama dunia—apakah proses persebaran agama dunia akan berjalan cepat, damai, dan minim konflik atau sebaliknya?

________________

Zulfikar Riza Haris Pohan adalah mahasiswa Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana UGM, angkatan 2019, asal Singkil, Aceh.

Gambar header: Makam Mahligai di Barus. Di sana ada makam Syekh Rukunuddin, disebut bertarikh 672 M, yang menjadi salah satu dasar pendapat bahwa Islam telah masuk di Nusantara sejak abad 1 penanggalan hijriyah.

Tags: zulfikar pohan

Leave A Comment Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Instagram

Since the end of 19th century, the Catholic Church Since the end of 19th century, the Catholic Church has conducted missionary activities among the Javanese in Muntilan, Indonesia, establishing it as the first Catholic mission site in Java. The missionary work not only impacted the Javanese but also the Chinese descendants in Muntilan. The conversion of the Chinese to Catholicism in sparked debates among the Chinese community, who perceived it as a contributing factor to the abandonment of Chinese characteristics. This contest leads to the dynamic and diverse identities of Chinese Catholics within the community, as Chinese characteristics and Catholic faith mutually influence each other.

Come and join the #wednesdayforum discussion with @astridsyifa at the UGM Graduate School building, 3rd floor. We provide snacks and drinks, don't forget to brong your tumbler. This event is free and open to public
Selamat kepada peserta terpilih!!! Ada namamu di s Selamat kepada peserta terpilih!!!
Ada namamu di situ?

😎

peserta terpilih akan dihubungi oleh panitia
yoohoooo... are you waiting for this announcement? yoohoooo...
are you waiting for this announcement?

#studentexchange #religiousstudies #kaburajadulu
Setiap bahasa punya pendekatan dan penyebutan berb Setiap bahasa punya pendekatan dan penyebutan berbeda untuk menamai "pendidikan". Bahasa Arab membedakan antara tarbiyah, ta'lim, tadris, dan ta'dib ketika berbicara tentang "pendidikan". Sementara itu, bahasa Inggris memaknai "pendidikan" sebagai educare (latin) yang berarti 'membawa ke depan'. Jawa memaknai pendidikan sebagai panggulawênthah, 'sebuah upaya mengolah', dan upaya untuk mencari pendidikan itu disebut sebagai "ngelmu", bukan sekadar mencari melainkan juga mengalami. Apa pun pemaknaannya, hampir semua peradaban sepakat bahwa pendidikan adalah kunci untuk memanusiakan manusia.
Load More Follow on Instagram

Twitter

Tweets by crcsugm

Universitas Gadjah Mada

Gedung Sekolah Pascasarjana UGM, 3rd Floor
Jl. Teknika Utara, Pogung, Yogyakarta, 55284
Email address: crcs@ugm.ac.id

 

© CRCS - Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY

[EN] We use cookies to help our viewer get the best experience on our website. -- [ID] Kami menggunakan cookie untuk membantu pengunjung kami mendapatkan pengalaman terbaik di situs web kami.I Agree / Saya Setuju