Keragaman adalah fakta geografis dan sosial bangsa Indonesia yang tak bisa dipungkiri. Sebagaimana yang ditegaskan dalam semboyan Bhinneka Tunggal Ika, keragaman sudah menjadi identitas Indonesia. Disatu sisi keragaman adalah kekayaan yang bisa dibanggakan namun disisi lain juga menyimpan potensi konflik yang tinggi, baik konflik antar umat beragama maupun antar etnis, sehingga dibutuhkan pengetahuan dan keterampilan dalam pengelolaan keragaman ini. Untuk itu Program Studi Agama dan Lintas Budaya, UGM mengadakan Sekolah Pengelolaan Keragaman (SPK) dengan mengundang aktivis dan akademisi untuk saling menggenapi. Tulisan ini merupakan hasil bincang-bincang dengan Taufik Bilfagih, ketua umum Yayasan Alhikam Cinta Indonesia di Manado, yang menjadi peserta SPK angkatan k-2, pada akhir November lalu.
Bertempat di University Club, UGM, Senin (25/11), lelaki Manado dari suku Bajo ini menuturkan bahwa keragaman adalah sebuah keadaan di mana ada banyak sisi perbedaan, baik yang berhubungan dengan identitas kesukuan, agama, bahkan psikologi seseorang. Ketika seseorang dilahirkan, ia sudah membawa keragaman seperti, perbedaan sifat, sikap, fisik, keyakinan, dan lain-lain. Maka, dalam konteks ke-Indonesiaan, keragaman adalah realitas hidup yang harus dikelola secara baik sesuai dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika .
Bahkan jika berbicara masalah waria, ia menambahkan, itu juga termasuk bagian dari keragaman yang ada. Jika kita melihat kitab suci al-Qur’an atau al-Kitab, memang tidak disebutkan bahwa waria diciptakan oleh Tuhan. Kitab suci hanya menjelaskan bahwa Tuhan menciptakan pria dan wanita saja. Hal ini menunjukan bahwa secara biologis, Tuhan menciptakan pria dan wanita, namun secara gender, ada juga pria yang memiliki fimininitas lebih dominan dari pada maskulinitasnya, dan begitu juga sebaliknya. Maka, ini adalah salah satu realitas keragaman yang ada. Mereka patut diperhatikan dan tidak boleh dipandang hanya dari satu sisi saja, jelasnya.
Berbicara mengenai isu keragaman yang lebih spesifik, yaitu di Sulawesi Utara khususnya Manado, pria kelahiran 16 Maret 1986 ini menjelaskan bahwa secara mendasar, Manado adalah salah satu kota yang dihuni oleh bermacam-macam etnik seperti, Minahasa, Jawa, Arab, Tionghoa dan juga bermacam-macam penegikut agama. Namun, ada perubahan sosial yang dirasakannya semenjak era globalisasi saat ini yang menurutnya dipicu oleh mudahnya informasi yang masuk dari daerah di luar Sulawaesi Utara, baik itu informasi yang negatif ataupun positif.
Sebelum masa reformasi, Manado relatif lebih bisa menerima keragaman yang ada, namun setelah era reformasi, ada pemantik-pemantik konflik antar umat beragama yang jika tidak dikelola dengan baik, akan meningkat menjadi konflik yang lebih besar. Contohnya saja, ketika ada pembangunan Islamic Center di Bitung, Sulawsi Utara, ada penolakan dari pemuda-pemuda Kristen setempat. Ia menjelaskan, “saya pikir ini salah satu implikasi dari mudahnya informasi yang masuk dari luar, seperti beberapa berita insiden bom bunuh diri yang dilakukan oleh sekelompok Muslim radikal di beberapa tempat di luar Manado, yang akhirnya menimbulkan stereotype.”
Salah satu pergeseran sosial yang ia rasakan juga adalah, mulai banyaknya ustadz-ustadz yang berdatangan dari luar manado, bahkan ada yang dari Timur-Tengah. Saat ini mereka lebih mudah mengatakan dan memprovokasi masyarakat dengan imbauan-imbauan, “hati-hati dengan agama misionaris Kristen.” Bahkan di kampung-kampung, Minahasa, pendeta juga berani mengatakan bahwa Islam adalah agama teroris. Maka, pemantik-pemantik seperti ini jika tidak dikelola secara baik dikhawatirkan akan menimbulkan konflik yang lebih besar.
Biasanya ketika sesuatu terjadi, maka akan ada efek yang ditimbulkan dan dirasakan oleh masyarakat yang berada di lain tempat sekitarnya atau bahkan di luar pulau. Contohnya saja Jawa, sedikit banyak apa yang terjadi di Jawa, juga akan mempengaruhi daerah-daerah di luar Jawa, karena ia menjadi pusat dalam berbagai hal. Untuk Manado sendiri, sampai saat ini ia juga merasakan pengaruh-pengaruh dari luar tersebut yang bisa menjadi pemantik konflik antar umat beragama, namun efeknya tidak terlalu besar. Ketika terjadi konflik Islam-Kristen di Ambon atau Poso, Manado adalah salah satu kota yang tidak terpengaruh walaupun masyarakat Manado juga terdiri dari orang-orang Kristiani dan Muslim, tutur pria yang biasa dipanggil Bilfagih ini.
Termotivasi oleh pergeseran sosial yang ia rasakan di Sulawesi Utara, maka ia memutuskan mengikuti kegiatan SPK ke-2 ini. Ia juga menambahkan, “Karena saya sudah cukup lama aktif di dalam isu keragaman, salah satunya di Yayasan Al-Hikam Cinta Indonesia yang bergerak mensosialisasikan kerukunan antar umat beragama, yang kebetulan saya ketuai, maka SPK ini sangat bermanfaat sekali. Di sini kita dapat memperluas pengetahuan mengenai masalah-masalah keragaman di Indonesia dan teori-teori beserta strategi untuk mengelola keragaman tersebut. Selain itu, kita juga mempelajari lagi dari program ini contoh pola-pola untuk mengelola keragaman yang ternyata beberapa kebetulan sudah terlaksana di Manado khususnya. Contoh, ketika ada hari besar Islam seperti lebaran, Idhul adha, Maulid Nabi, teman-teman dari umat kristiani ikut membantu untuk melancarkan acara tersebut dengan membentuk panitia yang mengelola parkir, lalu-lintas, dan begitu juga sebaliknya. Pola ini sebenarnya sudah terbentuk, hanya saja belum tersistematisasi.”
Setelah mengikuti program SPK ini selama beberapa hari, para peserta akan memiliki ide-ide yang berhubungan dengan pluralisme dan keragaman yang akan diimplementasikan di daerahnya masing-masing sekembalinya nanti. Bilfagih sendiri menjelaskan bahwa ia akan melanjutkan aktifitas-aktifitas dakwah sosial yang berkenaan dengan kerukunan umat beragama yang sudah dijalankan di lembaganya, seperti dialog antar umat beragama dengan mengundang tokoh-tokoh agama lain ke yayasannya, sekaligus juga ingin membuat komunitas yang lebih luas dan beragam bagi tokoh-tokoh yang peduli pada kerukunan antar sesama di Manado, baik itu aktifis Muslim, Kristiani, ataupun kelompok budaya. Dengan ini, apa yang didapatkan ketika SPK tidak hanya berhenti setelah kegiatan tersebut selesai, melainkan para peserta tetap akan mengimplementasikannya di lapangan.