• Tentang UGM
  • Portal Akademik
  • Pusat TI
  • Perpustakaan
  • Penelitian
Universitas Gadjah Mada
  • About Us
    • About CRCS
    • Vision & Mission
    • People
      • Faculty Members and Lecturers
      • Staff Members
      • Students
      • Alumni
    • Facilities
    • Library
  • Master’s Program
    • Overview
    • Curriculum
    • Courses
    • Schedule
    • Admission
    • Scholarship
    • Accreditation and Certification
    • Academic Collaborations
      • Crossculture Religious Studies Summer School
      • Florida International University
    • Student Satisfaction Survey
    • Academic Documents
  • Article
    • Perspective
    • Book Review
    • Event Report
    • Class Journal
    • Interview
    • Wed Forum Report
    • Thesis Review
    • News
  • Publication
    • Reports
    • Books
    • Newsletter
    • Monthly Update
    • Infographic
  • Research
    • CRCS Researchs
    • Resource Center
  • Community Engagement
    • Film
      • Indonesian Pluralities
      • Our Land is the Sea
    • Wednesday Forum
    • ICIR
    • Amerta Movement
  • Beranda
  • Artikel
  • Plagiarisme, Kultur, dan Etik

Plagiarisme, Kultur, dan Etik

  • Artikel
  • 5 November 2012, 00.00
  • Oleh:
  • 0

Suhadi Cholil | CRCS | Artikel

Suhadi Cholil

Sudah cukup lama, tidak kurang dari setengah tahun lalu, Dirjen Pendidikan Tinggi Kemendikbud menyelidiki lebih dari lima kasus plagiat (penjiplakan). Menariknya, diantara pelakunya adalah dosen (Kompas, 6/6/2012).

Seperti kasus hukum lainnya, hampir bisa dipastikan lima atau lebih kasus yang sedang diselidiki itu mungkin hanya sebagian kecil dari kenyataan yang terjadi di lapangan. Sayangnya tidak ada kabar lagi tentang tindak lanjut kasus-kasus yang diselidiki itu, padahal publik perlu mengetahuinya.

Secara etis kampus seharusnya menjadi laboratorium penggemblengan pemimpin bangsa, kaum intelektual dan calon professional yang mengedepankan nilai-nilai kejujuran. Karena itu, semua civitas akademika sepatutnya menjunjung tinggi transparansi termasuk dalam proses kreatif menyusun karyanya, bukan malah sebaliknya.

Plagiarisme
Tidak ada yang melarang seseorang, baik akademisi maupun penulis secara umum, untuk merujuk buah pikiran atau karya orang lain secara tertulis. Bahkan dalam dunia akademik tindakan seperti ini malah disarankan. Logikanya, tidak ada buah pikiran yang seratus persen baru dari kita. Di samping itu tindakan merujuk pendapat orang lain menandai transparansi proses kreatif penulis. Sehingga kita bisa mengamati dinamika pengetahuan, keterkaitan antar teori, dan nilai kebaruan dari sebuah karya.
Apa yang dilarang adalah melakukan penjiplakan atau mengambil pandangan orang lain tanpa menyebutkan referensinya. Hampir semua perguruan tinggi (PT) di Indonesia menyebutkan bahwa plagiarisme adalah tindakan yang haram dan dilarang. Tetapi batas-batas mana yang disebut plagiat masih sering kabur.
Sehingga sebagian dosen, mahasiswa, atau penulis mungkin tidak tahu kalau dirinya melakukan plagiat. Bukan dengan kesengajaan (by intension), tapi karena keterbatasan pengetahuannya.
Dalam website resminya (www.indiana.edu), Universitas Indiana (Indiana University) Amerika Serikat, memuat satu halaman khusus tentang pedoman mengenai plagiarisme. Penjelasannya sangat sederhana namun sangat memandu, termasuk bagi mahasiswa yang baru. Sayangnya, di banyak PT di Indonesia tidak ada aturan sejenis dalam website maupun buku panduan bagi mahasiswa.
Di situ, plagiarisme diartikan dengan sangat tegas. Plagiarism is using others’ ideas and words without clearly acknowledging the source of that information (Plagiarisme adalah pemakaian gagasan atau kata-kata orang lain tanpa dengan jelas mencantumkan sumber informasinya).
Intinya, plagiarisme adalah pemakaian “teori”, “gagasan” atau “kata-kata” orang lain tanpa menyebut rujukannya. Lebih detil, panduan ini juga menjelaskan model-model parafrasa –menyampaikan pesan yang sama dengan kata-kata yang berbeda– mana yang masih diterima (acceptable paraphrase) dan yang tidak dapat diterima lagi (unacceptable paraphrase) dalam kancah akademik. Ketegori yang terakhir ini juga disebut sebagai plagiarisme.
Selagi pengertian kita tentang plagiarisme menyangkut teknik penulisan sebagaimana disebut dalam panduan ini kita masih cukup optimis bahwa kalau kita mau bekerja keras kita mampu memperbaiki situasi yang ada. Misalnya dengan mencantumkan aturan main plagiarisme dalam website lembaga, silabus setiap mata kuliah, dan mendorong baik dosen maupun mahasiswa bekerja keras mematuhinya dan memberikan punishment (hukuman) bagi yang melanggar.
Kultur dan Etik
Namun tidak jarang penulis khawatir bahwa apa yang terjadi jauh lebih parah dari urusan teknis tentang plagiarisme. Apa yang disebutkan oleh media ini (Kompas, 6/6/2012) tentang dugaan kasus penjiplakan skripsi mahasiswa oleh seorang dosen merupakan tindakan kejahatan akademik yang terkait dengan struktur budaya sosial kita. Yaitu budaya “mencuri”, “maling”, dan korupsi yang dengan gamblang dan tanpa rasa malu dipraktikkan sehari-hari oleh sebagian penguasa. Dunia kampus kita, tentu tidak semua, tidak imun (bebas) dari praktik kejahatan akademik yang sama kejinya dengan korupsi. Kemajuan teknologi (copy-paste) memfasilitasi proses ini.
Seorang dosen dengan mudah mendaur ulang file skripsi mahasiswanya dengan modifikasi sedikit lalu diklaim sebagai karya risetnya. Seorang mahasiswa di satu universtias dapat saja meminjam file thesis temannya di universitas lain dengan mengganti lokasi penelitian lalu diajukan sebagai thesisnya.
Atau, dengan model lain seorang mahasiswa doktoral menggabungkan beberapa hasil riset lembaga penelitian secara exhausted kemudian didaku sebagai hasil risetnya. Harus jujur diakui banyak PT di Indonesia mungkin tidak memiliki mekanisme kontrol  dan monitoring yang baik untuk memastikan proses-proses seperti ini tidak akan terjadi.
Belum lagi tidak ada aturan yang jelas dan tegas tentang posisi dan hubungan antara seorang kandidat doktor dan asisten penelitiannya. Belum tentu setiap universitas penyelenggara program doktoral memiliki mekanisme monitoring yang dapat memastikan bahwa sebuah penelitian desertasi dilakukan dan ditulis si kandidat doktor atau asistennya. Di luar kampus juga beredar para ghost writer (penulis siluman) skripsi, thesis dan desertasi dengan dalih jasa konsultasi.
Sudah saatnya komisi etik di PT meningkatkan konsennya dari sekadar mengurus model pakaian seperti apa yang pantas dan sopan dipakai oleh mahasiswa atau mengurus urusan moralitas individu civitas akademikanya, ke urusan plagiarism dan kejahatan akademik seperti ini.
Keputusan Kemendikbud untuk mencanangkan Hari Pendidikan Nasional tahun 2012 ini sebagai momentum bagi “Bangkitnya Generasi Emas Indonesia” pada tahun 2045 (100 tahun Indonesia merdeka) perlu kita apresiasi. Kewajiban menulis artikel di jurnal bagi mahasiswa sebagai syarat kelulusan merupakan kebijakan yang baik sebagai salah satu jalan mengejar ketertinggalan posisi Indonesia dalam ranking world class university.
Tetapi, kalau penegakan pelanggaran kasus-kasus plagiarisme baik kasus-kasus kecil dan besar tidak ditangani secara baik, kampus akan menjadi laboratorium akal-akalan terbaik bagi generasi bangsa di negeri ini. Sebab atas dalih tuntutan formalitas penulisan artikel jurnal dan ambisi lulus secara instan, banyak mahasiswa akan menjiplak di sana-sini.
Kalau demikian adanya, mungkinkah pada tahun 2045 kita akan memetik generasi-generasi emas. Atau sebaliknya, generasi besi yang semakin canggih dalam melakukan korupsi. Tentu pilihan kedua bukan pilihan yang kita kehendaki.
——-
Suhadi Cholil adalah dosen di Prodi Agama dan Lintas Budaya Sekolah Pascasarjana (CRCS) UGM dan kandidat doktor di Universitas Radboud Nijmegen Belanda

Leave A Comment Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Instagram

A M P A T Baru kemarin, pemerintah YTTA melakukan A M P A T
Baru kemarin, pemerintah YTTA melakukan aksi simsalabim dengan mencabut empat konsesi tambang di salah satu gugusan Red Line. Aksi "heroik" itu terlihat janggal ketika perusahaan yang paling bermasalah dalam perusakan lingkungan, bahkan yang menjadi pusat viral, justru dilindungi. Tentu bukan karena cocokologi dengan nama Raja Ampat sehingga hanya empat perusahaan yang dicabut konsesinya. Bukan cocokologi juga ketika Raja Ampat akan menjadi lokus tesis yang akan diuji esok di CRCS UGM. Berkebalikan dengan aksi badut jahat di Raja Ampat, @patricia_kabes akan bercerita bagaimana komunitas masyarakat di Aduwei mengelola laut dengan lestari melalui sasi. Berangkat dari negeri timur, peraih beasiswa LPDP ini justru menjadi yang pertama di angkatannya untuk menambahkan dua huruf pada akhir namanya.
For people who learn religious studies, it is comm For people who learn religious studies, it is common to say that "religion", as a concept and category, is Western modern invention. It is European origin, exported globally through colonialism and Christian mission. Despite its noble intention to decolonize modern social categories, it suffers from historical inaccuracy. Precolonial Islamic Malay and Javanese texts in the 16th and 17th century reflect a strong sense of reified religion, one whose meaning closely resembles the modern concept.

Come and join @wednesdayforum discussion at UGM Graduate School building, 3rd floor. We provide snacks and drinks, don't forget to bring your tumbler. This event is free and open to public.
I N S P I R A S I Secara satir, penyandang disabil I N S P I R A S I
Secara satir, penyandang disabilitas baru mendapatkan sorotan ketika dia mampu berprestasi, mampu mengatasi segala rintangan dan kekurangan. Singkat kata, penyandang disabilitas kemudian menjadi sumber inspirasi bagi nondisabilitas. Budi Irawanto menyebutnya sebagai "inspirational porn". Simak ulasan lengkapnya di situs web crcs ugm.
Human are the creature who live between the mounta Human are the creature who live between the mountain and the sea. Yet, human are not the only one who live between the mountain and the sea. Human are the one who lives by absorbing what above and beneath the mountain and the sea. Yet, human are the same creature who disrupt and destroy the mountain, the sea, and everything between. Not all human, but always human. By exploring what/who/why/and how the life between the mountain and the sea is changing, we learn to collaborate and work together, human and non-human, for future generation—no matter what you belief, your cultural background.

Come and join @wednesdayforum with Arahmaiani at UGM Graduate School building, 3rd floor. We provide snacks and drinks, don't forget to bring your tumbler. This event is free and open to public.
Follow on Instagram

Twitter

Tweets by crcsugm

Universitas Gadjah Mada

Gedung Sekolah Pascasarjana UGM, 3rd Floor
Jl. Teknika Utara, Pogung, Yogyakarta, 55284
Email address: crcs@ugm.ac.id

 

© CRCS - Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY

[EN] We use cookies to help our viewer get the best experience on our website. -- [ID] Kami menggunakan cookie untuk membantu pengunjung kami mendapatkan pengalaman terbaik di situs web kami.I Agree / Saya Setuju