Opini | CRCS | Suhadi
Inti dari rekonsiliasi adalah memulihkan hubungan antara pihak-pihak yang bertikai menjadi kembali normal. Menyimak perkembangan kampanye Pemilu Presiden-Wakil Presiden (Pilpres) yang panas belakangan ini, rekonsiliasi dan pencegahan konflik pasca Pilpres mutlak diperlukan.
Setelah Reformasi 1998, kita telah mengalami tiga kali Pilpres, plus satu kali yang akan kita jalani dalam beberapa hari lagi. Sebagaimana kita pahami, Pilpres kali ini sungguh berbeda dengan tiga Pilpres sebelumnya. Salah satu perbedaan yang mencolok terletak pada jumlah pasangan yang mencalonkan diri, kalau dalam tiga kali Pilpres sebelumnya selalu terdapat lebih dari dua kandidat, dalam Pilpres 2014 hanya ada dua kandidat.
Apa konsekuensinya? Kita menyaksikan dua kubu yang saling berkontestasi terlihat head to head, saling berhadap-hadapan dengan sangat keras. Pada gilirannya, situasi ini memiliki efek domino. Kampanye Pilpres tahun ini terasa sangat panas dibanding tiga Pilpres sebelumnya.
Agama dan Kampanye Hitam
Panasnya situasi kampanye, salah satunya, diperparah oleh kampanye hitam yang digulirkan oleh tim sukses dan atau simpatisan calon presiden dan wakil presiden yang ada. Kampanye negatif yang masih mendasarkan pada fakta –tapi menonjolkan sifat negatif lawan– saja seharusnya dihindari, apalagi kampanye hitam yang dibangun dari ilusi dan rekayasa tanpa bukti. Lebih-lebih, kampanye hitam itu dibumbui oleh isu identitas agama.
Kita tidak habis pikir mengapa dalam dunia politik dan demokrasi yang semakin terbuka masih saja terdapat praktik naif untuk menjatuhkan lawan dengan kampanye hitam yang membahayakan kemajemukan bangsa. Padahal, jika kita menggunakan akal sehat sebenarnya kampanye hitam akan merugikan kandidat presiden dan wakil presiden yang didukungnya. Baik apabila akhirnya menang, apalagi kalau kalah.
Mengapa? Sebab jika menang, sejarah akan mencatat kemenanganya disumbang oleh proses yang buruk dan keji. Sebaliknya, bila kalah banyak orang akan bergumam: sudah menggunakan berbagai cara toh juga akhirnya tetap kalah.
Mengapa banyak pihak masih tertarik menggunakan sentimen agama untuk mengundang simpati politik? Sebab banyak dari kita masih sulit membedakan antara agama dan politik. Baik Capres-Cawapres, tim sukses dan simpatisannya menduga penggunaan isu agama akan mampu meraup dukungan umat beragama. Selaras dengan itu, sebagian umat beragama juga masih punya angan-angan pemimpin yang dipilih atas dasar sentimen agama memperjuangkan aspirasi keagamaan mereka.
John Locke jauh hari mengingatkan kita satu hal yang penting dipegangi dalam berdemokrasi, yaitu perlunya melokalisasi porsi urusan negara hanya dalam urusan keselamatan duniawi (temporal good), tidak lebih dari itu. Filsuf politik dari Inggris yang hidup pada abad 17-18 ini menekankan pentingnya pejabat politik atau pejabat publik untuk tidak merebut kekuasaan ulama atau tokoh agama dalam hal menunjukkan jalan keselamatan akhirat bagi umat. Politisasi agama dalam Pilpres menyimpan bom waktu penyerahan kekuasaan agama ke tangan kekuasaan politik yang membahayakan.
Tafsir terhadap pandangan Locke tersebut dapat melahirkan sekulerisme politik yang tentu tidak selamanya cocok dengan kepribadian politik dan agama di Indonesia. Alternatifnya, Alfred C. Stepan, profesor ilmu politik dari Columbia University Amerika menawarkan konsep twin toleration (toleransi kembar).
Dalam konsep itu, akademisi yang sampai sekarang masih aktif sebagi direktur the Center for the Study of Democracy, Toleration and Religion ini menekankan perlunya negara dan politik tidak memusuhi agama (sebagaimana karakter sukulerisme), tetapi menjadikannya sebagai partner. Baik negara maupun agama boleh, bahkan didorong, untuk sama-sama kuat dan tumbuh menjulang tinggi laksana menara kembar.
Stepan merekomendasikan tiga karakter negara yang penting dikembangkan dalam bersikap terhadap agama yang majemuk seperti di Indonesia ini: respect all (menghormati semua agama dan keyakinan), positive cooperation (kerjasama positif antara negara dan agama), dan principled distance (prinsip negara untuk mengambil jarak yang sama terhadap semua agama dan keyakinan).
Lalu pertanyaanya, mungkinkah pemimpin yang terpilih dan dihasilkan oleh kampanye hitam dengan melibatkan isu agama dapat mengedepankan prinsip-prinsip tersebut jika kelak terpilih dan memimpin bangsa ini?
Rekonsiliasi
Menyikapi maraknya kampanye hitam yang terjadi, baik Capres-Cawapres serta tim suksesnya tidak boleh melepas tanggung jawab, mengatakan tidak tahu, dan dengan enteng menyebut hal itu tidak dilakukan oleh tim suksesnya. Di sisi lain, Bawaslu harus tegas menyikapi setiap praktik kampanye hitam dan hasutan kebencian yang terjadi.
Terlepas dari itu, satu hal yang penting adalah bagaimana mulai memikirkan rekonsiliasi pasca Pilpres. Maksud rekonsiliasi di sini, sebagaimana disinggung di awal, adalah memulihkan hubungan menjadi kembali normal antara Capres-Cawapres, tim sukses, simpatisan dan masyarakat luas setelah proses politik yang membelah masyarakat beberapa bulan terakhir.
Seperti kita saksikan sama-sama bahwa polemik dan perseteruan antara dua pendukung kandidat Capres-Cawapres terlihat sangat mendalam. Di sebagian tempat, kampanye di lapangan terbuka dan di jalanan diwarnai kekerasan. Fitnah dan umpatan yang sangat keras dengan mudah juga ditemui di media massa dan media sosial.
Dalam perkembangannya, segregasi politik dengan jargon kekerasan yang mudah terlontar mendorong konsolidasi antar kelompok yang siap berhadap-hadapan secara fisik. Kalau tidak dipulihkan, konsolidasi sosial-politik yang tidak jarang tumpang tindih dengan sentimen identitas agama dapat semakin mengeras, bahkan setelah Pilpres berakhir.
Penulis yakin kita masih punya harapan besar ke arah rekonsiliasi. Di masing-masing kubu kita dengan mudah dapat mengidentifikasi figur-figur dengan jiwa besar yang selama ini telah mentasharufkan (baca: mendedikasikan) hidupnya untuk bangsa ini. Peran mereka untuk memulai rekonsiliasi sangat ditunggu masyarakat luas.
Jiwa besar Capres-Cawapres yang kalah untuk legowo menerima kekalahan mereka menjadi kunci penting. Tanpa mengesampingkan pentingnya mengurus setiap pelanggaran Pemilu yang mungkin terjadi, Capres-Cawapres yang kebetulan kalah penting untuk meredam emosi massa yang mungkin sulit menerima kekalahan yang terjadi.
Walhasil, masyarakat ingin menyaksikan dan mengalami Pilpres 2014 sebagai bagian dari merayakan demokrasi yang membanggakan dan berkualitas, bukan bencana demokrasi yang mengerikan.
Suhadi, Ph.D
adalah dosen di Program Studi Agama dan Lintas Budaya/CRCS
Sekolah Pascasarjana, UGM.