Pengembangan minat Sarah dalam dunia dialog antar-iman, sejak ia masih menuntut ilmu di CRCS, dapat diacungi jempol. Perempuan bernama lengkap Siti Sarah Muwahidah ini, alumni CRCS angkatan 2004, tidak ragu-ragu melenggangkan kakinya di dunia dialog, baik sebagai peneliti maupun pegiat dialog di masyarakat. “Yang jelas saya sudah mulai kenal isu interfaith sejak kecil, karena dulu lahir di lingkungan pesantren Pabelan, Magelang,” tutur Sarah.
Saat ini, Sarah sedang berada di Bangkok, Thailand, dan asyik menyelesaikan laporan penelitiannya yang didanai oleh Asian Public Intellectuals (API). Dialog antar-iman, Muslim-Kristen, di daerah yang dahulunya sangat sering diwarnai konflik antar-agama, kota Zamboanga, Mindanao, Filipina Selatan, menjadi pilihan kajian penelitiannya kali ini. Ia telah menyelesaikan penelitian lapangan di Filipina itu selama 5 bulan (Oktober 2009 –Maret 2010).
“Keadaan di sana saat ini lumayan tenang, karena Peace Talk, yang gagal di tahun 2008 (MILF-GRP), dilanjutkan lagi pada bulan Desember yang lalu (2009),” ungkap Sarah mengenai situasi terakhir hubungan Muslim-Kristen di Mindanao. Menurut Sarah, ada banyak inisiatif untuk berdialog di masyarakat Mindanao, namun situasi minoritas-mayoritas yang sangat kentara telah menghambat perkembangan dari inisiatif tersebut.
“Interfaith dialogue biasanya diinisiasi oleh pastur, atau peace institute, dan mereka tidak hanya melakukan dialog tapi biasanya juga disertai community program. Mereka bikin sekolah, madrasah, dan lain-lain. Jadi, dialogue of action dan grassroots outreach lebih terasa. Mereka juga bikin program di penjara, program radio, suplemen gizi untuk masyarakat miskin (feeding program),” jelas Sarah tentang usaha perwujudan dialog.
Meskipun program-program dialog antar-iman di Mindanao tergolong sangat bagus, menurut Sarah situasi minoritas-mayoritas dan representasi dari komunitas untuk berdialog sangat mempengaruhi prosesnya.
Representasi muslim secara kultural dan politik masih belum memadai, jadi ada suara-suara tidak puas melihat dialog yang ada. Beberapa tokoh mengatakan bahwa, walaupun mereka tidak ‘menentang’ interfaith dialogue, mereka merasa dialog itu dilaksanakan untuk mem”pacify” Muslim. Mereka tidak melihat adanya perubahan perspektif terhadap Muslim,” jelas Sarah. “Tapi kalau dialog juga berbicara tentang sejarah konflik dan juga kemungkinan-kemungkinan solusi, siapa saja kan bisa,” tambah Sarah.
Sarah juga menjelaskan bahwa dialog yang sedang dibangun di sana seolah-olah menyembunyikan persoalan yang sebenarnya sedang terjadi di antara mereka. “Interfaith dialogue di sana sepertinya masih akan berkembang terus, dan masih terus diperlukan, tapi mereka harus mau untuk benar-benar bicara tentang masalah yang ada. Beberapa interfaith inisiator menghindari membicarakan masalah current konflik dan sejarah konflik, mereka berbicara tentang persamaan dan perbedaan Islam-Kristen (teologi, teks), dan etika,” ungkap Sarah dengan ketidakpuasannya.
Menurut perempuan berdarah Aceh, Bengkulu, dan Yogyakarta ini, ada perbedaan kualitas berdialog antara interfaith dialogue dan peace/reflective dialogue. Pada interfaith dialogue peserta dikondisikan mewakili salah satu komunitas, contohnya Islam. Pada peace/reflective dialogue prosesnya menjadi lebih cair dan bebas untuk berbicara, karena para peserta dialog tersebut berbicara dari sisi pribadinya masing-masing, tidak terbebani keharusan untuk mewakili komunitas.
Persoalan pada proses dialog di Mindanao dilihat pula sebagai persoalan identitas yang dimiliki komunitas Muslim. Sarah mengatakan bahwa beberapa Muslim di Mindanao menolak untuk dipanggil “Filipino.”
“Beruntung kita masih punya shared identity as Indonesian. Akhirnya Muslim (di Mindanao) diterima hanya sebagai Muslim, tapi mereka ‘diakulturasi’ untuk ikut pada kultur yang dominan. Kultur dan sejarah lokal mereka ‘dilupakan.’ Is it shared identity, or imposed identity? Di lain pihak, ada kecemasan tentang pengaruh Saudi Arabia dan Wahabi di sana… “They feel they share more commonality with Saudi,” tegas Sarah.
Untuk penelitiannya ini, Sarah masih mencari formulasi teori yang tepat. Meskipun ada banyak teori dialog yang ia pahami, ketepatan formulasi teori itu sangat penting, karena menurutnya setiap praktek interfaith dialogue adalah unik. Outline hasil penelitian ini telah dipresentasikannya di Ateneo University Manila.
Selain menyelesaikan laporan penelitiannya tersebut, Sarah juga sedang mengumpulkan data untuk riset “Top 500 Most Influential Muslim Figure in the World” yang dibuat oleh Royal Islamic Strategic Studies Institute Jordan untuk edisi 2010. Dalam proyek ini Sarah berposisi sebagai peneliti sekaligus konsultan, sama seperti pada edisi sebelumnya.
Perempuan yang pernah mendapatkan academic achievement award (Florida International University), NUS scholarship, dan kesempatan mengikuti Muslim Exchange di Australia ini masih terus berusaha untuk mengembangkan pengetahuannya. Saat ini ia telah mendapatkan beasiswa doktoral dari Fulbright periode 2010, dan akan melanjutkan studinya pada departemen Religious Studies di Emory University.
Dengan berbagai kesuksesan yang telah ia raih, Perempuan kelahiran Magelang ini menganggap bahwa CRCS turut berkontribusi terhadap kesuksesannya itu. “CRCS cukup kasi aku amunisi dan bekal untuk membangun network dan ke lapangan. CRCS ini menangnya di network, dan kita bebas menggali kesempatan yang ditawarkan di sana. Adanya wenesday forum, visiting professor, visiting researchers, international forum, yang boleh dan bisa diakses, itu yang jadi nilai plus,” ungkap Sarah.
Pengalaman yang paling berkesan selama ia kuliah di CRCS adalah syukuran dan farewell party bersama dosen-dosen tamu di tiap akhir semester. Perempuan yang hobi membaca novel dan komik ini menceritakan kebahagiaannya setiap mengikuti momen tersebut. “Selain makan-makan, selalu ada sesi sharing, dan nyanyi-nyanyi. Jadi suasananya rileks dan informal. Sharingnya biasanya tentang kesan terhadap profesor yang bersangkutan, lucu-lucu, deh,” jelas Sarah dengan bahagia. (JMI)