Sasi Haruku: Ruang Sanding dan Tanding Antara Adat dan Gereja
Haris Fatwa Dinal Maula – 14 Juni 2022
Pengetahuan adat sering kali disisihkan ketika berhadapan dengan isu-isu kontemporer. Stigma primitif, tertinggal, dan animis menjadi tembok besar sehingga pengetahuan adat seakan-akan tidak relevan dan terpinggirkan. Namun, tesis itu tidak sepenuhnya benar. Masyarakat Negeri Haruku, Kepulauan Lease, Maluku Tengah telah membuktikannya. Berkat praktik sasi yang telah turun-temurun mereka lakukan, masyarakat Haruku mendapat penghargaan nasional Kalpataru kategori penyelamat lingkungan pada 1985.
Salah satu sosok penting dalam praktik sasi ini adalah Eliza Marthen Kissya, kewang sasi Haruku yang menjadi pemegang otoritas praktik sasi. Selama empat puluh tahun, Eliza Kissya menghidupkan aturan adat dan merawat nilai-nilai pengetahuan lokal masyarakat berupa sasi darat dan laut. Namun, konservasi nilai-nilai adat itu rupanya mendapat tantangan seiring dengan penyebaran agama Kristen di wilayah tersebut.
Persoalan inilah yang menjadi pemantik dalam diskusi dan peluncuran film “Sasi Haruku” yang diselenggarakan oleh Center for Religious and Cross-Culturral Studies, Program Studi Agama dan Lintas Budaya, Sekolah Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada (CRCS UGM) di Sleman Creative Space (11/6/2022). Film ini merupakan kolaborasi antara CRCS UGM dan Center for Southeast Asian Studies, University of Hawai’i (UHCSEAS). Acara yang diselenggarakan pada Sabtu, 11 Juni 2022 tersebut bukan hanya memotret bagaimana kontribusi sasi Haruku terhadap pelestarian ekologi, melainkan juga menerobos sisi politis dari otoritas adat sasi dan gereja Kristen di Haruku yang melibatkan masyarakat awam.
Memperlebar Lanskap Sasi Haruku
Sasi—secara bahasa artinya larangan—merupakan bentuk pranata sosial dan pengetahuan adat masyarakat yang berkembang turun-temurun di daerah Indonesia bagian timur. Pada beberapa daerah, salah satunya di Negeri Haruku, sasi tersebut berupa larangan untuk mengambil atau memanen hasil bumi dalam jangka waktu tertentu. Sosok yang bertanggung jawab untuk mengelola pranata ini adalah kewang. Hasil bumi ini bisa berupa hasil laut dan darat yang masing-masing dikelola oleh kewang yang berbeda. Kewang darat bertanggungjawab atas semua hasil darat—seperti tanah, kebun, dan hutan—dan kewang laut yang memiliki otoritas mengurusi hasil laut, seperti sungai dan laut.
Praktik sasi di Haruku identik dengan sasi lompa, yaitu masa memanen ikan lompa hasil sasi selama kurun waktu tertentu (biasanya 4-6 bulan). Lompa adalah jenis ikan sardin kecil yang hidup di air payau. Ketika buka sasi dimulai, warga usia tua, muda, maupun anak-anak berbondong-bondong mendatangi pesisir Sungai Learisa Kayeli. Saat fajar mulai nampak, mereka membawa jala atau jaring maupun peralatan tangkap ikan lainnya di pesisir sungai sepanjang sepanjang hampir 1.500 meter ini.
Tiga atau empat jam sebelum turun ke sungai, para kewang akan membakar lobe—daun kelapa kering yang diikat menyerupai obor raksasa—di muara sungai sebagai penerang dan penuntun bagi kawanan ikan lompa agar masuk ke Sungai Learisa Kayeli. Setelah itu, muara sungai akan ditutup dengan jaring agar ikan lomba tidak lari keluar dan mudah ditangkap saat air surut.
Bagi masyarakat Haruku sasi bukan sekadar pranata adat yang berhubungan dengan hasil alam, melainkan juga berkenaan dengan perilaku manusia, baik secara individu maupun sosial. Izaak Lesimanuaya, Plt. Pemerintah Negeri Haruku, mengatakan dalam forum diskusi bahwa sasi Haruku pada awalnya mencakup aturan-aturan yang berkaitan dengan akhlak dan sikap manusia dengan sesama, di samping relasi etis manusia dengan lingkungan hidup. Namun, pergesaran makna ini terjadi ketika sasi Haruku mulai dipersepsikan hanya sebagai aturan adat untuk menjaga keseimbangan alam. Memang pada akhirnya sasi Haruku berhasil mendapatkan Kalpataru, tetapi dalam lintasan sejarahnya, sasi Haruku juga merupakan pranata moral.
Sasi Adat vis a vis Sasi Gereja
Produser film “Sasi Haruku”, Shantoy Hades, mengatakan bahwa salah satu temuan penting selama riset pengambilan film adalah adanya pergolakan politik dan kepentingan antara otoritas adat dan gereja. Praktek sasi telah dilaksanakan jauh sebelum kekristenan masuk ke wilayah Maluku. Setelah Kristen masuk di Maluku, gereja mengambil peran dalam pelaksanaan sasi sehingga terbentuklah sasi gereja. Keterlibatan gereja dalam tradisi sasi mengakibatkan pudarnya pelaksanaan sasi adat di masyarakat. Bahkan, di beberapa desa yang mayoritas penduduknya beragama Kristen, sasi adat sudah tidak diberlakukan.
Membincang hal ini, Ribka Ninaris Barus—moderator sekaligus peneliti yang terlibat dalam film ini—dalam tulisannya, “Adat Ecology: The Practice of Sasi on Haruku Island, Maluku, Indonesia”, mengatakan bahwa ketika gereja dipimpin oleh pendeta Eropa, gereja menolak bahkan menghapuskan pengaruh-pengaruh agama leluhur dalam tatanan masyarakat. Namun, kebijakan gereja tersebut tidak berlaku dalam tradisi sasi Haruku. Dalam level tertentu, relasi antara gereja dan sasi di Haruku bahkan menjadi kabur.
Dalam bahasa lain, gereja di Haruku tidak melakukan penolakan terhadap tradisi sasi, tetapi juga tidak serta merta menerima sasi sebagaimana bentuk aslinya. Berkaitan dengan tradisi sasi, tampaknya gereja hanya menerima yang bermanfaat bagi gereja tanpa melakukan interpretasi yang lebih mendalam. Hal ini beririsan dengan pernyataan Kees De Jong, Dosen Universitas Kristen Duta Wacana sekaligus narasumber diskusi, bahwa sasi yang tereksternalisasi di Negeri Haruku sudah lekat dengan interpretasi Kristen. Hal ini berimplikasi pada munculnya dua jenis sasi, sasi adat dan sasi gereja.
Dalam bahasa D.S. Nugraheni, sutradara film “Sasi Haruku”, tradisi sasi diperebutkan oleh dua komunitas, komunitas adat dan gereja. Namun, Izaak Lesimanuaya mengamini bahwa sasi gereja berjalan lebih efektif dibanding sasi adat. Artinya, kewang kurang efektif dalam melaksanakan kegiatan, pengawasan, serta penerapan hukuman bagi pelanggar sasi dibanding pihak gereja. Hal itu karena sasi gereja berbicara dalam ranah ekonomi. Artinya, keterlibatan gereja dalam pelaksanaan sasi bertujuan untuk membantu peningkatan pemasukan gereja dan jemaat. Padahal, dalam sasi adat, kewang adalah jabatan sukarela alih-alih jabatan dengan keuntungan finansial.
Pergeseran Makna Sasi Adat
Perubahan makna sasi, misalnya, tecermin dalam pemaknaan sasi sebagai upaya untuk mencegah tindakan pencurian. Hal ini terlihat dari bagaimana masyarakat melakukan sasi terhadap hasil kebun mereka, seperti mangga, pepohonan, bahkan tanah. Di satu sisi, masyarakat berharap jika hasil kebun mereka telah “disasi”, maka tidak ada seorang pun yang berani mencuri karena pelanggarnya akan langsung berhubungan dengan gereja. Pelanggar sasi tersebut harus melakukan pengakuan dosa untuk bertobat. Doktrin gereja mengenai sasi ini juga terwujud dalam ancaman bahwa jika pelanggar sasi gereja tidak bertobat, maka ia akan sakit hingga ia melakukan pengakuan dosa. Doktrin semacam ini meresap dalam masyarakat Haruku sehingga mereka cenderung lebih mengandalkan sasi gereja.
Menurut Nugraheni, hal itu tidak lebih dari upaya gereja membangun kekuatan finansial lewat “jasa sasi” tersebut. Keresahan yang sama ditangkap oleh Shantoy Hades. Di satu sisi, masyarakat lebih suka mengandalkan sasi gereja karena lebih fleksibel, efektif, ringkas, dan “tinggal bayar”. Di sisi lain, suara lain mengatakan bahwa otoritas gereja rawan menghapus “orisinalitas” adat sasi Haruku.
Pada dasarnya perubahan pemahaman dan pemaknaan yang terjadi dalam sasi gereja bukan hal yang buruk. Hanya saja, fokus terhadap pemahaman dan pemaknaan baru tersebut membuat makna dasar tentang pemeliharaan alam dan lingkungan hidup dalam sasi menjadi kabur. Padahal, makna fundamental tersebut sangat dibutuhkan sebagai respons terhadap isu krisis lingkungan hidup.
Film “Sasi Haruku” memotret bagaimana dinamika sosial di akar rumput menghadapi dualisme sasi ini. Di satu sisi, kepercayaan masyarakat terhadap otoritas kewang semakin menurun. Masyarakat menganggap peran kewang sudah tidak bisa lagi dijadikan harapan dan tumpuan untuk menjaga hasil alam dan kebutuhan hidup warga Haruku. Di sisi lain, sasi gereja, yang notabene merupakan sasi temporal karena kevakuman sasi adat, justru makin menegaskan otoritasnya bagi masyarakat Haruku. Padahal, jika otoritas kewang berfungsi dengan baik, masyarakat tidak perlu “mensasi” apa pun dengan alasan keamanan kepada gereja.
Peluncuran dan diskusi film ini merupakan salah satu upaya dari CRCS UGM untuk mengenalkan film sebagai media bercerita bagi masyarakat adat tentang pengetahuan adat mereka, salah satunya yang berfokus pada isu lingkungan. Film yang berbasis pada perspektif masyarakat adat dapat menyingkap suara-suara akar rumput yang jarang termediasi dalam media arus utama. Seperti “Sasi Haruku” yang telah mengajak kita untuk peka terhadap dialektika yang terjadi antara doktrin agama “resmi” dan pengetahuan adat “agama leluhur ” yang juga berkelindan dengan persoalan ekonomi dan ekologi.
______________________
Haris Fatwa Dinal Maula adalah mahasiswa Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana UGM, angkatan 2020. Baca tulisan Haris lainnya di sini.