Beberapa waktu yang lalu, hujan merupakan barang mahal. Kemarau mencekam dalam waktu yang panjang. Banyak petani yang harus ‘menunda’ senyum karena hujan tak kunjung turun. Meski kini musim hujan telah datang, tak ada salahnya untuk melihat sebuah tradisi kuno yang masih bertahan sampai sekarang dari Banjarnegara, Jawa Tengah. Sebuah tradisi unik yang ditujukan untuk memanggil hujan dengan cara-cara yang ‘kurang lumrah’ bagi sebagian besar orang.
Tulisan ini akan membahas tradisi meminta hujan yang dilakukan masyarakat desa Gumelem, Banjarnegara, yang dikenal dengan Ujungan atau kerap juga disebut Mujung. Ujungan berarti memohon kepada Tuhan agar menurunkan hujan. Sesuai dengan namanya, tradisi Ujungan dilakukan tiap kali kemarau panjang datang, biasanya pada akhir mangsa kapat atau awal mangsa kalima (akhir September atau awal Oktober). Meskipun Ujungan dapat dikatakan ritual sakral, namun tradisi ini tidak dilakukan dalam suasana hening yang penuh kekhusyukan. Sebaliknya, Ujungan dilakukan dalam suasana ramai, penuh aksi kekerasan yang dibalut nuansa kegembiraan. Ujungan dilakukan oleh dua orang laki-laki dewasa yang saling menyerang menggunakan senjata tongkat rotan. Para peserta melakukan aksi ini secara bergantian. Pertarungan mereka dikelilingi penonton yang bersorak-sorai mendukung jagoan mereka masing-masing.
Pertarungan ini dipimpin oleh seorang Walandang yang bertugas sebagai wasit untuk menengahi pertarungan. Sang pemimpin pertandingan ini tidak sendirian. Ia dibantu oleh dua orang asisten yang bertugas memberi pertolongan tiap kali pertandingan dihentikan karena kondisi petarung dianggap sudah tidak memungkinkan untuk melanjutkan pertarungan. Pada zaman dulu, Ujungan tidak memiliki peraturan, sehingga kerapkali menelan korban jiwa. Saat ini, Ujungan telah mengalami modifikasi di sana-sini. Beberapa peraturan diterapkan untuk menghindarkan kemungkinan terburuk, seperti: larangan untuk memukul bagian perut ke atas (hanya bagian pinggang ke bawah yang boleh dipukul). Peserta yang mengikuti pertarungan ini adalah para penikmat Ujungan yang secara spontan mendaftarkan diri mana kala tradisi ini digelar. Sekarang, Ujungan memang bukan lagi tradisi cari mati. Sebab, apabila ada salah seorang peserta yang mengerang kesakitan akibat terkena pukul lawan, maka pertarungan pun dihentikan untuk kemudian diganti dengan peserta yang lain. Dikatakan oleh salah seorang Walandang, tradisi Ujungan secara kasat mata memang terlihat sebagai ajang adu kekuatan. Tetapi di sisi lain, ada muatan silaturahmi di mana warga yang tinggal di daerah yang berbeda dapat bertemu dan menjalin komunikasi untuk kemudian bersama-sama memohon hujan kepada Tuhan.
Tradisi Ujungan memiliki sejarah yang panjang. Konon, tradisi ini dimulai manakala desa Gumelem Wetan (Timur) dan Gumelem Kulon (Barat), yang saat itu merupakan daerah perdikan di bawah pemerintahan kademangan, sering bersitegang berebut air untuk mengairi sawah yang kering akibat kemarau. Tak jarang perselisihan ini menimbulkan pertumpahan darah antar warga sekitar. Nah, untuk mengakhiri konflik ini, maka diadakanlah Ujungan.
‘Doa’ bersama ala warga Gumelem yang ditujukan untuk memohon turunnya hujan ini juga berarti berakhirnya konflik antar kedua warga desa. Pertarungan yang biasa digelar setiap Jumat menjelang sore, baru dihentikan mana kala hujan telah turun. Mereka percaya bahwa salah satu tanda hujan segera turun apabila ada petarung yang kalah dan terluka hingga berdarah-darah. Uniknya, petarung yang kalah tadi justru merasa bangga, sebab karena kucuran darahnya lah, hujan dapat segera datang.
Selama ritual ini berlangsung, lagu-lagu bernuansa petuah ikut pula dikumandangkan dengan iringan gamelan. Salah satunya adalah lagu ‘Purwakane sejarah Ujungan’ (Asal-usul sejarah Ujungan) dalam bahasa Jawa Banyumasan. Berikut adalah petikan syair dari lagu tersebut:
Nalikane titimangsa terang, ora ana udan…
Pamong tani kesusahan lan kebingungan…
Bapak tani njur pada memuji marang gusti kang Maha Suci…
Mula para kanca sing pada percaya marang Kang Maha Kuasa..
Panyuwune udan bisa kasembadan kanthi sarana Ujungan..
(Ketika masa kemarau tiba, tidak ada hujan..
Para petani kesusahan dan kebingungan…
Bapak tani kemudian memanjatkan pujian pada Tuhan yang Maha Suci…
Maka dari itu , barangsiapa yang percaya pada Tuhan yang Maha Kuasa…
Semoga permintaan hujan dapat dikabulkan melalui perantara Ujungan…)
Petikan syair dari lagu ini, dan juga lagu-lagu lainnya, ditujukan untuk mengingatkan tujuan utama digelarnya Ujungan, yakni bersama-sama memohon kepada Tuhan Yang Maha Kuasa agar segera diberi hujan, sehingga derita masyarakat tak lagi berkepanjangan, bukan sebagai ajang saling hantam yang malah menimbulkan permusuhan…
Ujungan; Warisan Budaya ‘Pengorbanan’ Zaman Paleo Oriental?
Sebagai sebuah ritual yang telah hidup lama di tengah-tengah masyarakat, Ujungan merupakan obyek studi yang terlalu ‘sayang’ jika hanya dilihat dari kulit luarnya saja. Oleh karena itu, penulis hendak menganalisis tradisi ini dengan memberikan asumsi awal bahwa pengorbanan merupakan ide utama dari lahir dan berkembangnya Ujungan. Marilah kita menengok sebentar ke belakang, tepatnya di zaman Paleo Oriental, dimana ide “pengobanan” menempati posisi tertinggi dalam keyakinan manusia manakala mereka menemui kesulitan yang dianggap tak mampu diselesaikan dengan menggunakan kemampuan akali.
Apa yang dikorbankan? Dikatakan oleh Anna Marsia, koordinator Asian Women Resource Center for Culture and Theology (AWRC) Indonesia, “Mengorbankan manusia merupakan prioritas utama, karena manusia dipandang begitu mulia sehingga memberikan manusia sebagai hadiah diyakini dapat menyenangkan Tuhan sehingga Ia dapat segera memberi pertolongan terhadap para pemberi korban.” Mengapa Tuhan harus disenangkan? Menurut keyakinan masyarakat kala itu, semua bencana dan kemalangan bersumber pada murka Tuhan. Oleh karenanya Tuhan harus segera dihibur hingga marah-Nya kabur.
Sejarah Nabi Ibrahim yang rela mengorbankan Ismail, anak semata wayang yang telah ditunggu-tunggu begitu lama merupakan contoh populer korban manusia bagi penganut Abrahamism. Manusia, khususnya anak pertama, diyakini sebagai anak Tuhan. Mengorbankan anak pertama sama halnya dengan ‘mengembalikan apa yang menjadi milik Tuhan’. Pengorbanan yang dilakukan Nabi Ibrahim juga bermakna penghentian kebiasaan ‘manusia mengorbankan manusia’. Hal ini ditandai “keengganan” Tuhan menerima korban manusia. Sebagai gantinya, Tuhan memberikan binatang untuk dikorbankan.
Bagi Mariasusai Dhavamony, Ujungan (dalam makna usaha meminta hujan) mengandung ciri-ciri Magi Produktif, dimana ada unsur pemenuhan permintaan komunitas masyarakat tertentu. Dengan kata lain, Ujungan (menurut teori di atas) merupakan suatu peristiwa magis yang (dalam beberapa hal) yang mendasarkan kepercayaannya kepada kekuatan adi kodrati.
Meskipun Ujungan saat ini tidak lagi ‘mengorbankan’ manusia melalui pertarungan mematikan seperti yang terjadi di masa dahulu, namun semangat ‘pengorbanan’ masih jelas terlihat dalam keyakinan masyarakat setempat bahwa darah yang keluar dari tubuh petarung merupakan tanda Tuhan ‘telah senang’.
Kesenian yang telah ada sejak 1830-an ini kini telah terdaftar di Dinas Budaya dan Pariwisata (DISBUDPAR) Banjarnegara pada tahun 1980-an. Tidak perlu repot-repot menyelidiki apakah tradisi Ujungan selalu memberikan hasil sesuai dengan yang diinginkan, atau apakah tradisi ini melanggar ajaran-ajaran agama. Yang pasti, Ujungan telah menjadi bagian dari tradisi yang mengakar dalam kehidupan masyarakat sekitar. Sehingga selalu ada nilai-nilai luhur yang dapat dipetik. Mari beragama sambil terus berbudaya, (ANM)
Sumber Gambar: Blogspot.Com