• Tentang UGM
  • Portal Akademik
  • Pusat TI
  • Perpustakaan
  • Penelitian
Universitas Gadjah Mada
  • About Us
    • About CRCS
    • Vision & Mission
    • People
      • Faculty Members and Lecturers
      • Staff Members
      • Students
      • Alumni
    • Facilities
    • Library
  • Master’s Program
    • Overview
    • Curriculum
    • Courses
    • Schedule
    • Admission
    • Scholarship
    • Accreditation and Certification
    • Academic Collaborations
      • Crossculture Religious Studies Summer School
      • Florida International University
    • Student Satisfaction Survey
    • Academic Documents
  • Article
    • Perspective
    • Book Review
    • Event Report
    • Class Journal
    • Interview
    • Wed Forum Report
    • Thesis Review
    • News
  • Publication
    • Reports
    • Books
    • Newsletter
    • Monthly Update
    • Infographic
  • Research
    • CRCS Researchs
    • Resource Center
  • Community Engagement
    • Film
      • Indonesian Pluralities
      • Our Land is the Sea
    • Wednesday Forum
    • ICIR
    • Amerta Movement
  • Beranda
  • Artikel
  • Serahkan Darah, Langitpun Tumpah

Serahkan Darah, Langitpun Tumpah

  • Artikel
  • 7 November 2011, 00.00
  • Oleh:
  • 0

Beberapa waktu yang lalu, hujan merupakan barang mahal. Kemarau mencekam dalam waktu yang panjang. Banyak petani yang harus ‘menunda’ senyum karena hujan tak kunjung turun. Meski kini musim hujan telah datang, tak ada salahnya untuk melihat sebuah tradisi kuno yang masih bertahan sampai sekarang dari Banjarnegara, Jawa Tengah. Sebuah tradisi unik yang ditujukan untuk memanggil hujan dengan cara-cara yang ‘kurang lumrah’ bagi sebagian besar orang.

Tulisan ini akan membahas tradisi meminta hujan yang dilakukan masyarakat desa Gumelem, Banjarnegara, yang dikenal dengan Ujungan atau kerap juga disebut Mujung. Ujungan berarti memohon kepada Tuhan agar menurunkan hujan. Sesuai dengan namanya, tradisi Ujungan dilakukan tiap kali kemarau panjang datang, biasanya pada akhir mangsa kapat atau awal mangsa kalima (akhir September atau awal Oktober). Meskipun Ujungan dapat dikatakan ritual sakral, namun tradisi ini tidak dilakukan dalam suasana hening yang penuh kekhusyukan. Sebaliknya, Ujungan dilakukan dalam suasana ramai, penuh aksi kekerasan yang dibalut nuansa kegembiraan. Ujungan dilakukan oleh dua orang laki-laki dewasa yang saling menyerang menggunakan senjata tongkat rotan. Para peserta melakukan aksi ini secara bergantian. Pertarungan mereka dikelilingi penonton yang bersorak-sorai mendukung jagoan mereka masing-masing.

Pertarungan ini dipimpin oleh seorang Walandang yang bertugas sebagai wasit untuk menengahi pertarungan. Sang pemimpin pertandingan ini tidak sendirian. Ia dibantu oleh dua orang asisten yang bertugas memberi pertolongan tiap kali pertandingan dihentikan karena kondisi petarung dianggap sudah tidak memungkinkan untuk melanjutkan pertarungan. Pada zaman dulu, Ujungan tidak memiliki peraturan, sehingga kerapkali menelan korban jiwa. Saat ini, Ujungan telah mengalami modifikasi di sana-sini. Beberapa peraturan diterapkan untuk menghindarkan kemungkinan terburuk, seperti: larangan untuk memukul bagian perut ke atas (hanya bagian pinggang ke bawah yang boleh dipukul). Peserta yang mengikuti pertarungan ini adalah para penikmat Ujungan yang secara spontan mendaftarkan diri mana kala tradisi ini digelar. Sekarang, Ujungan memang bukan lagi tradisi cari mati. Sebab, apabila ada salah seorang peserta yang mengerang kesakitan akibat terkena pukul lawan, maka pertarungan pun dihentikan untuk kemudian diganti dengan peserta yang lain. Dikatakan oleh salah seorang Walandang, tradisi Ujungan secara kasat mata memang terlihat sebagai ajang adu kekuatan. Tetapi di sisi lain, ada muatan silaturahmi di mana warga yang tinggal di daerah yang berbeda dapat bertemu dan menjalin komunikasi untuk kemudian bersama-sama memohon hujan kepada Tuhan.

Tradisi Ujungan memiliki sejarah yang panjang. Konon, tradisi ini dimulai manakala desa Gumelem Wetan (Timur) dan Gumelem Kulon (Barat), yang saat itu merupakan daerah perdikan di bawah pemerintahan kademangan, sering bersitegang berebut air untuk mengairi sawah yang kering akibat kemarau. Tak jarang perselisihan ini menimbulkan pertumpahan darah antar warga sekitar. Nah, untuk mengakhiri konflik ini, maka diadakanlah Ujungan.

‘Doa’ bersama ala warga Gumelem yang ditujukan untuk memohon turunnya hujan ini  juga berarti berakhirnya konflik antar kedua warga desa. Pertarungan yang biasa digelar setiap Jumat menjelang sore, baru dihentikan mana kala hujan telah turun. Mereka percaya bahwa salah satu tanda hujan segera turun apabila ada petarung yang kalah dan terluka hingga berdarah-darah. Uniknya, petarung yang kalah tadi justru merasa bangga, sebab karena kucuran darahnya lah, hujan dapat segera datang.

Selama ritual ini berlangsung, lagu-lagu bernuansa petuah ikut pula dikumandangkan dengan iringan gamelan. Salah satunya adalah lagu ‘Purwakane sejarah Ujungan’ (Asal-usul sejarah Ujungan) dalam bahasa Jawa Banyumasan. Berikut adalah petikan syair dari lagu tersebut:

Nalikane titimangsa terang, ora ana udan…

Pamong tani kesusahan lan kebingungan…

Bapak tani njur pada memuji marang gusti kang Maha Suci… 

Mula para kanca sing pada percaya marang Kang Maha Kuasa..

Panyuwune udan bisa kasembadan kanthi sarana Ujungan..

 

  (Ketika masa kemarau tiba, tidak ada hujan..

  Para petani kesusahan dan kebingungan…

  Bapak tani kemudian memanjatkan pujian pada Tuhan yang Maha Suci…

  Maka dari itu , barangsiapa yang percaya pada Tuhan yang Maha Kuasa…

Semoga permintaan hujan dapat dikabulkan melalui perantara Ujungan…)

Petikan syair dari lagu ini, dan juga lagu-lagu lainnya, ditujukan untuk mengingatkan tujuan utama digelarnya Ujungan, yakni bersama-sama memohon kepada Tuhan Yang Maha Kuasa agar segera diberi hujan, sehingga derita masyarakat tak lagi berkepanjangan, bukan sebagai ajang saling hantam yang malah menimbulkan permusuhan…

Ujungan; Warisan Budaya ‘Pengorbanan’ Zaman Paleo Oriental?

Sebagai sebuah ritual yang telah hidup lama di tengah-tengah masyarakat, Ujungan merupakan obyek studi yang terlalu ‘sayang’ jika hanya dilihat dari kulit luarnya saja. Oleh karena itu, penulis hendak menganalisis tradisi ini dengan memberikan asumsi awal bahwa pengorbanan merupakan ide utama dari lahir dan berkembangnya Ujungan. Marilah kita menengok sebentar ke belakang, tepatnya di zaman Paleo Oriental, dimana ide “pengobanan” menempati posisi tertinggi dalam keyakinan manusia manakala mereka menemui kesulitan yang dianggap tak mampu diselesaikan dengan menggunakan kemampuan akali.

Apa yang dikorbankan? Dikatakan oleh Anna Marsia, koordinator Asian Women Resource Center for Culture and Theology (AWRC) Indonesia, “Mengorbankan manusia merupakan prioritas utama, karena manusia dipandang begitu mulia sehingga memberikan manusia sebagai hadiah diyakini dapat menyenangkan Tuhan sehingga Ia dapat segera memberi pertolongan terhadap para pemberi korban.” Mengapa Tuhan harus disenangkan? Menurut keyakinan masyarakat kala itu, semua bencana dan kemalangan bersumber pada murka Tuhan. Oleh karenanya Tuhan harus segera dihibur hingga marah-Nya kabur.

Sejarah Nabi Ibrahim yang rela mengorbankan Ismail, anak semata wayang yang telah ditunggu-tunggu begitu lama merupakan contoh populer korban manusia bagi penganut Abrahamism. Manusia, khususnya anak pertama, diyakini sebagai anak Tuhan. Mengorbankan anak pertama sama halnya dengan ‘mengembalikan apa yang menjadi milik Tuhan’. Pengorbanan yang dilakukan Nabi Ibrahim juga bermakna penghentian kebiasaan ‘manusia mengorbankan manusia’. Hal ini ditandai “keengganan” Tuhan menerima korban manusia. Sebagai gantinya, Tuhan memberikan binatang untuk dikorbankan.

Bagi Mariasusai Dhavamony, Ujungan (dalam makna usaha meminta hujan) mengandung ciri-ciri Magi Produktif, dimana ada unsur pemenuhan permintaan komunitas masyarakat tertentu. Dengan kata lain, Ujungan (menurut teori di atas) merupakan suatu peristiwa magis yang (dalam beberapa hal) yang mendasarkan kepercayaannya kepada kekuatan adi kodrati.

Meskipun Ujungan saat ini tidak lagi ‘mengorbankan’ manusia melalui pertarungan mematikan seperti yang terjadi di masa dahulu, namun semangat ‘pengorbanan’ masih jelas terlihat dalam keyakinan masyarakat setempat bahwa darah yang keluar dari tubuh petarung merupakan tanda Tuhan ‘telah senang’.

Kesenian yang telah ada sejak 1830-an ini kini telah terdaftar di Dinas Budaya dan Pariwisata (DISBUDPAR) Banjarnegara pada tahun 1980-an. Tidak perlu repot-repot menyelidiki apakah tradisi Ujungan selalu memberikan hasil sesuai dengan yang diinginkan, atau apakah tradisi ini melanggar ajaran-ajaran agama. Yang pasti, Ujungan telah menjadi bagian dari tradisi yang mengakar dalam kehidupan masyarakat sekitar. Sehingga selalu ada nilai-nilai luhur yang dapat dipetik. Mari beragama sambil terus berbudaya, (ANM)

Sumber Gambar: Blogspot.Com 

 
 
 

Leave A Comment Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Instagram

A M P A T Baru kemarin, pemerintah YTTA melakukan A M P A T
Baru kemarin, pemerintah YTTA melakukan aksi simsalabim dengan mencabut empat konsesi tambang di salah satu gugusan Red Line. Aksi "heroik" itu terlihat janggal ketika perusahaan yang paling bermasalah dalam perusakan lingkungan, bahkan yang menjadi pusat viral, justru dilindungi. Tentu bukan karena cocokologi dengan nama Raja Ampat sehingga hanya empat perusahaan yang dicabut konsesinya. Bukan cocokologi juga ketika Raja Ampat akan menjadi lokus tesis yang akan diuji esok di CRCS UGM. Berkebalikan dengan aksi badut jahat di Raja Ampat, @patricia_kabes akan bercerita bagaimana komunitas masyarakat di Aduwei mengelola laut dengan lestari melalui sasi. Berangkat dari negeri timur, peraih beasiswa LPDP ini justru menjadi yang pertama di angkatannya untuk menambahkan dua huruf pada akhir namanya.
For people who learn religious studies, it is comm For people who learn religious studies, it is common to say that "religion", as a concept and category, is Western modern invention. It is European origin, exported globally through colonialism and Christian mission. Despite its noble intention to decolonize modern social categories, it suffers from historical inaccuracy. Precolonial Islamic Malay and Javanese texts in the 16th and 17th century reflect a strong sense of reified religion, one whose meaning closely resembles the modern concept.

Come and join @wednesdayforum discussion at UGM Graduate School building, 3rd floor. We provide snacks and drinks, don't forget to bring your tumbler. This event is free and open to public.
I N S P I R A S I Secara satir, penyandang disabil I N S P I R A S I
Secara satir, penyandang disabilitas baru mendapatkan sorotan ketika dia mampu berprestasi, mampu mengatasi segala rintangan dan kekurangan. Singkat kata, penyandang disabilitas kemudian menjadi sumber inspirasi bagi nondisabilitas. Budi Irawanto menyebutnya sebagai "inspirational porn". Simak ulasan lengkapnya di situs web crcs ugm.
Human are the creature who live between the mounta Human are the creature who live between the mountain and the sea. Yet, human are not the only one who live between the mountain and the sea. Human are the one who lives by absorbing what above and beneath the mountain and the sea. Yet, human are the same creature who disrupt and destroy the mountain, the sea, and everything between. Not all human, but always human. By exploring what/who/why/and how the life between the mountain and the sea is changing, we learn to collaborate and work together, human and non-human, for future generation—no matter what you belief, your cultural background.

Come and join @wednesdayforum with Arahmaiani at UGM Graduate School building, 3rd floor. We provide snacks and drinks, don't forget to bring your tumbler. This event is free and open to public.
Follow on Instagram

Twitter

Tweets by crcsugm

Universitas Gadjah Mada

Gedung Sekolah Pascasarjana UGM, 3rd Floor
Jl. Teknika Utara, Pogung, Yogyakarta, 55284
Email address: crcs@ugm.ac.id

 

© CRCS - Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY

[EN] We use cookies to help our viewer get the best experience on our website. -- [ID] Kami menggunakan cookie untuk membantu pengunjung kami mendapatkan pengalaman terbaik di situs web kami.I Agree / Saya Setuju