• Tentang UGM
  • Portal Akademik
  • Pusat TI
  • Perpustakaan
  • Penelitian
Universitas Gadjah Mada
  • About Us
    • About CRCS
    • Vision & Mission
    • People
      • Faculty Members and Lecturers
      • Staff Members
      • Students
      • Alumni
    • Facilities
    • Library
  • Master’s Program
    • Overview
    • Curriculum
    • Courses
    • Schedule
    • Admission
    • Scholarship
    • Accreditation and Certification
    • Academic Collaborations
      • Crossculture Religious Studies Summer School
      • Florida International University
    • Academic Documents
    • Student Satisfaction Survey
  • Article
    • Perspective
    • Book Review
    • Event Report
    • Class Journal
    • Interview
    • Wed Forum Report
    • Thesis Review
    • News
  • Publication
    • Reports
    • Books
    • Newsletter
    • Monthly Update
    • Infographic
  • Research
    • CRCS Researchs
    • Resource Center
  • Community Engagement
    • Film
      • Indonesian Pluralities
      • Our Land is the Sea
    • Wednesday Forum
    • ICIR
    • Amerta Movement
  • Beranda
  • SPK Community
  • Profile

Profile

  • 7 April 2015, 10.23
  • Oleh:
  • 0

Indonesia dikenal memiliki civil society yang kaya dan kuat, termasuk organisasi dan gerakan di bidang advokasi kebebasan beragama. Situasi ini dibentuk oleh sejarah Indonesia yang ditandai oleh peran penting organisasi-organisasi sosial kegamaaan dalam formasi kebangsaan. Situasi keragaman identitas di Indonesia yang hidup dalam konteks kebebasan politik sejak tahun 1998 menempatkan kekuatan civil society di jantung ranah kehidupan publik. Sayangnya kekayaan dan kekuatan civil society dalam advokasi kebebasan beragama tidak menghasilkan cukup banyak pengetahuan yang bersifat reflektif dan konseptual tentang dinamika, peta isu dan pilihan-pilihan respon yang diambil oleh pelaku advokasi kebebasan beragama. Akibatnya terjadi situasi ‘stagnansi” yang utamanya ditandai oleh terbatasnya model pendekatan dan lingkaran atau jaringan pelaku. Selain itu kekayaan dan kekutaan gerakan lintas-iman di Indonesia tidak cukup mewarnai diskursus di tingkat global.

Dalam satu dekade terahir, muncul perkembangan baru advokasi kebebasan beragama dalam bentuk penerbitan laporan tahunan tentang situasi kebebasan beragama. Sejumlah lembaga seperti Wahid Institute, Setara Institute dan CRCS menerbitkan laporan tahunan yang memberikan data kejadian dan analisa tentang situasi kebebasan beragama secara nasional setiap tahun. Laporan Tahunan memberi nuansa baru dalam penguatan aspek pengetahuan advokasi kebebasan beragama yang selama ini lebih banyak diisi oleh karya-karya akademik yang memberikan fondasi teologis dan filosofis bagi pembelaan hak kebebasan beragama. Laporan Tahunan memberi nuansa baru dengan pengetahuan empiris yang bisa sangat membantu para aktor advokasi kebebasan beragama dalam melakukan pemetaan isu dan menentukan pilihan bentuk advokasi.

Sebagai lembaga akademik dan penelitian di bawah Universitas Gadjah Mada, CRCS mengambil peran dalam penguatan basis pengetahuan bagi advokasi kebebasan beragama melalui tiga sayap kegiatan yakni pendidikan master di bidang studi agama dan lintas budaya, penelitian dan pendidikan publik dalam isu-isu sosial keagamaan. Ketiga kegiatan ini mempunyai hubungan saling terkait sehingga membantu pemenuhan tujuan CRCS dalam menciptakan basis pengetahun yang memanfaatkan pengalaman advokasi dan dan turut serta memperkuat praktik advokasi dengan menyediakan basis pengetahuan yang bermanfaat.

Setelah berinteraksi cukup lama dengan para peneliti, akademisi dan praktisi CRCS menawarkan konsep pluralisme kewargaan (civic pluralism) sebagai platform konspetual bagi refleksi pengalaman advokasi kebebasan beragama. Istilah Pluralisme Kewargaan kami gunakan untuk mendorong pemahaman bahwa pluralisme tidak hanya terkait dengan diskursus teologis-filosofis tentang hubungan antara agama, atau perdebatan legal-formal tentang hak kebebasan beragama tetapi juga terkait dengan keragaman perspektif dalam melihat hubungan antara agama dan Negara dan keragaman situasi sejarah dan perubahan sosial-politik di tingkat lokal. Kami berpandangan perbedaan faktor keagamaan semata bukanlah faktor penentu dalam konflik; begitu juga meski regulasi dan penegakan hukum dibutuhkan, pendekatan hukum perlu diperkuat oleh proses “rekayasa sosial” yang mendukung situasi koeksistensi atau kerukunan.

Sejak tahun 2008, CRCS berkolaborasi dengan sejumlah aktifis dan akademisi yang menaruh perhatian terhadap isu kebebasna beragama menjalankan program bernama Pluralism Knowledge Program (PKP). Program ini bertujuan untuk menjembatani hubungan antara akademisi dan praktisi dalam memperkuat sektor pengetahuan sejumlah isu kebebasan beragama. Produk-produk pengetahuan yang dikeluarakan dalam publikasi-publikasi di atas adalah diantara hasil dari program ini. Interaksi dengan para aktifis dan akademisi ini merekomendasikan peran CRCS dalam penguatan sektor pengetahuan melalui program pelatihan yang kemudian diberi nama Sekolah Pengelolaan Keragaman (SPK).

Dimulai pada 2012 Sekolah Pengelolaan Keragaman (SPK) yang dimaksudkan untuk meningkatkan kapasitas para praktisi advokasi kebebasan beragama dalam memperkuat basis pengetahuan bagi advokasi atau biasa kami sebut ‘advokasi berbasis pengetahuan.’ Sebagaimana dibahas lebih detil di bawah, SPK dirancang untuk menjadi ruang refleksi, bertukar pengalaman dan berjejaring bagi para pemerhati dan praktisi terkait isu kebebasan beragama dari bidang dan daerah yang berbeda. Peserta dibekali dengan basis konseptual dan teoritik untuk melakukan refleksi atas pengalaman mereka. Para peserta juga dibekali dengan kemampuan melakukan riset untuk advokasi agar ke depan menjadi aktifis atau praktisi yang reflektif, sadar dengan pilihan-pilihan pendekatan advokasi dan menulis untuk memberikan kontribusi terhadap penguatan sektor pengetahuan bagi pembelaan kebebasan beragama. SPK kini menjadi sayap pendidikan non-gelar CRCS yang diharapkan bisa dilakukan secara rutin paling tidak sekali setiap tahun.

Leave A Comment Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Instagram

Faith could be cruel. It can be used to wound thos Faith could be cruel. It can be used to wound those we might consider "the other". Yet, rather than abandoning their belief, young queer Indonesians choose to heal by re-imagining it. The Rainbow Pilgrimage is a journey through pain and prayer, where love becomes resistance and spirituality turns into shelter. Amidst the violence, they walk not away from faith, but towards a kinder, more human divine. 

Come and join #wednesdayforum discussion at UGM Graduate School building, 3rd floor. We provide snacks and drinks, don't forget to bring your tumbler. This event is free and open to public.
H I J A U "Hijau" punya banyak spektrum dan metrum H I J A U
"Hijau" punya banyak spektrum dan metrum, jangan direduksi menjadi cuma soal setrum. Hijau yang sejati ialah yang menghidupi, bukan hanya manusia melainkan juga semesta. Hati-hati karena ada yang pura-pura hijau, padahal itu kelabu. 

Simak kembali perbincangan panas terkait energi panas bumi bersama ahli panas bumi, pegiat lingkungan, dan kelompok masyarakat terdampak di YouTube CRCS UGM.
T E M U Di antara sains yang mencari kepastian, a T E M U

Di antara sains yang mencari kepastian, agama yang mencari makna, dan tradisi yang merawati relasi, kita duduk di ruang yang sama dan mendengarkan gema yang tak selesai. Bukan soal siapa yang benar, melainkan  bagaimana kita tetap mau bertanya. 

Tak sempat gabung? Tak perlu kecewa, kamu dapat menyimak rekamannya di YouTube CRCS.
Dance is a bridge between two worlds often separat Dance is a bridge between two worlds often separated by distance and differing histories. Through Bharata Natyam, which she learned from Indu Mitha, Aslam's dances not only with her body, but also with the collective memory of her homeland and the land she now loves. There is beauty in every movement, but more than that, dance becomes a tool of diplomacy that speaks a language that needs no words. From Indus to Java, dance not only inspires but also invites us to reflect, that even though we come from different backgrounds, we can dance towards one goal: peace and mutual understanding. Perhaps, in those movements, we discover that diversity is not a distance, but a bridge we must cross together.

Come and join #wednesdayforum discussion at UGM Graduate School building, 3rd floor. We provide snacks and drinks, don't forget to bring your tumbler. This event is free and open to public.
Follow on Instagram

Twitter

Tweets by crcsugm

Universitas Gadjah Mada

Gedung Sekolah Pascasarjana UGM, 3rd Floor
Jl. Teknika Utara, Pogung, Yogyakarta, 55284
Email address: crcs@ugm.ac.id

 

© CRCS - Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY