Status Penghayat Kepercayaan setelah Keputusan MK
Mufdil Tuhri – 22 Maret 2018
Keputusan Mahkamah Konstitusi pada 7 November 2017 yang menyatakan inkonstitutionalitas aturan pengosongan kolom agama di kartu identitas kependudukan (KTP dan KK) bagi penghayat kepercayaan mencatatkan perkembangan positif dalam politik agama di Indonesia. Demikian Dr Samsul Maarif (CRCS) membuka diskusi publik di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) pada 27 Februari 2018. Menurut Dr Maarif, bahkan belum ada di dunia saat ini yang memberikan pengakuan terhadap aliran kepercayaan atau agama leluhur (indigenous religions) sebagaimana negara Indonesia.
Diskusi yang mengusung tema Menakar Masa Depan Status Kewarganegaraan Penghayat Kepercayaan ini diselenggarakan melalui kerja sama Pusat Kajian Hukum Adat “Djojodigoeno” Fakultas Hukum UGM, Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), dan Yayasan Satunama. Para pembicara dalam diskusi ini ialah Dr Abdul Mu’ti (Sekretaris Umum PP Muhammadiyah), Dr Rikardo Simarmata (dosen Fakultas Hukum UGM), dan Harjo Sudaryono (perwakilan dari Majelis Luhur Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa/MLKI).
Memberikan pengantar diskusi, Dr Maarif, yang tahun lalu menjadi saksi ahli dalam sidang uji materi (judicial review) UU Administrasi Kependudukan, menyampaikan bahwa kolom agama baru dicantumkan di KTP pada 1980-an. Dalam rentang suksesi pemerintahan Indonesia sejak era Orde Lama hingga kini, rekognisi atau pengakuan terhadap para penghayat kepercayaan/kebatinan menjadi objek perdebatan di kalangan politisi dan pembuat kebijakan. (Lebih jauh tentang sejarah rekognisi terhadap aliran kepercayaan, unduh gratis buku Dr Maarif: Pasang Surut Rekognisi Agama Leluhur [CRCS, 2017])
Dr Rikardo Simarmata, sebagai pembicara yang meninjau isu ini dari aspek hukum, menyampaikan bahwa keputusan MK itu ‘memulihkan’ status kewarganegaraan para penghayat menjadi setara dengan warga negara lain dan, dengan demikian, mereka menjadi subjek hukum yang menyandang hak dan kewajiban yang setara pula. Keputusan itu juga menjadikan “kepercayaan” sebagai satu kategori hukum sehingga ia mendapat status identitas yang absah untuk digunakan dalam layanan administrasi publik seperti pendidikan, lamaran pekerjaan, perkawinan, dan lain sebagainya.
Namun demikian, Dr Simarmata mengutarakan beberapa hal yang bisa menjadi kendala penerapan keputusan MK itu. Pertama, kendala di tataran administrasi penerapannya, khususnya dalam hal pembuatan peraturan pelaksana (implementing regulation). Kedua, adanya disharmoni antara keputusan MK dan peraturan perundang-undangan lain. Penerapan keputusan MK itu bisa terhambat jika ada UU di luar UU Adminduk yang tidak selaras dengan keputusan MK. Ketiga, ketersediaan sumber daya untuk melaksanakan keputusan MK, baik berupa institusional (misalnya dalam bentuk satu unit khusus lembaga pemerintahan) maupun finansial. Di luar persoalan hukum, kendala lain terdapat di tataran diskursus, yakni masih banyaknya masyarakat yang belum mendapat pemahaman yang memadai tentang aliran kepercayaan.
Pembicara selanjutnya, Harjo Sudaryono dari MLKI, memproblematisasi definisi agama dan kepercayaan yang baginya merupakan masalah paling dasar ketika berbicara tentang penghayat kepercayaan dalam konteks Ketuhanan Yang Maha Esa. Tentang ini, Pak Harjo menawarkan definisi kepercayaan terhadap Tuhan YME sebagai berikut:
“Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah sistem kesadaran dalam penghayatan pribadi dengan Tuhan Yang Maha Esa berdasarkan keyakinan yang bersumber dari nilai spiritual warisan leluhur yang diwujudkan dalam mesu budi, memerankan dayanya budi terhadap cipta, rasa dan karsa untuk berserah diri sepenuhnya kepada Tuhan Yang Maha Esa yang menghasilkan tuntunan budi luhur.”
Definisi ini dirumuskan Pak Harjo sebagai tanggapan terhadap berbagai definisi yang dirumuskan oleh pemerintah, termasuk dalam Keputusan Dirjen Kebudayaan Nomor 21 Tahun 1980, Sarasehan Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa Tahun 1981, dan UU Adminduk Nomor 23 Tahun 2006.
Pak Harjo selanjutnya memaparkan dinamika internal komunitas penghayat kepercayaan yang tergabung dalam MLKI. Menurutnya, saat ini terdapat 187 organisasi kepercayaan yang memperoleh pengakuan dari Direktorat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Tradisi di bawah Kemendikbud. Hingga kini, masih ada beberapa organisasi baik lama maupun baru yang masih dalam proses inventarisasi. Di antara tantangan berat dalam proses ini ialah masih adanya aturan perundang-undangan seperti UU Pencegahan Penodaan Agama 1965 dan lembaga seperti Bakorpakem yang melanggengkan stigma negatif terhadap para penghayat kepercayaan. Rekognisi yang menyeluruh terhadap penghayat kepercayaan menurutnya tak bisa terjadi tanpa mengkaji ulang kedua hal itu.
Dr Abdul Mu’ti dari PP Muhammadiyah sebagai pembicara terakhir menyinggung aturan perundangan-undangan Indonesia lainnya yang melanggengkan stigmatisasi terhadap penghayat kepercayaan, yaitu Ketetapan MPR Nomor IV/1978 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang menyatakan aliran kepercayaan sebagai budaya, bukan agama, sehingga “harus dibina sehingga tidak mengarah pada pembentukan agama baru”. Tentang hal ini, Dr Mu’ti menyampaikan perlunya ada dialog yang sehat antara para penghayat kepercayaan dengan tokoh-tokoh dari agama-agama dunia di Indonesia mengenai problem definisi agama dan kebudayaan, di mana batas-batas di antara keduanya, juga, tak kalah penting, penyamaan visi bagaimana melanjutkan hubungan lintas agama dan kepercayaan ini ke depan.
Menutup diskusi, Dr Maarif menyimpulkan bahwa tugas panjang masih menanti di depan untuk mengawal keputusan MK itu. Dr Maarif menegaskan bahwa keputusan MK itu ialah perkembangan positif di atas kertas. Pertanyaan selanjutnya ialah bagaimana menjamin keputusan MK itu diterapkan dengan optimal dan bagaimana membentuk diskursus baru di masyarakat yang lebih inklusif terhadap para penghayat kepercayaan.[]
_______
Kredit foto : Yayasan Satunama.