“Strategi Kebudayaan” dan Harapan Baru Perlindungan Keragaman dan Ekologi
Fiqh Vredian – 26 Desember 2018
Kongres Kebudayaan Indonesia (KKI) 2018 yang dihelat di kompleks Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Jakarta (5-9/12), membuka harapan baru. Kongres kebudayaan kesepuluh ini menjalankan amanat Undang-Undang No. 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan untuk menyusun “Strategi Kebudayan”. Sebelumnya telah diselenggarakan berbagai Pra-Kongres Kebudayaan yang menghimpun Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah (PPKD) dari 300 kabupaten/kota dan 31 provinsi dan 33 forum bidang sektoral sebagai data yang diolah dalam Strategi Kebudayaan oleh tim perumus lintas keilmuan. Ada tujuh agenda strategis kebudayaan di dalam Strategi Kebudayaan, yang antara lain menyasar isu keragaman dan ekologi.
Strategi Kebudayaan berpeluang menjadi jalan alternatif baru perlindungan dan advokasi keragaman dan ekologi. Bagi penghayat kepercayaan, penggerak tradisi, dan masyaraakat adat, strategi kebudayaan menjadi dokumen tindak lanjut UU Pemajuan Kebudayaan yang mengakui dan melindungi kebebasan berekspresi dan keberadaan 10 objek pemajuan kebudayaan yang didata dalam PPKD. Bagi masyarakat adat, Strategi Kebudayaan dapat menjadi harapan baru dalam melindungi keterikatan religius dan kultural mereka dengan lingkungan hidup dari serbuan industri dan pembangunan, seiring macetnya pembahasan Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat di DPR.
Keragaman dan Toleransi
Salah satu dari tujuh tantangan pemajuan kebudayaan yang diangkat dalam Strategi Kebudayaan dan dilaporkan dalam sidang pleno KKI adalah “pengerasan identitas primordial dan sentimen sektarian yang menghancurkan sendi-sendi budaya masyarakat”. Salah satu masalah yang diangkat oleh beberapa PPKD adalah kurang tolerannya sebagian kelompok terhadap ritual tertentu yang dianggap menyekutukan tuhan, seperti teror dan perusakan sedekah laut di Bantul tempo lalu.
Persoalan lain yang diangkat adalah terkait perlindungan penghayat kepercayaan, komunitas tradisi, dan masyarakat adat beserta ketersediaan akses bagi mereka dalam perencanaan pembangunan. Topik-topik tersebut masuk dalam agenda strategis kebudayaan kedua: “melindungi dan mengembangkan nilai, ekspresi, dan praktik kebudayaan tradisional untuk memperkaya kebudayaan nasional”.
Saat KKI, isu keragaman dan toleransi mendapat tempat dalam rangkaian acara. Jacky Manuputty, Asisten Khusus Presiden RI, menyampaikan topik resolusi konflik berbasis adat-istiadat. Menurutnya, pascakonflik berdarah pada awal dekade silam di Ambon, kearifan lokal dalam seni dan budaya berperan penting dalam menyatukan komunitas Muslim dan Kristen yang terpecah-belah. Memori kolektif persaudaraan serumpun muncul dalam kesenian hadrat yang digunakan dalam proses rekonsiliasi. Sementara itu, budayawan Zawawi Imron dalam pidato kebudayaannya menekankan hubungan budaya, seni, dan keindahan dalam membentuk akal budi dan menangkal berita palsu dan ujaran kebencian. “Orang yang hatinya indah akan melihat dunia dengan indah,” ujarnya. Benny Susetyo, staf khusus Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) menyampaikan pentingnya menjadikan Pancasila sebagai gerakan kebudayaan yang memanusiakan, bukan seperti elite yang menyetir pancasila untuk kepentingan politik sesaat dan pasar. Saat proses penerimaan Strategi Kebudayaan di akhir KKI, Presiden Joko Widodo juga menyampaikan perlunya menjamin kebudayaan sebagai “panggung interaksi yang toleran”, bukan hanya panggung ekspresi.
Agenda strategis kebudayaan keempat mengamanatkan untuk “memanfaatkan objek pemajuan kebudayaan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat”, misalnya dengan ekonomi kreatif dan pariwisata budaya. Agenda ini sangat strategis bagi para penghayat dan masyarakat adat yang seringkali tereksklusi dari lingkaran pendapatan ekonomi karena stigma dan minimnya pengakuan pemerintah daerah dan masyarakat. Dalam hal ini, Strategi Kebudayaan juga mengingatkan jangan sampai terjadi pengerusakan daur hidup alam dan peminggiran masyarakat adat atas nama pariwisata.
Kepercayaan dan Masyarakat Adat
Satu Pra-Kongres Kebudayaan sektoral membahas topik masyarakat adat, kepercayaan, dan keraton dan dihadiri para perwakilan komunitas terkait dan para ahli (5/11). Pra-Kongres ini memberikan rekomendasi terkait penguatan perlindungan hak-hak sipil, hak ulayat, dan hak kekayaan intelektual komunal, serta dokumentasi objek pemajuan kebudayaan penghayat kepercayaan dan masyarakat adat. Selama ini, perlindungan eksistensi penghayat dan lembaga kepercayaan berada dalam jurisdiksi Direktorat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Tradisi yang telah terhitung baik menjalankan pelayananan terkait administrasi organisasi, pendidikan, pemakaman, sasana sarasehan, pendaftaran pemuka penghayat pencatat perkawinan, dan pemberdayaan, serta sosialisasi berbagai regulasi yang melindungi penghayat.
Dalam UU Pemajuan Kebudayaan, meskipun kata kepercayaan tidak disebut eksplisit dalam pasal-pasalnya, kepercayaan disebutkan dalam bagian penjelasan, terutama penjelasan pasal tentang asas keberagaman; dan ritual kepercayaan disebutkan dalam penjelasan tentang ritus sebagai salah satu objek pemajuan kebudayaan.
Pengakuan terhadap eksistensi dan ekspresi penghayat ini perlu diapresiasi. Akan tetapi, ada beberapa istilah yang sebenarnya saling taut-menaut, namun dibedakan, seperti kebudayaan, agama, kepercayaan, adat istiadat, dan ritus. Pembedaan ini perlu disadari problematis. Ferdiansyah, anggota DPR Komisi X, yang mempresentasikan tentang sejarah penyusunan UU Pemajuan Kebudayaan di KKI, mengatakan bahwa dengan UU tersebut pemerintah hanya mengatur tata kelola, bukan substansi dan praktik kebudayaan. Akan tetapi tata kelola yang melibatkan pendefinisian dan kategorisasi sesuatu sebagai kebudayaan tersebut mengandung masalah diskursif.
Samsul Maarif dalam disertasinya, Dimensions of Religious Practice: The Ammatoans of Sulawesi, Indonesia (2012), menjelaskan bahwa studi hukum adat masa kolonial hingga kini seringkali mereduksi adat dalam dimensi hukum dan mengeliminasi makna adat sebagai agama yang mengatur hubungan etis dan ekologis dengan alam. Dalam konteks ini, UU Pemajuan Kebudayaan dan Strategi Kebudayaan cenderung mendefinisikan adat dan ritus sebagai bagian budaya. Di samping itu, masyarakat adat yang ingin diakui dimensi religiusnya di Indonesia harus mengkompromikan diri sebagai kepercayaan (bukan agama) yang tidak bisa dilepaskan dari kebijakan pem-budayaan-an masa Orde Baru.
Ekosistem Budaya
Agenda strategis kelima adalah “memajukan kebudayaan yang melindungi keanekaragaman hayati dan memperkuat ekosistem”. Strategi Kebudayaan juga mengangkat isu pengetahuan lokal sebagai strategi mitigasi bencana. Dalam hal ini, Strategi Kebudayaan mendorong kebijakan pembangunan yang memperhatikan keberlanjutan “ekosistem budaya”. Namun, pembangunan, industrialisasi, dan modernisasi yang tidak ramah bukan hanya akan menghancurkan kebudayaan dan alam, namun juga menghancurkan agama leluhur. Pengalaman komunitas Bajau yang tempo lalu difilmkan menunjukkan kompleksitas isu ini di lingkungan laut. Agama leluhur juga telah menjadi perhatian gerakan internasional antaragama dalam upaya menyelematkan hutan.
Dalam acara KKI muncul pula diskusi tentang benturan konservasi budaya dan konservasi alam. Misalnya, guna memunculkan daya magisnya, reog Ponorogo membutuhkan kulit harimau dan puluhan bulu merak, yang notabene terancam punah. Saras Dewi, dosen Universitas Indonesia yang menjadi salah satu pembicara, merespons pentingnya rekonstruksi budaya dengan mempertimbangkan etika ekologi yang menghargai alam sebagai komunitas biotik dan dialog partisipatif dengan masyarakat lokal. Ia mencontohkan masyarakat adat Tanjung Benoa Bali yang sebelumnya menjadikan konsumsi penyu sebagai bagian ritual tertinggi untuk menyambut kedatangan dewa. Atas kesadaran bahwa berkurangnya populasi penyu akan berdampak pada terancamnya spesies yang lain, termasuk terumbu karang, akhirnya mereka tidak lagi mengonsumsi penyu dan kini melakukan repopulasi penyu, bahkan terdapat peraturan daerah yang melarang konsumsi tersebut. Pelestarian budaya akhirnya diiringi penghargaan terhadap hak biotik.
Di atas kertas, isu-isu dan gagasan dalam Strategi Kebudayaan yang dirumuskan dalam KKI ini tergolong progresif. Namun, ia masih memerlukan pengawalan lebih lanjut karena, selain masih menunggu untuk ditetapkan oleh presiden, posisinya akan menjadi dasar penyusunan Rencana Induk Pemajuan Kebudayaan (RIPK) yang selanjutnya menjadi pedoman teknis bagi pemerintah pusat untuk jangka waktu 20 tahun ke depan.[]
_____________________
Fiqh Vredian adalah mahasiswa CRCS angkatan 2017. Gambar header dan infografik diambil dari halaman FB Kebudayaan Indonesia.