Zainal Abidin Bagir | CRCS UGM | Opini
Tak sedikit tokoh, pejabat, politisi bahkan polisi yang memuji gelombang aksi protes terhadap ucapan Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang kontroversial itu. Pujian-pujian itu beralasan, karena meskipun kelompok yang memobilisasi atau mendukung demo tampaknya berasal dari spektrum yang amat luas, mulai dari yang sangat moderat hingga yang disebut garis keras, tuntutan akhir mereka sama, yaitu menuntut agar Ahok diproses di jalur hukum, secara adil dan berkeadilan.
Supremasi hukum demi tegaknya keadilan tentu adalah jalan beradab, demokratis dan moderat. Tapi benarkah demikian? Saya khawatir, imajinasi tentang keadaban dan sikap moderat seperti ini terlalu cetek. Tentu tidak keliru, tapi tidak cukup. Penyelesaian masalah melalui jalur hukum harus dipuji, jika alternatifnya adalah respon kekerasan. Namun, khususnya dalam kasus “penistaan agama”, ada banyak alasan untuk meragukan bahwa seruan itu adalah jalan terbaik untuk memecahkan masalah, dan mungkin justru tak menjanjikan keadilan.
Sebab utamanya adalah bahwa peristiwa ini (ucapan Ahok dan pembingkaian atas peristiwa itu sebagai “penistaan agama”), jika masuk pengadilan, kemungkinan besar merujuk merujuk pada Pasal 156A KUHP, yang tidak memiliki karir gemilang dalam sejarah Indonesia. Ini adalah bagian dari pasal-pasal karet “kejahatan terhadap ketertiban umum” dalam KUHP. Pasal yang ditambahkan pada tahun 1969 atas perintah UU 1/PNPS/1965 ini memiliki nilai politis yang amat kuat. Target awalnya adalah untuk membatasi aliran-aliran kebatinan/kepercayaan yang terutama bersaing dengan kekuatan politik Islam pada tahun 1950 dan 1960an.
Setelah tahun 1998, target itu bergeser. Target lama tetap ada, meskipun bukan mengenai aliran-aliran kebatinan lama, tapi gerakan-gerakan baru seperti Salamullah yang dipimpin Lia Eden, atau Millah Abraham. Tak ada isu politik penting dalam mengejar kelompok-kelompok itu, namun alasan utamanya adalah “pemurnian” Islam (dan mungkin alasan soisal-ekonomi-politik lain). Selain itu, tujuan baru penggunaan pasal ini adalah sebagai upaya peminggiran intraagama, yaitu kelompok-kelompok dalam komunitas Muslim sendiri, seperti Ahmadiyah dan Syiah, yang sebetulnya sudah eksis di Indonesia sejak jauh sebelumnya. Dalam Kristen, ada beberapa kasus serupa. Pasal penodaan agama jarang digunakan sebagai ekspresi perselisihan antaragama, kecuali dalam beberapa kasus.
Melihat rentang wilayah penggunaan pasal KUHP itu, kita bisa segera mencurigai efektifitasnya. Bagaimana mungkin keyakinan (misalnya bahwa Nabi Muhammad adalah Rasul terakhir dalam Islam) dijaga dengan pasal yang sama yang memenjarakan orang selama 5 bulan karena memprotes speaker masjid yang terlalu keras (seperti di Lombok pada 2010; seorang perempuan Kristen yang mengomentari sesajen Hindu (seperti di Bali pada 2013); atau seorang “Presiden” Negara Islam Indonesia yang mengubah arah kiblat dan syahadat Islam, namun kemudian pada 2012 hakim memberi hukuman setahun, untuk dirawat di Rumah Sakit Jiwa. Itu hanyalah beberapa contoh yang bisa diperbanyak dengan mudah.
Selain rentang implementasi yang demikian luas, persoalan lain adalah amat kaburnya standar pembuktian kasus-kasus semacam itu. Kasus-kasus yang diadili dengan Pasal 156A tersebut biasanya menggunakan cara pembuktian serampangan, dengan pemilihan saksi ahli yang tak jelas standarnya pula (dalam satu kasus pada tahun 2012, seorang yang diajukan sebagai saksi ahli agama bahkan tidak lulus sekolah). Penistaan atau penodaan bukan sekadar pernyataan yang berbeda, tapi—seperti dinyatakan Pasal 156A itu—mesti bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan, bahkan mesti ada maksud supaya orang tidak menganut agama apapun. Apakah Ahok, yang membutuhkan suara mayoritas Muslim Jakarta, berpikir untuk memusuhi mereka?
Selain itu, apakah ia dianggap menghina Islam, atau ulama? Yang dikritiknya adalah Muslim yang disebutnya membohongi pemilih DKI dengan menggunakan ayat 51 surat Al-Maidah. Apakah muslim seperti itu identik dengan Islam, sementara banyak ulama dan terjemahan Al-Qur’an memberikan tafsir berbeda?
Dalam kenyataannya, jika kasus ini masuk ke pengadilan, seperti dapat dilihat dalam banyak kasus, pertanyaan-pertanyaan tentang standar pembuktian kerap diabaikan. Yang menjadi pertimbangan yang tak kalah penting adalah “ketertiban umum” (yang menjadi judul Bab KUHP yang mengandung pasal tersebut). Persoalannya, ancaman terhadap “ketidaktertiban umum” itu lebih sering dipicu oleh pemrotes yang merasa tersinggung, dan bukan pelaku itu sendiri. Karena itulah, demonstrasi besar jilid satu dan dua pada 4 November nanti—dan bukan ucapan Ahok itu sendiri—menjadi penting sebagai dasar untuk menggelar pengadilan atas Ahok.
Pemurnian sebagai politik
Penting dilihat bahwa dalam kenyataannya, Pasal 156A dipakai hanya selama sekitar 10 kali sejak tahun 1965 hingga 2000, dan tiba-tiba dalam 15 tahun terakhir demikian populer, telah digunakan sekitar 50 kali! Apakah setelah Reformasi ada makin banyak para penoda agama atau orang-orang yang sesat? Atau ada penjelasan lain dengan melihat transisi politik pada 1998?
Seperti halnya pasal-pasal kriminal serupa di banyak negara lain tentang “penodaan”, “penistaan”, atau “blasphemy”, upaya seperti ini biasanya memang menggabungkan dua tujuan sekaligus: tujuan penjagaan “kemurnian agama” (tentu dalam versi kelompok yang memiliki kuasa untuk mendiktekannya) dan tujuan politik. Pasal ini menjadi instrumen efektif untuk menjalankan politik “pemurnian” agama, yaitu penegasan kuasa politik suatu kelompok keagamaan.
Pada tahun 2010, UU ini dan Pasal 156A diajukan ke Mahkamah Konstitusi. Benar MK mempertahankan pasal ini, namun perlu dilihat juga catatan panjang yang diberikan para hakim MK tentang kelemahan-kelemahannya, dan saran agar pasal ini direvisi supaya tidak diskriminatif serta mendukung pluralisme Indonesia. Bahwa ada unsur politik, bukan semata-mata pidana, dalam pasal ini, tampak dalam pertimbangan MK yang panjang, hingga mengelaborasi persoalan filosofis mengenai hubungan agama dan negara, dan sejarah Indonesia sebagai negara berketuhanan.
Bagaimana mengatasi Ahok: Imajinasi yang lebih kaya
Maka kita bisa bertanya, apa sebetulnya tujuan dari keinginan besar untuk mengadili Ahok sebagai penista agama? Soalnya mungkin bukan tentang umat Islam yang sudah seharusnya tersinggung atas upaya penistaan agamanya. Pertama, ketersinggungan itu mungkin dirasakan setelah pernyataan Ahok itu dibingkai orang dan kelompok tertentu, yang lalu memobilisasi massa. (Sekali lagi, ini mirip dengan kasus “penodaan” lain, seperti kasus kartun Denmark.)
Selain itu, jika tak ada alasan politik praktis menjelang pilgub DKI atau yang lain, tapi ini soal menjaga kemurnian agama, benarkah kita mau menggantungkan kemuliaan agama pada satu pasal karet yang sama yang telah digunakan untuk mengadili orang dengan gangguan kejiwaan, pencabut speaker masjid, seorang ibu rumah tangga yang mengomentari sesajen Hindu, atau banyak kasus-kasus lainnya?
Baca lagi –> https://islamindonesia.id/
_________
Penulis adalah seorang Dosen Center for Religious and Cross-cultural Studies – Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Millah Abraham
Azis Anwar Fachrudin | CRCS UGM | Article
[perfectpullquote align=”full” cite=”” link=”” color=”” class=”” size=”12″]”Sebagai tanggapan atas fenomena Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) yang isunya memanas dan menjadi perbincangan populer di awal tahun ini dan masih berlangsung hingga hari ini, Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Universitas Gadjah Mada (UGM), menyelenggarakan diskusi terbatas bertajuk “Negara dan Penanganan Konflik Sosial: Kasus Gafatar/Millah Abraham” pada Jumat, 23 September 2016. Bertempat di gedung Sekolah Pascasarjana UGM, diskusi yang dipandu Dr. Zainal Abidin Bagir (Dosen CRCS UGM) tersebut menghadirkan tiga pembicara, yakni Hadi Suparyono (perwakilan dari eks-Gafatar), Tantowi Anwari (dari Serikat Jurnalis untuk Keragaman [SEJUK]), Dr. Mohammad Iqbal Ahnaf (Peneliti dan Dosen CRCS UGM), dan sekitar 40 orang sivitas akademika UGM maupun dari kalangan yang lebih luas. Tulisan ini didasarkan pada percakapan pada diskusi tersebut dan beberapa sumber lain, yang ditulis oleh Azis Anwar Fachrudin dan dilengkapi oleh Zainal Abidin Bagir.”[/perfectpullquote]
Bagaimana memahami fenomena Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) yang isunya memanas di awal tahun 2016 ini? Pembahasan tentang pertanyaan ini penting sebab dampak yang timbul dari gerakan yang merupakan kelanjutan dari gerakan Millah Abraham ini tidaklah sepele. Upaya menyelesaikan masalah tersebut harus dimulai dengan pemahaman yang tepat mengenai fakta dan juga narasi yang dibangun. Narasi itulah yang mendasari kebijakan pemerintah, di bawah banyak kementerian, bahkan juga tampaknya aspek penegakan hukumnya, termasuk pengadilan pidana.
Pada Januari-Februari 2016, terjadi aksi pembakaran terhadap perumahan dan properti yang disusul dengan pengusiran 2.422 keluarga yang berisi 7.916 orang eks-Gafatar dari Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur; mayoritasnya berasal dari dua desa di Kabupaten Mempawah, Kalimantan Barat. Pada awal Februari, lebih dari 6000 orang telah dipaksa menjadi ‘pengungsi’, ditampung di enam tempat penampungan di Jakarta, Yogyakarta, Jawa Barat, dan Jawa Timur. Tak berhenti di sana, banyak dari mereka yang kembali dari Kalimantan itu mendapat stigma negatif dan diskriminasi ketika kembali ke kampung asalnya. Ada yang mengalami kesulitan untuk bekerja kembali karena stigma itu, sebagian bahkan mendapat kesulitan ketika mengurus Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK), yang menyebutkan “catatan kriminal” mereka, yaitu pernah menjadi anggota Gafatar. Selain itu, ada pula upaya kriminalisasi dengan dakwaan utama terlibat aliran menyimpang yang menodai agama atau upaya makar. Tiga orang pemimpin Gafatar/Millah Abraham dituduh melakukan penodaan agama, dan pada saat artikel ini ditulis berkas mereka telah dilimpahkan ke Kejaksaan oleh polisi. Jumlah orang sebanyak ini menjadikan peristiwa ini termasuk yang terbesar di antara banyak konflik bernuansa sektarian lain setelah Reformasi, khususnya sejauh menyangkut tuduhan “penodaan agama”.
Apakah Gafatar/Millah Abraham? Beragam Narasi
Pelbagai narasi untuk menggambarakan peristiwa di Mempawah muncul, mulai dari penculikan orang, upaya cuci otak (brainwashing), penodaan agama, makar, penyerangan properti, dan pemindahan paksa. Pemerintah (dari beberapa kementerian dan polisi), akademisi, maupun tokoh keagamaan mengajukan beragam narasi untuk memahami peristiwa itu. Setiap narasi membawa penekanan atau bias tertentu. Dan yang lebih penting, masing-masing narasi membawa konsekuensi berbeda.
Untuk itu Zainal Abidin Bagir (CRCS UGM) mengajukan beberapa pertanyaan krusial terkait identifikasi, baik peristiwanya maupun entitas Gafatar itu sendiri, dan akibat kongkretnya. Menurutnya, setidaknya ada tiga narasi yang berkembang. Pertama, Gafatar sebagai gerakan politik, persisnya gerakan makar yang diduga kuat punya agenda tersembunyi mendirikan negara dalam negara. Jika dianggap bertujuan makar, Gafatar adalah pelanggar hukum serius yang layak dikriminalisasi.
Kedua, gerakan sosial-ekonomi, yaitu gerakan yang—sebagaimana dinyatakan oleh beberapa petinggi eks-Gafatar sendiri—memiliki program unggulan dan perhatian utama pada pertanian untuk “ketahanan dan kemandirian pangan.” Sebagai gerakan sosial-ekonomi, Gafatar adalah organisasi yang selayaknya didukung pemerintah. Dan, benar, orgnisasi ini memang didukung banyak lembaga resmi negara, sebelum ia akhirnya ditolak di beberapa tempat dan lalu diramaikan media karena dikaitkan dengan kasus penculikan.
Narasi ketiga mengidentifikasi Gafatar sebagai gerakan keagamaan, dengan beberapa variasi. Pertama, dalam bahasa UU No.1/PNPS/1965 tentang pencegahan penodaan agama, Gafatar dianggap sebagai sebagai aliran menyimpang atau sesat, karena, sesuai bunyi UU itu, memberikan tafsir yang menyimpang dari pokok-pokok agama atau menyerupai suatu agama di Indonesia.
Perlu dicatat bahwa dalam 15 tahun terakhir, bahasa “penodaan agama” tampak makin populer, ditandai dengan semakin sering dipakainya UU tersebut dan Pasal 156 A KUHP yang terkait dengan UU itu. Beberapa penelitian mencatat bahwa dari tahun 1965 hingga tahun 2000, Pasal 156A KUHP itu hanya dipakai sekitar 10 kali; namun sejak tahun 2000 sudah ada sekitar 50 kasus. Ini mungkin tampak sebagai paradoks demokratisasi, namun bisa juga dilihat sebagai konsekuensi demokratisasi sendiri.
Narasi “penodaan agama” disampaikan umumnya oleh para tokoh keagamaan, khususnya dari Majelis Ulama Indonesia (MUI), karena Gafatar dianggap telah menyimpangkan ajaran Islam. Fatwa MUI menjadi salah satu dasar dari represi Gafatar/Millah Abraham yang dituangkan dalam Surat Keputusan Bersama Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri, dan Jaksa Agung yang diumumkan pada 24 Maret.
Sebutan lain yang kerap digunakan untuk organisasi semacam Gafatar/Millah Abraham adalah gerakan “kultus” (cult), dengan ciri-ciri tipikal seperti hidup komunal-eksklusif, memuja suatu figur karismatik, kerap dituduh melakukan brainwashing, juga diikuti kasus-kasus yang terkadang disebut oleh anggota keluarganya sebagai penculikan.
Narasi Gafatar/Millah Abraham sebagai fenomena keagamaan tidak selalu harus negatif. Dalam studi sosiologis tentang agama, ada istilah lain, yaitu Gerakan Keagamaan Baru (New Religious Movement), yang telah lazim digunakan sebagai istilah akademik dan dianggap netral. Dosen sosiologi agama UIN Sunan Kalijaga Al Makin menggunakan istilah ini.
Baginya, sebetulnya fenomena ini bukan hal baru di Indonesia. Dalam bukunya yang baru diterbitkan (2016), Al Makin menunjukkan bahwa dalam rentang sejarah sejak setidaknya abad ke-19, Nusantara telah menjadi lahan subur bagi berkecambahnya gerakan spiritual. Ada ratusan tradisi agama yang dalam kajian akademik sosiologis bisa dikategorikan NRM, termasuk gerakan yang dipimpin Pangeran Diponegoro dan Si Singamangaraja XII, yang keduanya bergelar Pahlawan Nasional Indonesia. Di era Orde Lama, Orde Baru, dan Reformasi, kemunculan ratusan gerakan semacam ini tak pernah berhenti. Dengan memahami hal ini, kemunculan gerakan seperti Gafatar sebetulnya tak begitu mengejutkan.
Yang menjadikan Gafatar tampak lebih impresif dibanding gerakan keagamaan baru yang muncul belakangan ini adalah kemampuannya menarik pengikut dalam jumlah amat besar dan lalu bermigrasi ke daerah lain dalam waktu relatif singkat. Besarnya gerakan ini, dan bukan semata-mata kandungan keyakinan keagamaannya, yang tampaknya memperkuat kesan yang makin “mengancam”.
Dosen CRCS sekaligus Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Suhadi Cholil menganggap penting ditemukannya suatu penamaan khusus untuk fenomena seperti Gafatar, bukan hanya dari sisi pengkajian, tapi juga advokasi. Ini dapat membantu masyarakat untuk memahami gerakan seperti Gafatar ini tidak sebagai sesuatu yang asing. Suhadi membandingkan dengan advokasi yang relatif cukup berhasil dilakukan dalam beberapa kasus penghayat kepercayaan. Istilah “aliran kepercayaan” sudah akrab di masyarakat sehingga—betapapun masih problematis karena berada dalam posisi inferior di hadapan agama-agama dunia—masyarakat sudah mempunyai istilah yang membantu untuk identifikasi dan kategorisasi.
Dalam kenyataannya, beragam narasi di atas tentang Gafatar saling berkontestasi, dan masing-masing—dengan melihat di mana aksentuasinya dan siapa yang mengungkapkannya—memiliki konsekuensi politis dan hukum yang nyata. Yang menjadi dominan dalam perbincangan populer (bahkan, menurut seorang peserta diskusi, dikabarkan hingga di tingkat obrolan ibu-ibu PKK) ialah narasi bahwa Gafatar merupakan aliran menyimpang dan/atau gerakan makar.
Maka, pertanyaan mula-mula yang penting ialah: sebenarnya siapa atau apa Gafatar ini?
Gafatar dalam Berbagai Dimensinya
Pertanyaan tersebut perlu dijawab bukan hanya oleh pihak luar (baik itu peneliti atau pemerintah), namun juga melihat identifikasi-diri dari dalam Gafatar sendiri. Dalam pemaparannya, Hadi Suparyono menegaskan bahwa ia tidak mewakili seluruh eks-Gafatar. Hadi menunjukkan sebuah video yang dibuat oleh Setara Institute dan Millah Abraham untuk memberikan gambarah jatuh bangunnya Gafatar/Millah Abraham. Ia tidak menampik bahwa ada peran vital dari figur Ahmad Mushaddeq, yang pada tahun 2000 lalu mendirikan gerakan al-Qiyadah al-Islamiyah itu.
Saat Mushaddeq masih dalam tahanan, terang Hadi, ada ribuan dari sekitar 45 ribu pengikut al-Qiyadah yang kemudian membentuk komunitas Millah Abraham pada 2009. “Ideologi utamanya,” terang Hadi, “ialah kembali kepada iman Abraham.” Ide mengenai “Millah Ibrahim” ada dalam al-Qur’an, Namun Hadi juga menyatakan bahwa ideologi ini “sangat berbeda dengan Islam”. Sebagaimana pernah dinyatakan mantan pemimpin eks-Gafatar, Mahful Tumanurung, Gafatar bukan bagian atau sudah keluar dari Islam sehingga, menurutnya, tak selayaknya dihakimi dengan fatwa MUI.
Ringkas cerita, 52 orang dari komunitas Millah Abraham kemudian mendirikan Gafatar pada Agustus 2011 dengan, lanjut Hadi, “berasas Pancasila dengan visi-misi […] mewujudkan kehidupan yang beradab, berkeadilan, dan bermartabat di bawah naungan Ketuhanan Yang Maha Esa melalui penyatuan nilai-nilai luhur bangsa […] sebagaimana sila kedua berdasarkan sila pertama Pancasila.” Berdasar pada visi-misi ini, Hadi menegaskan, “Millah Abraham tidak bertentangan dengan ideologi Pancasila.”
Pada Januari tahun berikutnya, Gafatar melakukan deklarasi nasional dan mendirikan cabang-cabang di beberapa provinsi. Pelan-pelan segera mulailah muncul tekanan dan stigma-stigma negatif, dan di beberapa daerah deklarasi dan program kerjanya (antara lain berupa bakti sosial dan pelayanan kesehatan) hampir atau berhasil dibubarkan.
Memang ada beberapa daerah yang apresiatif terhadap program dan kerja sosial Gafatar. Namun stigma negatif pelan-pelan berhembus semakin kencang, sehingga banyak anggota Gafatar yang mengalami tekanan sosial, difatwa sesat, dibatalkan Surat Keterangan Tanah (SKT)-nya, diusir dari kampungnya, hingga dibawa ke pengadilan dengan tuduhan penodaan agama. Sampai akhirnya pada Agustus 2015 Gafatar membubarkan diri.
Meskipun telah bubar, banyak eks-anggota Gafatar yang masih ingin melanjutkan kerja sosialnya. Satu hal utama yang dilirik waktu itu ialah pertanian, mengingat Indonesia sedang krisis petani dan banyak tanah pertanian yang telah berubah menjadi perumahan. Maka diluncurkanlah Program Ketahanan dan Kemandirian Pangan, yang rintisannya telah bermula sejak Rakernas Gafatar 2013, dengan pilihan area garapan di Kalimantan—dan orang-orang Gafatar yang sebelumnya diusir dari daerahnya pun segera bergabung menuju Kalimantan.
Dalam keterangan Hadi, orang-orang yang ikut bergabung pindah ke Kalimantan adalah dengan keinginan sendiri, dan “bukan diculik”, termasuk—yang menjadi pemicu mulai panasnya isu Gafatar di media—kasus dokter Rica Tri Handayani, yang pengadilannya dilangsungkan di PN Sleman, DIY. (Ada dua kasus, yang belum lama ini diputuskan, pada 29 September dan 17 Oktober 2016).
Dengan latar belakang Gafatar sebagai kelanjutan dari Millah Abraham yang diajarkan Mushaddeq, narasi keagamaan memang sulit dielakkan. Ini, pada gilirannya, berimbas pada vonis sebagian orang bahwa Gafatar adalah aliran menyimpang, sesat, mencampuradukkan agama, dan pelabelan lain yang senada. Namun Hadi menampik hal itu. “Ajaran Millah Abraham yang dianut Gafatar,” ujar Hadi menjelang mengakhiri presentasinya, “tidak mencampurkan agama.” Karena, lanjutnya, “mencampuradukkan agama itu ya salat, ya ke gereja, ya ke sinagog.” Gafatar, dalam keterangan Hadi, berupaya kembali ke “pokok anggur”, dari spirit utama Nabi Ibrahim, dengan mengambil inspirasi dari al-Quran dan Alkitab.
Mengakhiri presentasinya, Hadi menjelaskan bahwa setelah Gafatar bubar, ada sebagian dari eks-anggotanya yang ingin meneruskan program pertanian dan program Kampung Pancasila di daerah-daerah di Kalimantan yang sebelumnya merupakan kampung-kampung binaan Gafatar. Para eks-anggota Gafatar di Kalimantan, lanjut Hadi, dapat menghasilkan 10 ton dari 1 hektar sawah sekalipun mereka dianggap para petani amatiran. Dan meski sudah berusaha baik terhadap masyarakat sekitar, bahkan direstui oleh camat di kampung binaannya, Hadi memaparkan ironi bahwa para eks-anggota Gafatar malah dianggap gerakan makar, bahkan dituduh telah membeli dan menyimpan senjata.
Cukup terang dari paparan Hadi Suparyono bahwa ada banyak elemen esensial dari Gafatar sebagai suatu gerakan. Aspek keagamaan memang ada, namun kenyataan bahwa Gafatar juga merupakan gerakan sosial-ekonomi (pertanian) juga tak bisa dikesampingkan—tanpa mengabaikan persengketaan tentang ‘penculikan’ yang masih dalam proses pengadilan. Lalu, pertanyaan berikutnya, bagaimana aspek-aspek yang kompleks ini dinarasikan terutama, dalam tahap yang paling krusial, di media massa?
Media Membentuk ‘Fakta’
Tantowi Anwari, aktifis di Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (Sejuk), mengungkapkan beberapa problem yang terjadi dalam narasi media. Di antaranya ialah kenyataan bahwa beberapa media besar (baik cetak maupun online)—setelah isu Gafatar memanas—segera menarasikan peristiwa perpindahan ribuan orang ke Mempawah itu sebagai isu “cuci otak” dan “penculikan” dengan narasumber utama dari kepolisian.
Media tidak memberikan representasi yang proporsional dari perspektif korban, atau setidaknya mengupayakan adanya konfirmasi dari para eks-anggota Gafatar sendiri. Hal ini, dalam taraf tertentu, membuat para eks-anggota Gafatar merasa tidak terwakili dalam kadar yang seharusnya di media.
Di samping itu, Tantowi juga memaparkan bahwa ada beberapa media yang cenderung gagap ketika berhadapan dengan isu “SARA” yang dianggap sensitif, di antaranya karena kekhawatiran memancing protes kelompok yang mengklaim sebagai perwakilan mayoritas umat beragama. Yang terakhir ini, terang Tantowi, pernah terjadi dalam kasus Tolikara, Aceh Singkil, dan razia warung di bulan Ramadhan.
Lebih penting dari itu, Tantowi menyayangkan media yang banyak jurnalisnya cenderung berperspektif ‘netral’ saja, mewartakan konflik bernuansa keagamaan sekadar “memberitakan peristiwa”, atau bahkan kadang melakukan keberpihakan yang semakin memperkuat narasi yang cenderung sektarian. Misalnya, pemberitaan media yang memberikan penekanan pada fatwa MUI dengan diksi yang bernada seolah-olah fatwa MUI adalah otomatis suara mayoritas umat Islam atau bahkan suara pemerintah.
Bagi Tantowi, seharusnya media melampaui prinsip netral itu dan memiliki tanggungjawab sosial lebih besar. Ini karena media, terang Tantowi mengutip Malcom X, “mengendalikan pikiran massa.” Dengan kata lain, pemberitaan media tidak akan pernah murni netral, sebab betapapun media adalah penyaring peristiwa: jembatan yang sekaligus memfilter ‘fakta’, dan dengan demikian membangun narasi, bagi para pembaca.
Dengan perspektif akan kenyataan media yang semacam ini, mungkinkah memberikan narasi lain yang bisa mewakili kepentingan korban, atau sekurang-kurangnya meminimalisasi bias yang sektarian dan mendorong terjadinya rekonsiliasi damai?
Membingkai Ulang Realitas: Penyimpangan atau Persaingan Kepentingan?
Mohammad Iqbal Ahnaf, dosen CRCS UGM, memproblematisasi salah satu kecenderungan perspektif yang dominan dalam narasi-narasi populer. Di antaranya ialah perspektif yang berlandaskan paradigma “kekerasan terjadi akibat intoleransi”. Paradigma ini berasumsi bahwa orang-orang menyerang Gafatar karena mereka tidak suka dengan keyakinan Gafatar. Paradigma ini problematis karena dua alasan: narasi yang terbangun dari anggapan itu dan bagaimana menyikapinya.
Paradigma “kekerasan terjadi akibat intoleransi” pada umumnya akan memperkuat narasi bahwa kasus Gafatar ini adalah isu agama. Narasi ini cukup dominan, dan dipakai bukan hanya oleh pelaku namun juga oleh pemerintah, bahkan juga korban.
Dalam logika hukum, ketika isunya dibatasi sebagai isu agama, yang akan cenderung dipakai—dalam konteks Indonesia mutakhir—ialah undang-undang pencegahan penodaan agama (UU No. 1/PNPS/1965) dan pasal terkait dalam KUHP, yaitu Pasal 156A. Terbukti, kriminalisasi sebagian eks-pemimpin Gafatar saat ini menggunakan undang-undang tersebut. Dalam konteks satu dekade mutakhir di Indonesia, vonis “sesat” atau “menyimpang” bukan lagi sekadar istilah agama, melainkan juga telah menjadi terminologi hukum.
Sebetulnya bahasa hukum lain yang tersedia adalah kemerdekaan beragama dan berkepercayaan yang ada dalam UUD (sejak 1945 dan diperkuat setelah Amandemen kedua pada tahun 2000), UU HAM (1999), dan ratifikasi ICCPR (UU No. 12/2005). Ini bisa dipakai untuk mengidentifikasi pelanggaran hak sipil, diskriminasi, pelanggaran atas keamanan, dan sebagainya.
Nyatanya bahasa hukum yang dominan adalah yang menempatkan gerakan semacam Gafatar dalam posisi defensif dan didikte oleh yang mendominasi wacana. Dalam posisi semacam ini, eks-anggota Gafatar, yang mengadopsi bahasa tersebut dan menjadikan ini sebagai isu agama, bukannya meredakan malah mungkin justu dapat memperunyam masalah. Kontestasi antara bahasa kebebasan dan penodaan agama demikian kuat, dan, tampaknya, yang kedua lebih popular bukan hanya di kalangan umat beragam arus utama, tapi juga pemerintah, bahkan aparat penegak hukum.
Lalu apakah ada bahasa lain? Iqbal menawarkan untuk membaca kasus Gafatar ini sebagai konflik. Dalam teori konflik, bahasa yang dipakai ialah bahwa pihak-pihak yang bertikai memiliki kepentingan (interest) dan kebutuhan (needs). Berpijak pada paradigma ini, maka paradigma yang mendasari bukanlah “kekerasan terjadi akibat intoleransi”, melainkan “konflik terjadi karena adanya benturan kepentingan”. Berlandaskan pada paradigma ini maka mediasi pihak-pihak yang bertikai dan rekonsiliasi untuk menegosiasikan apa kepentingan dan kebutuhan masing-masing bisa lebih dimungkinkan.
Dalam paradigma yang terakhir ini pula, fenomenanya dibingkai bukan dengan menegosiasikan isu—sehingga persengkataan tentang isu agama bisa dihindari—melainkan berpindah kepada negosiasi realitas. Dalam negosiasi realitas ini, korban punya kesempatan untuk “menciptakan cerita,” antara lain dengan memperkuat narasi bahwa fakta yang terjadi adalah orang-orang membakar rumah, merusak properti, dan mengusir paksa, dan bukan orang-orang sedang menyebarkan ajaran sesat, apalagi makar, sehingga layak diusir.
Dengan membaca peristiwa ini sebagai konflik, maka logika yang beroperasi adalah bagaimana memikirkan resolusi konflik. Dalam soal terakhir ini, Iqbal sempat menyinggung Undang-Undang tentang Penanganan Konflik Sosial (UU No. 7/2012) yang, sayangnya, tidak digunakan secara maksimal. Salah satu penyebabnya adalah, menurutnya, belum ada institusi yang kokoh dan efektif untuk mengimplementasikannya dan minimnya ahli resolusi konflik sebagai tempat berkonsultasi. Penyebab lain tidak efektifnya resolusi konflik ini adalah, sekali lagi, dominannya narasi bahwa kasus Gafatar dan kasus lain yang serupa adalah isu agama.
Berangkat dari perspektif semacam inilah Iqbal mengajukan usulan agar ada transformasi, bukan hanya di kalangan pemerintah, tapi juga dari dalam eks-anggota Gafatar untuk membingkai ulang cerita (reframing the stories) dan mengalihkan fokus bukan dalam isu keagamaan (dan sebagai konsekuensinya: meminimalisasi menggunakan bahasa agama) melainkan kepada kepentingan yang bisa dipadukan dalam suatu titik temu (shared interests).
Masalah yang Tersisa
Apa kemudian yang bisa disimpulkan? Satu hal yang bisa menjelaskan mengapa Gafatar menjadi terasa mengancam adalah kegagalan atau kegagapan memahami fenomena sosial kemunculan kelompok-kelompok semacam itu yang sebetulnya tidak terlalu aneh dalam sejarah Indonesia.
Kegagapan itu diperkuat dan direproduksi melalui pemberitaan media yang, berbeda dengan di masa lalu, menjadikan peristiwa ini hadir demikian dekat dengan kehidupan sehari-hari. Apalagi ketika logika media menuntut untuk menampilkannya sebagai peristiwa yang demikian dramatis dan sensasional, sehingga fakta tentang cuci-otak dan penculikan seakan-akan menjadi penjelasan yang memuaskan, meskipun kebenarannya masih dipertanyakan.
Tentu soalnya bukan hanya lemahnya atau tidak tepatnya pengetahuan mengenai fenomena ini. Narasi dominan yang menyebutnya sebagai gerakan sesat dan makar hidup dalam kontestasi politik kegamaan Indonesia hari-hari ini, yang memperebutkan ruang luas demokrasi pasca-1998.
Heterodoksi atau sinkretisme Gafatar mewakili kekuatan yang dilawan oleh sekelompok orang yang melihatnya sebagai mengotori religiusitas ruang publik yang mesti dijaga kemurniannya. Jumlah pengikut Gafatar yang besar menjustifikasi kesan bahwa ini adalah gerakan yang bukan hanya mengancam akidah tapi juga stabilitas NKRI.
Dalam situasi ini, pihak-pihak yang memiliki kepentingan berbeda-beda, baik itu pemerintah, aparat penegak hukum, atau militer, saling memperkuat narasi yang berkembang dan menerjemahkannya menjadi sekian tindakan—mulai dari penjagaan keamanan nasional dari upaya makar, perlindungan umat beragama dari upaya penodaan, hingga perlindungan keluarga dari upaya sistematis penculikan anggotanya.
Upaya menyelesaikan masalah yang tersisa mesti dimulai dengan upaya memahami entitas Gafatar/Millah Abraham dengan lebih baik. Selain itu, melampaui beragam narasi yang berkembang, pemerintah masih berhutang menyelesaikan banyak persoalan penting yang tersisa.
Aset milik anggota eks-Gafatar di Kalimantan tidak bisa tidak harus dikembalikan ke pemiliknya yang sah. Stigmatisasi mereka, yang kini sebagiannya mengalami kesulitan bahkan untuk mendapatkan surat keterangan dari Kepolisian, mesti dihilangkan. Akibat dari stigmatisasi ini adalah kesulitan pemenuhan hak-hak mereka sebagai warga negara, termasuk akses pada pekerjaan, pendidikan dan layanan kesehatan.
Beberapa kasus pidana yang kini sedang berjalan—baik menyangkut kasus penculikan maupun tuduhan penodaan agama—mesti mempertimbangkan narasi yang lebih baik tentang peristiwa yang telah dialami anggota Gafatar. Terkait kasus penodaan agama yang menimpa tiga orang pemimpinnya, khususnya, politik yang mendasari tuduhan itu perlu dipahami. Apalagi UU yang terkait”penodaan agama” dianggap cukup problematis karena banyak alasan.
Pemerintah dapat menunjukkan kemauan politik yang kuat agar proses-proses hukum itu tidak justru memviktimisasi korban. Kemampuan pemerintah menyelesaikan serangkaian masalah yang tersisa ini akan menjadi catatan amat penting bagi upaya mengatasi masalah-masalah serupa di masa depan.