Shinta Mudrikah* | CRCS | Artikel
Pasca-Orde Baru, kebebasan berpendapat di Indonesia laiknya kuda liar lepas kandang, bergerak ke segala arah dan tak terkontrol. Tak jarang, kebebasan berpendapat ini menggiring segelintir orang untuk berani bersirobok dengan isu-isu sensitif seperti agama, keyakinan atau kepercayaan, etnis, gender dan sebagainya. Sayangnya, hal ini tidaklah berbanding lurus dengan kesiapan mental masyarakat Indonesia untuk hidup dalam keragaman, sehingga ekspresi kebebasan berpendapat ini tak jarang berakhir dengan konflik yang seolah tak berkesudahan. Belum lagi mengering luka sejarah yang ditorehkan konflik di Sampit, Ambon, kerusuhan Anti-Cina, dan kampaye anti-Ahmadiyah, kini nusantara kembali berguncang dengan terjadinya pembakaran rumah ibadah di wilayah timur, Tolikara, yang disusul aksi serupa di wilayah barat, Singkil. Daftar panjang konflik dan kerusuhan yang berlangsung sejak beberapa dekade lalu itu cukup menjadi bukti bahwa masyarakat Indonesia—dengan segenap kebhinekaannya—masih rentan terhadap provokasi terkait isu-isu sensitif tersebut.
Di dalam hal ini, media sosial ikut andil menjadi salah satu ladang semai kebencian nan provokatif, di mana aksi kebebasan berpendapat tanpa tanggung jawab subur menjamur. Agustus 2015 lalu, pemilik akun Facebook Arif Munandar mengunggah status yang membuat gerah para netizen. Pasalnya, ia memaki warga Indonesia keturunan tionghoa dalam status itu, serta mengaitkannya dengan ancaman krisis ekonomi. Kasus Arif merupakan salah satu dari sekian banyak persoalan kebebasan berpendapat di media sosial yang dapat memicu konflik horisontal. Banyaknya ujaran kebencian yang dilakukan oleh oknum tertentu di media sosial ini merupakan sebuah gambaran semakin kaburnya batas-batas demokrasi di Indonesia. Karenanya, sebagai penyelenggara negara dan pemegang otoritas hukum, badan eksekutif negara merasa perlu membuat seperangkat aturan pelarangan ujaran kebencian melalui media sosial dengan berlandaskan pada garis-garis hukum yang dirumuskan oleh para wakil rakyat. Langkah ini diambil sebagai respons atas semakin maraknya ujaran kebencian di media sosial yang dianggap mengancam keutuhan negara.
Surat edaran tentang ujaran kebencian—hate speech—yang kini menimbulkan pro dan kontra sejatinya telah dirancang sejak dua tahun lalu. Surat edaran Kapolri Jenderal Badrodin Haiti itu diterbitkan atas usul Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) yang telah melakukan penelitian di beberapa kota di Indonesia yang terkait konflik. Surat edaran ini ditujukan untuk internal kepolisian dan berisi tentang cara penanganan kasus ujaran kebencian di media sosial. Dengan keluarnya surat edaran yang diteken pada 8 Oktober 2015 oleh Kapolri ini, seluruh anggota kepolisian di berbagai wilayah Indonesia diharapkan bisa menangani konflik di media sosial dengan tuntas. Selain itu, hal ini juga akan membuka wawasan anggota kepolisian akan bahayanya ujaran kebencian.
Surat edaran bernomor SE/06/X/2015 yang berisikan prosedur penanganan kasus penyebaran ujaran kebencian di media publik ini sudah disebarkan ke seluruh Kepala Satuan Wilayah (Kasatwil) kepolisian di Indonesia. Beberapa pihak setuju dan mendukung langkah Kapolri ini, namun sebagian lainnya menilai surat edaran ini perlu dikaji ulang dari berbagai perspektif. Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Hafid Abbas, mengatakan bahwa dirinya mendukung surat edaran Kapolri tersebut apabila dapat menumbuhkan kebebasan berpendapat secara bertanggung jawab. Karena, kebebasan berpendapat di Indonesia memang tidak bersifat absolut seperti yang diatur dalam Undang-Undang Dasar tahun 1945 pasal 28J. Namun, ia juga berharap Polri harus bisa membedakan antara ujaran kebencian dengan penyampaian pendapat dan kritikan.
Beberapa kalangan mengkritik dimasukannya unsur pencemaran nama baik di dalam peraturan tersebut karena dianggap berpotensi menghambat kebebasan berpendapat. Roichatul Aswidar, salah seorang komisioner Komnas HAM, berpendapat bahwa jika pencemaran nama baik tetap dimasukan sebagai salah satu ujaran kebencian maka hal ini akan mengancam berbagai profesi, antara lain wartawan serta aktivis yang mengritik kebijakan pemerintah. Kepala Biro Penerangan Umum Mabes Polri, Kombes Agus Rianto, beralasan dimasukkannya pencemaran nama baik sebagai salah satu bentuk ujaran kebencian adalah karena hal itu menyangkut kepentingan orang lain. Namun, pada proses hukum nantinya, hal tersebut tetap akan ditinjau kembali. Ia berpendapat bahwa kebebasan itu bukanlah tanpa batas, namun tetap ada batasan yang mengatur kebebasan berpendapat terutama jika sampai merugikan orang lain. Hal ini sebagaimana termaklum di dalam UU No. 9 tahun 1998.
Di saat para aktivis terus mendesak Kapolri untuk merevisi edaran yang dianggap gagal membedakan ujaran kebencian dengan mengekspresikan pendapat, pakar hukum UI, Ganjar Laksmana, justru mendukung langkah Kapolri tersebut. Menurutnya, para aktivis terlalu fokus pada kemungkinan pelanggaran kebebasan berpendapat, bukan pada kemungkinan bagaimana aturan ini menguntungakan para aktivis. Berkaca pada kasus beberapa aktivis yang menghadapi tuntutan pencemaran nama baik karena laporan mereka di media, edaran Kapolri ini dibuat agar hukum pencemaran nama baik tidak mudah digunakan untuk membungkam kritik.
Pelarangan ujaran kebencian di media sosial sudah menjadi praktik umum di negara yang terkenal demokrasinya, seperti di Kanada dan Australia, untuk melindungi warganya dari provokasi terkait ras, etnis, atau isu sensitif lainnya. Uni Eropa juga menerbitkan manual untuk penanganan kasus ujaran kebencian: Manual of Hate Speech (Anne Weber, 2011). Selain di media sosial, ujaran kebencian ini juga dapat terjadi pada ceramah-ceramah keagamaan atau khutbah yang berisikan ujaran kebencian dengan menista kelompok lain. Apalagi, praktik ceramah di negara ini tak membutuhkan legalisasi seperti di negara-negara lain yang penduduknya sama-sama mayoritas muslim. Beberapa negara tersebut memang menerapkan izin memberikan ceramah dari lembaga resmi, tidak seperti di Indonesia yang memberikan kebebasan bagi siapa saja untuk melakukan ceramah. Semoga aturan mengenai ujaran kebencian yang telah digulirkan ini tidak kontra produktif dan menjadi salah satu solusi bagi terjaminnya kerukunan di dalam keragaman di Indonesia.
Editor: A.S. Sudjatna
*Penulis adalah mahasiswa Antropologi UGM yang menjalani kerja magang di data center CRCS UGM
Arsip: