Prolog
Permasalahan terkait Ahmadiyah kembali mengemuka setelah aksi kekerasan terhadap komunitas Ahmadiyah di Cikeusik, Banten, pada awal Februari 2011 lalu. Merespon persoalan ini, beberapa lembaga pemerintah (Departemen Agama, Departemen Dalam Negeri, dan Mahkamah Agung) menggelar serangkaian diskusi pada akhir Maret 2011, untuk merancang sebuah “keputusan permanen” bagi keberadaan Jemaah Ahmadiyah Indonesia. CRCS turut diundang untuk memberikan pertimbangan terhadap masalah ini. Berdasarkan penelitian yang telah dipublikasi CRCS berupa Laporan Kehidupan Beragama di Indonesia (2008, 2009,dan 2010), Dr. Zainal Abidin Bagir (Ketua Program Studi CRCS UGM) mengutarakan beberapa analisis masalah dan menyarankan beberapa rekomendasi. Meskipun pemerintah diharapkan mengumumkan keputusan terkait jemaat Ahmadiyah pada awal April lalu, nyatanya hingga saat ini belum juga dilakukan. Artikel ini adalah revisi dari presentasi yang disampaikan oleh Dr. Zainal Abidin Bagir dalam “Diskusi dan Konsultasi” mengenai masalah Ahmadiyah yang diselenggarakan di Departemen Agama, Jakarta pada 22 Maret 2011 yang lalu.
Kasus Ahmadiyah Tahun 2011
Menanggapi kasus Ahmadiyah yang tak kunjung menemukan titik temu antara pihak Ahmadiyah dan pihak yang keberatan dengan keberadaan Ahmadiyah, maka pada tanggal 22, 23, 28 dan 29 Maret lalu Kementerian Agama menggelar dialog dan dengar pendapat mengenai Ahmadiyah di Indonesia. Beberapa pihak yang dianggap kompeten seperti ormas-ormas Islam, pengambil kebijakan dan akademisi diundang dalam dialog ini termasuk di antaranya program Studi Agama dan Lintas Budaya atau CRCS UGM. Tulisan ini merupakan hasil telaah CRCS terhadap pro-kontra mengenai keberadaan Ahmadiyah di Indonesia.
Jika melihat kembali ke belakang, sebenarnya dialog dengan pihak Ahmadiyah maupun Ormas-Ormas dan pemuka agama sudah pernah dilakukan pada 2007—2008, mendahului dikeluarkannya SKB (Surat Keputusan Bersama) tentang Ahmadiyah pada Juni 2008. Mengapa dialog mengenai Ahmadiyah kini dilakukan kembali?
Sejak dikeluarkannya SKB tentang Ahmadiyah, perkembangan yang telah terjadi hingga 2011 adalah:
• Ada klaim beberapa pihak bahwa JAI (Jemaat Ahmadiyah Indonesia) telah melanggar SKB. Namun sejauh ini, dalam pantauan kami, klaim-klaim tersebut tak diperkuat dengan data yang kuat pula. Klaim tersebut lebih pada klaim-klaim kasuistis atau merupakan masalah perbedaan penafsiran tentang apa makna 12 butir kesepakatan yang dibuat pada Januari 2008 dan SKB yang dikeluarkan pada Juni 2008, dan apa yang dituntut dari keduanya. Data yang ada mengenai ini, yang berdasar pada kajian lapangan, adalah data hasil pemantauan tim Departemen Agama Januari—Maret 2008, yang akan disebut di bawah.
• Di tingkat daerah ada perubahan yang cukup signifikan di mana beberapa daerah pada tingkat provinsi atau kabupaten telah bergerak lebih jauh dengan mengeluarkan SK (Surat Keputusan) atau peraturan gubernur yang memperkuat SKB yang terkadang lebih jauh dari SKB, atau usulan memperkuat SKB, baik dari segi status hukumnya maupun isinya, hingga ke tingkat melarang keberadaan Ahmadiyah. Hal ini telah berlangsung sejak 2008.
• Pada tingkat nasional, ada perubahan terkait dengan hasil pengujian MK (Mahkamah Konstitusi) atas UU PPA (Undang-Undang Pencegahan Penodaan Agama), yang menjadi pondasi utama SKB 2008. Putusan MK tetap mempertahankan UU tersebut, namun pada saat yang sama mengakui beberapa kelemahannya, hingga menyarankan dilakukannya revisi (Lihat Laporan Tahun Kehidupan Beragama di Indonesia 2010, hlm. 52—58).
• Selama tiga tahun ini, yang jelas masih terus berlangsung adalah kekerasan terhadap Ahmadiyah dalam berbagai bentuknya (Lihat Lampiran 2 – Laporan Tahun Kehidupan Beragama di Indonesia 2008, 2009, dan 2010). Di beberapa tempat, karena kekerasan dan pengusiran tak ditangani dengan baik, nasib pengikut JAI justru memburuk, hingga seakan-akan mereka telah kehilangan kewarganegaraannya. Pada Februari 2011 , beberapa orang bahkan telah kehilangan nyawa. Fakta kekerasan inilah yang membuat dialog menjadi urgen.
Menonjolnya kasus kekerasan ini menunjukkan bahwa masalah utama sebenarnya terletak pada penegakan hukum. Sedangkan sejauh menyangkut status legal JAI, setelah 2008 hingga kini sebetulnya tidak ada perkembangan baru yang signifikan (di luar beberapa keputusan pemerintah daerah). Atas alasan itu, di bawah ini analisis kami akan beranjak dari apa yang terjadi pada 2008 itu, ketika JAI mendapatkan status legalnya yang baru dengan diterbitkannya SKB, untuk memahami kenapa saat ini, tiga tahun kemudian, kita seperti mengulang membicarakan hal yang sama. Paparan ini dimulai dengan mengajukan beberapa premis yang merumuskan “masalah Ahmadiyah”, lalu rekomendasi dalam beberapa aras, secara ringkas. Penjelasan lebih lanjut dan data untuk poin-poin itu disampaikan dalam Lampiran 1 dan 2.
Persepsi tentang tugas negara dan komunitas Ahmadiyah
Dalam pemaparan di bawah ini , kami hanya menggunakan sumber-sumber yang bisa disepakati semua pihak, baik yang pro maupun kontra yaitu:
1. Buku Sosialisasi tentang SKB Ahmadiyah (2008);
2. Laporan Pemantauan Pelaksanaan 12 Butir Penjelasan PB Jemaat Ahmadiyah Indonesia (Departemen Agama Badan Litbang dan Diklat Puslitbang Kehidupan Keagamaan Departmen Agama, 2008); dan
3. Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai UU No. 1/PNPS/1965 (Putusan Nomor 140/PUU-VII/2009) (April 2010)
Prinsip nonintervensi negara atas keyakinan keagamaan warga
Prinsip pertama yang disetujui pemerintah dengan tegas adalah: pemerintah tidak mengintervensi keyakinan agama warga-negaranya. Ini muncul secara eksplisit dalam Buku Sosialisasi SKB tentang Ahmadiyah (Balitbang Diklat Depag, Agustus 2008) yang menyatakan bahwa dengan SKB itu, “Pemerintah tidak sedang mengintervensi keyakinan masyarakat.” Tugas pemerintah dipersepsikan sebagai “memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat yang terganggu karena adanya pertentangan dalam masyarakat yang terjadi akibat penyebaran paham keagamaan menyimpang.” Posisi warga JAI sendiri dalam persepsi itu adalah: 1) penyebab lahirnya pertentangan tersebut; 2) korban tindakan kekerasan sebagian masyarakat.
Mengapa JAI menjadi sumber pertentangan? Ada banyak klaim mengenai JAI. Namun, berdasarkan laporan pemantauan tim peneliti Balitbang Depag pada Februari—Maret 2008, JAI secara sosial tidak eksklusif, tidak mengkafirkan Muslim non-Ahmadi. JAI juga secara umum tidak melakukan kekerasan, bahkan menjadi korban kekerasan. Karena itu, jika JAI dihakimi, maka yang menjadi masalah pada akhirnya bukanlah tindakan sosialnya, tapi keyakinan keagamaannya yang berbeda (bahkan dalam hal ini pun, keyakinan yang paling dasar seperti syahadat atau Qur’annya sama) (Lihat Lampiran 1). Dengan itu, pertanyaan besarnya adalah: jika ada persepsi JAI qua keyakinan keagamaannya, adalah sumber pertentangan, dapatkah prinsip “tidak mengintervensi keyakinan” dipertahankan? Meskipun bukan pemerintah yang mengatakan bahwa Ahmadiyah menyimpang, pada akhirnya JAI dihukumi karena ia dianggap menyimpang dalam hal keyakinan keagamaannya.
Jembatan hukum yang menghubungan prinsip non-intervensi negara atas ajaran agama dengan penghakiman atas ajaran agama adalah UU Pencegahan Penodaan Agama (UU PPA). Penghakiman atas ajaran agama dilakukan atas nama tugas negara melindungi agama. UU itu sempat diajukan ke Mahkamah Konstitusi pada tahun 2010, dan karenanya penting melihat kembali hasil pengujian itu.
Tugas negara untuk melindungi agama dan UU Pencegahan Penodaan Agama
Argumen pemerintah untuk membatasi JAI, dan argumen banyak orang atau kelompok keagamaan untuk menuntut perlakuan tegas pada JAI adalah dalam rangka “negara melindungi agama”. Dalam Putusan MK mengenai UU PPA, disampaikan juga secara eksplisit bahwa negara berkewajiban menjaga kebebasan beragama dan juga melindungi agama. Ada banyak hal yang penting diperjelas dalam konsep “perlindungan” ini. Ada isu representasi: siapa/kelompok mana yang dilindungi ketika negara melindungi “Islam”, “Kristen”, “Hindu”, dan sebagainya? (Lihat Lampiran 2: Laporan Tahunan 2010 tentang putusan MK). Yang lebih mendasar, “dilindungi” dari apa? Jawabannya jelas: untuk melindungi kemurnian agama agar tak dinodai. Tapi bagaimana menentukan bahwa Ahmadiyah melakukan penodaan?
Sesungguhnya persis di sinilah (yaitu, pada poin dalam UU PPA yang menjadi pendasaran akhir SKB 2008) MK menyebut bahwa UU PPA “tidak sempurna” dan perlu direvisi. MK menerima pandangan para ahli tentang perlunya revisi, meskipun itu bukan dalam kewenangan MK (Putusan MK tentang UU PPA, hlm. 304) Salah satu kritik utama atas UU PPA itu memang persis karena ia buta atau gagal membedakan penodaan dari penafsiran yang berbeda atau bahkan “menyimpang dari arus utama”. Penodaan, sebagai perbuatan sengaja yang dilakukan dengan tujuan untuk melukai, menghina adalah kejahatan—tak ada keraguan soal itu. Tapi sebagaimana disampaikan salah satu ahli yang diundang MK (Jalaluddin Rakhmat), dan pendapatnya jelas disetujui MK (hlm. 305), “penodaan” bukanlah perbedaan penafsiran tapi penghinaan yang sengaja dan menyakiti (hlm. 220); jika MK memberikan tafsir resmi atau merevisi, maka itu agar “kebebasan beragama tidak dibatasi, pluralisme dihormati, dan melindungi hak-hak kelompok lemah” (hlm. 219; cf. 263—264). Sekali lagi, penting dicatat bahwa MK menyetujui saran itu (hlm. 305).
Dengan kata lain, kalau kita mau ambil ekstrem nya, dengan analogi yang tidak sepenuhnya tepat, UU PPA buta terhadap perbedaan antara kartunis Denmark atau Geert Wilders dan seorang Muslim yang melakukan pembaharuan pemikiran, yang “menyimpang” dari arus utama pemikiran Muslim. Meskipun mungkin contoh ekstrem , analogi ini tidak sepenuhnya mengada-ada, karena nyatanya, setidaknya dalam wacana di media, bahasa “penodaan” telah digunakan olehsebagian kelompok pemikir Muslim yang dianggap mengajukan gagasan-gagasan kontroversial. Kita patut khawatir, karena batas antara perbedaan yang dianggap dapat diterima dan yang tidak (dan lalu dilabeli “penodaan”) tidak jelas.
Dimanakah kita menempatkan Ahmadiyah dalam spektrum antara “penodaan” dan “perbedaan”? Pertanyaannya: apakah pengikut JAI jelas-jelas menunjukkan sikap permusuhan pada umat Muslim lain? Apakah mereka jelas-jelas ingin menghina dan menyakiti Muslim? Sampai di sini, kita perlu melihat kembali Laporan Pemantauan Tim Depag pada 2008 (Lampiran 1). Jika dilihat dalam laporan itu, tampaknya semua butir yang bisa mengarah ke penghinaan atau menyakiti, semuanya dengan tegas tidak terjadi.
Jika, sekali lagi, kita tidak mau sekadar membuat klaim-klaim yang tanpa dasar bukti yang kuat, dan menggunakan data yang kita miliki—yang pasti tak lengkap, tak sempurna, tapi mungkin belum ada alternatifnya kini—maka sulit untuk tidak mengatakan bahwa persepsi masyarakat tentang JAI mungkin keliru; jika ada pengalaman buruk dengan pengikut JAI di tempat-tempat tertentu (yang amat mungkin terjadi), tentu itu tidak bisa menjadi dasar suatu kebijakan publik negara. Persepsi keliru itu bisa muncul dari cara pemberitaan media massa, bisa dari kekeliruan sebagian pemuka agama, bisa juga dipicu oleh pernyataan pejabat pemerintah yang keliru. Perlu disampaikan bahwa ini bukanlah pembelaan atas keyakinan keagamaan atau kehidupan sosial JAI, tapi usaha untuk berbicara dengan menggunakan data yang tak lengkap tapi mungkin yang terbaik yang kita punya saat ini.
Konsekuensi lain dari penilaian MK atas UU PPA yang menjadi dasar utama SKB adalah: jika UU PPA itu telah diakui memiliki kelemahan, persis pada hal-hal yang menjadi pendasaran SKB, otomatis SKB itu pun menjadi lebih lemah. Harus diakui bahwa status hukum SKB, terlepas dari kontroversi yang telah muncul sejak dikeluarkan pada 2008, tetap sama. Yang ingin ditekankan di sini adalah bahwa pengakuan adanya kelemahan dalam UU PPA sewajarnya mengisyaratkan kelemahan dalam SKB, sehingga setiap upaya memperkuat SKB tidak memiliki dasar hukum yang baik.
Persepsi Ahmadiyah sebagai sumber pertentangan
Upaya penyelesaian masalah terkait JAI, yang berujung pada SKB tahun 2008 itu, dimulai dengan serangkaian dialog yang diinisiasi pemerintah sejak akhir 2007 hingga awal 2008. Pada Januari 2008 dihasilkan 12 butir kesepakatan dengan JAI, lalu diadakan pemantauan selama hampir 3 bulan berikutnya, dan hasil pemantauan menjadi landasan untuk mengeluarkan keputusan yang akhirnya keluar pada Juni 2008 itu dalam bentuk SKB. Hasil pemantauan sebetulnya tidak hitam-putih .
Seperti tampak dalam Lampiran 1, yang merupakan olahan kami dari Laporan Pemantauan Pelaksanaan 12 Butir Penjelasan PB Jemaat Ahmadiyah Indonesia (Departemen Agama Badan Litbang dan Diklat Puslitbang Kehidupan Keagamaan Departmen Agama, 2008), hasil pemantauan sendiri sebetulnya tidak tegas benar menunjukkan bahwa JAI mengingkari kesepakatan yang sudah dibuatnya sendiri. Dalam sebagian besar butir, ada kesesuaian antara kesepakatan dengan kenyataan; hanya sedikit yang jelas-jelas menunjukkan pertentangan, dan sisanya adalah jawaban-jawaban yang tidak terlalu tegas. Ini bisa dipahami, khususnya menyangkut butir-butir teologis. Namun akhirnya, terlepas dari bagaimana hasil pemantauan itu dibaca, ruang antara hitam dan putih yang menyangkut perbedaan semantik dan tafsir teologis itu dipotong oleh kalimat tegas rekomendasi Bakor Pakem (April 2008) bahwa, setelah memberi kesempatan dan melakukan pemantauan selama 3 bulan, ternyata JAI “tidak melaksanakan 12 butir tersebut secara konsisten dan bertanggungjawab”. Melihat hasil pemantauan, keputusan Bakor Pakem itu sebetulnya tak cukup berdasar, terlalu keras.
Upaya melakukan dialog kiranya merupakan hal terbaik yang bisa dilakukan pemerintah ketika itu, demikian pula penemuan 12 butir kesepakatan itu dan upaya pemantauannya. Dapat dikatakan bahwa ini adalah upaya pemerintah untuk menengahi perdebatan teologis tanpa masuk ke wilayah teologis. Meskipun demikian, ada beberapa masalah di sini. Pertama, bagaimana memposisikan 12 butir kesepakatan itu? Ada anggapan bahwa 12 butir itu adalah ekspresi kesepakatan JAI untuk mengubah dirinya dalam waktu 3 bulan. Inilah yang disampaikan beberapa pejabat, dan juga diisyaratkan dalam surat Bakor Pakem yang dikutip di atas. Tapi benarkah ada ekspektasi bahwa dalam waktu 3 bulan akan ada perombakan teologis dalam suatu organisasi keagamaan?
12 butir kesepakatan itu kiranya lebih tepat dipersepsi sebagai pengakuan JAI bahwa memang benar seperti itulah keyakinan dan kehidupan sosial mereka. Pemantauan adalah cara untuk mengetahui apakah pengakuan itu sesuai kenyataan atau tidak. Di sini pemerintah mengambil peran sebagai fasilitator kesepakatan dan memonitor keadaan di lapangan—tanpa masuk ke wilayah perdebatan teologis. Isunya di sini adalah kesepakatan itu; bukan keyakinan atau ajaran Ahmadiyah atau kelompok Muslim lain. Ini adalah cara terbaik yang bisa dilakukan pemerintah.
Di luar kesesuaian hasil penelitian lapangan dan kesepakatan, ada masalah lain yang lebih mendasar di sini, yaitu mengenai kualitas dialog . Beberapa kalangan JAI sampai saat ini merasa bahwa 12 butir kesepakatan itu seperti dipaksakan ke pada mereka. Ini bisa dipahami, mengingat situasi pada awal tahun 2008 yang demikian panas. Ketika dialog sedang dirintis, di luar ruang dialog kelompok JAI seperti dipersekusi oleh kelompok-kelompok Muslim lain, di antaranya ada yang hingga di depan publik mengancamakan bunuh setiap anggota JAI di mana pun berada—dan ancaman itu, yang sebetulnya sudah termasuk tindakan kriminal, tidak diproses secara hukum.
Sementara dialog adalah cara terbaik dalam situasi seperti ini, dialog hanya akan efektif jika ada saling percaya di antara mitra-mitra dialog yang sejajar. Di masa ketika ada krisis kepercayaan kepada pemerintah, karena kasus-kasus kekerasan yang ada tak ditangani dengan baik, sulit memang mengharapkan terjadi dialog yang bebas.
Di sisi lain, menurut sumber dari pemerintah yang terlibat dalam proses dialog pada 2007—2008 itu, pihak pemerintah juga sempat mengeluhkan sulitnya melakukan dialog dengan JAI, karena dalam internal organisasi mereka keputusan-keputusan yang diambil mesti dikonsultasikan dengan pihak organisasi Ahmadiyah yang lebih tinggi di luar Indonesia.
Akhirnya harus dikatakan bahwa dialog memang jalan terbaik namun jelas bukan yang paling mudah dan menuntut waktu, energi dan kesungguhan yang lebih besar dari semua pihak yang terlibat. Jika kini diadakan dialog lagi, pelajaran dari dialog sebelumnya amat penting diperhatikan.
Persepsi Ahmadiyah sebagai korban
Mengenai hal kedua yang disebutkan dalam Sosialisasi SKB ini, yaitu Ahmadiyah sebagai korban, tak banyak yang bisa dikatakan kecuali bahwa ini adalah tugas negara yang belum dilakukan dengan baik, sebelum maupun sesudah SKB. Beberapa data yang disampaikan dalam Lampiran 2 telah cukup menunjukkan ini. Di antara dua contoh terpenting dan terbaru:
1. Peristiwa Juli 2010 di Desa Manis Lor. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Djoko Suyanto menyatakan kecamannya terhadap aksi anarkis penyerangan massa, namun sampai akhir tahun 2010 kami belum menemukan adanya persidangan di pengadilan atas orang-orang yang bertanggung jawab melakukan aksi kekerasan itu.
2. Yang paling menonjol, meskipun kita tidak mendengar banyak di media massa adalah nasib pengungsi di Mataram yang kini nyaris telah diingkari keberadaan mereka sebagai warga negara, karena kehilangan hak sosial-politik dan ekonominya yang terpenting. Salah satu muaranya adalah kesulitan memperoleh atau memperbaharui KTP (Lampiran 2, Laporan Tahunan CRCS 2010, hlm. 44—46).
Rekomendasi
Telah banyak usulan yang muncul sejak Februari 2010 tentang bagaimana menyelesaikan masalah ini. Ada opsi-opsi yang disampaikan Menteri Agama, ada juga banyak pandangan dari pejabat pemerintah lain maupun pengamat. Yang ingin disampaikan di sini adalah beberapa usulan, yang mungkin tidak kongkret, namun berusaha menunjukkan batas-batas (constraints) bagi ruang solusi itu.
Sebagian dari permasalahan yang kita hadapi adalah permasalahan hukum, baik penciptaan suatu kebijakan maupun penegakannya. Tapi hukum tak mencakup semua wilayah individu dan kemasyarakatan; tak semua masalah dapat diselesaikan oleh hukum. Ada pula wilayah etos masyarakat, dan wilayah pendidikan. Ada pula sikap politik yang sering kali justru lebih menentukan dibanding hukum, baik secara positif ataupun negatif. Suatu “solusi permanen dan komprehensif” selayaknya mempertimbangkan semua wilayah itu.
“Solusi permanen dan komprehensif” berarti juga sikap yang jelas bukan hanya untuk JAI saja, tapi juga kelompok-kelompok lain, dari komunitas agama apapun. Yaitu, apa yang mesti dilakukan ketika ada keberatan suatu kelompok dalam suatu komunitas agama terhadap kelompok lain dalam komunitas itu, yang dianggap keliru, salah menafsirkan—pendeknya berbeda dari apa yang diklaim sebagai arus utama.
Kasus Ahmadiyah ini menjadi penting bukan karena JAI patut diistimewakan, tapi karena alasan di atas: kasus ini adalah batu ujian untuk isu pelik yang lebih besar. Kekeliruan, perbedaan akan terus terjadi. Pertanyaannya, bagaimana menyikapinya? Apakah dengan mengkriminalisasikannya, atau ada sikap lain? Jika pemerintah lemah di sini, bisa diprediksi akan segera muncul kasus-kasus lain, yang akan terus merepotkan pemerintah. Sejauh menyangkut komunitas Muslim, kita bisa belajar dari kasus Pakistan atau Malaysia, misalnya. Setelah Ahmadiyah mungkin saja akan ada kelompok seperti LDII, kelompok Syi’ah, lalu mungkin kelompok-kelompok tasawuf atau tarekat yang semuanya bisa dianggap “menyimpang”, dan memang dalam beberapa hal berbeda dari “arus utama” (meskipun “arus utama” bukanlah sesuatu yang statis, dan mungkin berubah-ubah sesuai kasusnya).
Modusnya pun bisa ditebak, seperti yang terjadi pada kasus JAI: sebuah kelompok dituduh sesat, lalu diserang atas nama pencegahan penodaan. Muncullah ketidaktertiban sosial, dan kelompok yang menjadi korban kemudian berubah status dari “berbeda”, “keliru”, atau “sesat” menjadi “sumber pertentangan dalam masyarakat”, dan karenanya perlu ditertibkan. Adakah yang dapat menjamin bahwa kelompok-kelompok di atas dapat terhindar dari nasib ini?
Berikut rekomendasi dalam beberapa sektor:
1. Legal: Wilayah legal adalah wilayah yang cukup sulit. Di atas telah disampaikan bahwa meskipun tidak ada perubahan dalam tiga tahun terakhir ini menyangkut status legal Ahmadiyah, ada pengakuan kelemahan UU PPA, yang menjadi dasar SKB, sehingga akan menjadi problematis jika ada peningkatan status legal SKB. Dari sisi hukum, idealnya adalah pencabutan SKB. Kalaupun karena pertimbangan politik atau pertimbangan lain itu tidak bisa dilakukan, maka satu hal yang jelas tak dapat dilakukan adalah memperkuat SKB itu, misalnya mengubah pembatasan menjadi larangan, atau mengubah SKB menjadi Keputusan Presiden, atau bahkan UU (sebagaimana tuntutan sebagian masyarakat). Ini berlaku untuk pemerintah pusat maupun daerah. Jika SKB itu dianggap tak efektif, di atas telah ditunjukkan bahwa sesungguhnya butir yang sudah jelas diabaikan masyarakat adalah larangan untuk main hakim sendiri. Opsi yang jelas tak bisa diambil adalah pelarangan keyakinan Ahmadiyah (atau kelompok apapun), dengan prinsip utama yang disebut dalam awal paparan ini, bahwa negara tidak mengintervensi keyakinan warganya. Yang bisa dilakukan adalah pembubaran ormas. Namun paparan ini sama sekali tak merekomendasikan diambilnya langkah ini, baik itu terkait JAI, sebagai ormas terdaftar, maupun ormas-ormas seperti FPI (Front Pembela Islam), Muhammadiyah, NU (Nahdlatul Ulama), dan sebagainya, karena langkah untuk itu, sekalipun melalui pengadilan, akan menggunakan UU yang dibuat dalam masa otoritarian pra-Reformasi. Sekali suatu ormas dibubarkan, tuntutan-tuntutan seperti itu akan terus muncul, dan kita mungkin akan kembali ke masa sebelum Reformasi. Pembubaran tak disarankan karena ini juga merupakan pengalihan dari isu sebenarnya: kekerasan yang tak ditangani dengan baik.
2. Politik: Lebih jauh, setiap upaya memperkuat SKB ini atau memerinci apa yang tidak boleh dilakukan oleh Ahmadiyah, adalah seperti mengirim sinyal politik dari pemerintah yang melegitimasi perlakuan (lebih) keras terhadap Ahmadiyah. Jelas pemerintah tak melegitimasi anarkisme, tapi sinyal politis itulah yang mungkin dapat membuka ruang untuk tindakan anarkis. Pernyataan-pernyataan pejabat pemerintah, yang jelas menjadi pejabat untuk mewakili seluruh warga negara Indonesia, dan bukan mewakili kelompok tertentu, perlu juga ditekankan di sini. Misalnya, dalam Laporan Tahunan 2010 (Lampiran 2) kami mencatat beberapa pernyataan Menteri Agama mengenai Ahmadiyah yang tidak cukup hati-hati dan mungkin bahkan memperkeruh suasana, atau justru blaming the victims . Sebuah pernyataan Menteri Hukum dan HAM belum lama ini, justru tampaknya gagal membedakan dimensi isu Ahmadiyah sebagai isu teologis dalam komunitas internal Muslim dari dimensi kewarganegaraannya. Di atas juga telah disebut kecaman keras Presiden atas tindakan anarkis di Manis Lor pada Juli 2010, namun tak ada tindakan legal lebih jauh—dan hingga kini masalah itu, dalam pantauan kami, tetap tidak selesai. Jika janji presiden untuk penegakan hukum pun tak dipenuhi, semua ini adalah isyarat politik yang sungguh tak menguntungkan untuk suatu solusi permanen, dan justru kontra-produktif. Sinyal politik yang positif mesti dimulai dengan penegakan hukum yang serius, dukungan kepada polisi, dalam koridor hukum yang benar. Sinyal politik lain adalah bahwa sementara masalah yang menimbulkan pertentangan penting diselesaikan, kekerasan satu kelompok warganegara atas kelompok lainnya tak pernah ditoleransi.
3. Penegakan hukum: Sisi masalah Ahmadiyah sebagai korban, seperti ditunjukkan beberapa contoh di atas dan di Lampiran 2, belum ditangani dengan baik. Penanganan kekerasan sebetulnya adalah bagian termudah dari seluruh isu ini, karena di sini tak ada wilayah abu-abu—kekerasan harus ditindak sebagai kasus kriminalitas. Langkah apapun yang akan ditempuh pemerintah, baik itu dialog, atau langkah hukum, semuanya akan berkurang efektifitasnya jika kasus-kasus baru maupun lama tidak juga terselesaikan dengan baik. Ini adalah bagian lain dari political will yang mesti ditunjukkan. Polisi penting diberdayakan untuk mampu dan tidak ragu-ragu mengatasi masalah yang dianggap sensitif ini.
4. Pendidikan publik: Cepat atau lambat, mesti diakui bahwa kasus-kasus kekeliruan atau perbedaan dari arus utama akan terus muncul, apalagi dalam ruang komunikasi yang terbuka makin luas dan transparan saat ini. Sementara setiap komunitas keagamaan memiliki hak (atau bahkan, dalam sudut pandang internal komunitas itu sendiri, kewajiban) untuk meluruskan atau memurnikan yang keliru, pendidikan mengenai bagaimana menyikapi perbedaan penting untuk selalu dikembangkan. Kalaupun keyakinan Ahmadiyah adalah kekeliruan, apakah perbedaan atau kekeliruan adalah suatu kejahatan yang perlu dihukum? Ini menjadi tugas kelompok-kelompok masyarakat maupun pemerintah. Sebagaimana halnya semua tugas pendidikan, ia dilakukan secara persuasif, bukan dengan paksaan—secara terang-terangan atau simbolik.
5. Dialog dan penjagaan ruang publik: Kalau saja kita bisa membayangkan suatu situasi di mana ada “kelompok sesat”, tapi tidak ada kekerasan, maka masalahnya mungkin tidak akan menjadi demikian pelik seperti yang kita rasakan saat ini. Dalam situasi di mana pemerintah dapat menjaga keamanan dan kebebasan ruang publik—sebagai tempat pertemuan segala macam perbedaan, keragaman—maka di ruang itu segala perbedaan dapat muncul,termasuk kekeliruan yang tentu boleh dikoreksi. Termasuk yang berhak muncul tentu adalah pandangan suatu kelompok Muslim, seperti MUI (Majelis Ulama Indonesia), NU, Muhammadiyah yang menyampaikan kekeliruan JAI dan memfatwakan kesesatan mereka, juga mendakwahi mereka. Yang juga berhak muncul adalah pembelaan diri JAI. Dalam suasana ruang publik yang aman, dialog yang beradab bisa terjadi. Pemerintah berkewajiban menjaga ruang itu. Kelompok-kelompok masyarakat wajib mengisinya secara berkualitas dan beradab. Dialog masih merupakan jalan terbaik untuk isu yang pelik seperti ini, di mana ada pertentangan persepsi yang demikian tajam bahkan mengenai prinsip-prinsip utama seperti intervensi negara atas urusan agama, pembatasan kebebasan yang dapat dan tidak dapat diterima, maupun pemahaman mengenai “penodaan” yang tak bisa dirumuskan dengan tajam untuk setiap kasus. Namun dialog adalah juga jalan yang cukup sulit, dan menghendaki kesungguhan yang lebih besar dari semua pihak. Dialog masih dapat terus dilakukan, namun penting memperhatikan pelajaran dari upaya dialog pada tahun 2007—2008 sebagaimana telah dibahas di atas. Tak berlebihan untuk mengatakan bahwa, agar efektif, kerangka dialog seharusnya bahkan sudah menjadi bagian dari dialog itu sendiri.
Jika di atas diandaikan adanya situasi di mana ada perbedaan tapi tak ada kekerasan, maka itu bukanlah angan-angan. Secara prinsipil, tidak ada alasan untuk mengatakan bahwa dalam negara yang kini sudah lebih demokratis dan lebih bebas, realitas tanpa kekerasan tak bisa dicapai. Kita bisa melihat bahwa penolakan dan kekerasan terhadap Ahmadiyah tidak terjadi di semua tempat ataupun setiap saat. Kiranya kita perlu belajar mengapa penolakan itu terkonsentrasi di beberapa tempat, sedangkan di tempat-tempat lain pengikut Ahmadiyah dapat hidup berdampingan dengan Muslim lain, meskipun ada perbedaan yang diakui mengenai kesalahan mereka **. Mengapa pula pada waktu-waktu tertentu, beberapa tahun terakhir ini, kekerasan meningkat dengan pesat. Pengetahuan mengenai hal ini akan membantu kita memahami faktor-faktor apa yang dapat menyumbang pada kedamaian di tempat-tempat dan waktu-waktu lain.
Sebagai penutup, mungkin tidak perlu lagi ditekankan bagaimana pentingnya menjaga ruang kehidupan kita dari kekerasan. Level kekerasan yang tampaknya kian meningkat belakangan ini dikhawatirkan akan ikut juga menaikkan level toleransi kita terhadap kekerasan apa yang bisa diterima. Dengan kata lain, kita menjadi semakin tak peka terhadap kekerasan. Jika sedikit demi sedikit ini terjadi, kita mungkin akan terkejut jika tiba-tiba kita mendapati ada dalam situasi seperti yang dialami beberapa negara saat ini, di mana kekerasan telah menjadi bagian sehari-hari yang ak terlalu mengejutkan lagi, kecuali kekerasan dalam skala yang sudah amat besar.
Lampiran:
1. Tabulasi Laporan Pemantauan Pelaksanaan 12 Butir Penjelasan PB JAI
2. Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia tahun 2008, 2009, 2010 (CRCS UGM)
___________________________________________________________________________
** Tanpa penelitian khusus, telah ada beberapa data yang bisa diperoleh mengenai ini:
• Beberapa kabupaten lain di Sulawesi Selatan
• Ciledug
• Garut
• dan sebagainya.