• Tentang UGM
  • Portal Akademik
  • Pusat TI
  • Perpustakaan
  • Penelitian
Universitas Gadjah Mada
  • About Us
    • About CRCS
    • Vision & Mission
    • People
      • Faculty Members and Lecturers
      • Staff Members
      • Students
      • Alumni
    • Facilities
    • Library
  • Master’s Program
    • Overview
    • Curriculum
    • Courses
    • Schedule
    • Admission
    • Scholarship
    • Accreditation and Certification
    • Academic Collaborations
      • Crossculture Religious Studies Summer School
      • Florida International University
    • Student Satisfaction Survey
    • Academic Documents
  • Article
    • Perspective
    • Book Review
    • Event Report
    • Class Journal
    • Interview
    • Wed Forum Report
    • Thesis Review
    • News
  • Publication
    • Reports
    • Books
    • Newsletter
    • Monthly Update
    • Infographic
  • Research
    • CRCS Researchs
    • Resource Center
  • Community Engagement
    • Film
      • Indonesian Pluralities
      • Our Land is the Sea
    • Wednesday Forum
    • ICIR
    • Amerta Movement
  • Beranda
  • Joget Amerta
  • Beberapa Butir tentang Terapi Tari/Gerak dan Tari: Suatu Topik Obrolan Tahun 2010 dengan Suprapto Suryodarmo

Beberapa Butir tentang Terapi Tari/Gerak dan Tari: Suatu Topik Obrolan Tahun 2010 dengan Suprapto Suryodarmo

  • Joget Amerta
  • 11 March 2025, 13.34
  • Oleh: crcs ugm
  • 0

oleh Diane Butler

Kata Pengantar untuk Pembaca

Melihat panggilan dari CRCS UGM untuk berkontribusi artikel dan video bertema “Amerta Movement” dari berbagai perspektif, saya berpikir bahwa akan bermanfaat untuk berbagi suatu korespondensi tahun 2010 dengan Suprapto Suryodarmo (1945–2019)—lebih akrab disapa Pak Prapto atau Prapto—dalam bahasa Indonesia yang dipacu oleh pertanyaannya kepada saya: “Apa perbedaan antara terapi tari dan tari?”

Bagi praktisi tari/gerak pada pertengahan tahun 2020-an mungkin tidak mengherankan jika istilah-istilah tertentu diangkat dalam sebuah diskusi atau artikel seperti tari, terapi tari, meditasi, dan juga praktik somatik (meskipun istilah somatik di ranah seni Indonesia baru muncul pada tahun 2000-an). Sebenarnya, esai singkat ini berangkat dari ide bahwa salah satu proses Prapto sejak awal 1970-an adalah untuk berdiskusi tentang konsep-konsep gerak, mengupas ide-ide, dan kemudian mencoba “under stand” melalui pengalaman latihan gerak. Ia juga sering ingin tahu tentang pendekatan praktisi berbasis-gerak lain dalam arti dialogis. Bukan untuk memegang identitas atau kategori karya; melainkan untuk “re-cognizing” (mengenali lagi) bahwa pemahaman dan kesadaran seseorang terhadap seni gerak dan kehidupan akan selalu berubah sesuai dengan lingkungan dan perjalanan waktu.

Jadi, pertama, izinkan saya memberikan suatu gambaran fase itu dalam perkembangan praktik Joged Amerta saat Prapto mengajukan pertanyaannya mengenai terapi tari dan tari. Kemudian, saya akan membagi respons saya terhadapnya (asli dalam bahasa Indonesia). Setelah itu, esai saya mengajak pembaca untuk mendalami lebih jauh eksplorasi Prapto pada sumber seni gerak dengan menyediakan tautan ke situs web Amerta Movers untuk mengakses  esai versi bahasa Inggrisnya  tahun 2009 berjudul  “Meditation in Dance: ‘Dance Meditation?’”. Artikel tersebut menyertakan bagan latihan yang Prapto rancang: The Idea of Joged Amerta.

Menjelang akhir 2009, Prapto diundang untuk menjadi pembicara pada seminar nasional yang diselenggarakan oleh Jurusan Tari, Fakultas Seni Pertunjukan, Institut Seni Indonesia (ISI), Surakarta. Prapto dikenal karena kiprahnya dalam mengembangkan seni pertunjukan ritual, terutama berkaitan dengan seni gerak melalui praktik Joged Amerta dan pendirian Padepokan Lemah Putih. Dalam seminar  yang bertema “Seni Tari dalam Kehidupan Manusia” (19/12/2009)  itu, Prapto membawakan topik  “Meditasi dalam Tari: ‘Tari Meditasi?’”.

Dalam menggubah deskripsi lokakarya, korespondensi, dan ceramah umum; Prapto tidak menggunakan komputer. Ia lebih suka merenungkan secara lisan topik yang ia angkat dan meminta seseorang untuk mengetik topik tersebut termasuk revisinya. Prapto biasanya mengajak seorang mahasiswa program studi seni di suatu sekolah tinggi atau seniman atau pendidik seni sebagai juru ketiknya. Baginya, praktik mendengar, mengetik, dan membaca kembali secara lisan pada dasarnya merupakan semacam cara bimbingan bagi juru ketik untuk terlibat dalam menggali pola pikir dan ide serta mendengar dan menyuarakan kepekaan pada apa yang dikomunikasikan.

Demikianlah yang terjadi pada 12 Desember 2009 ketika Purnawan Andra (mahasiswa Jurusan Tari ISI Surakarta) ditugaskan oleh ketua program studi untuk mewawancarai Pak Prapto mengenai konsep keseniannya dan menuangkan hasil wawancara itu dalam  bentuk makalah. Rupanya,  kehendak Prapto sendirilah yang memilih Purnawan sebagai pencatat untuk makalah yang akan ia sajikan pada seminar nasional tersebut.

Dalam makalahnya, Prapto menjelaskan dan membedakan berbagai aspek konsep dan latihan gerak dalam Joged Amerta. Saat itu juga merupakan fase ketika ia sedang menyempurnakan istilah-istilah yang digunakan pada brosur lokakarya tahunan untuk program “Art in Amerta Movement” di Indonesia dan luar negeri. Jadi, rasanya wajar bahwa tak lama kemudian, pada awal Januari 2010, Prapto mengirimkan sebuah pesan singkat kepada saya melalui telepon genggamnya. Ia  menanyakan, “Apa perbedaan antara terapi tari dan tari?” Maka, pada 28 Januari 2010, saya kirim suatu surat elektronik ke padanya dengan catatan sederhana dalam bahasa Indonesia sebagai berikut.

Beberapa Butir tentang Terapi Tari/Gerak dan Tari (2010)

Selamat sore Pak Prapto. Tulisan ini berisi beberapa butir tentang terapi tari/gerak dan tari. Bukan tulisan “formal”, melainkan hanya beberapa ide sederhana . Pada bagian awal, saya mengutip suatu artikel* dari e-motion, publikasi dari Association for Dance Movement Therapy UK, dan dari situs web American Dance Therapy Association. Bagian terakhir merupakan pengertian saya dari pengalaman sebagai guru tari-gerak dan interarts yang berdialog dengan murid dan kawan-kawan seniman.

Nomenklatur dance therapy, yang juga disebut dance/movement therapy, adalah “penggunaan gerak secara psikoterapeutik untuk memelihara pengintegrasian emosional, sosial, kognitif, dan fisik pada individu”. Terapis tari/gerak memusatkan perhatian pada kelakuan gerak sebagaimana muncul dalam relasi terapeutik. Kelakuan ekspresif, komunikatif dan adaptif digunakan untuk perawatan.

Di budaya Eropa dan Anglo, seawal tahun 1609 ada tulisan di Inggris oleh seorang aktor John Lowin Roscio mengenai penggunaan tari untuk “tujuan kudus dan sehat”. Lalu, tahun 1837, W.A.F. Browne, seorang ahli bedah dan pengawas medis Crichton Royal Institution di Skotlandia, menulis tentang suatu ball (pesta dansa) yang digelar tahun 1835 untuk pasien wanita di suatu rumah sakit jiwa Perancis, “yang menimbulkan efek positif pada kondisi mentalnya, khususnya bagi yang menderita ‘melankolia.’”

Bahkan, Roscio meninjau acuan tentang tari dalam Bible dan pada tahun 1609 ia menulis pamflet dengan suatu bagian bertajuk “What sort of Dancing is more convenient for the health” (Jenis Tarian mana yang lebih cocok untuk kesehatan). Dengan huruf besar sesuai tulisan asli, Roscio menyampaikan:

Di antara tarian acuh tak acuh, tarian seperti yang kita pikirkan, yang pasti jumlahnya sedikit, yang seperti dilakukan untuk melatih tubuh yang agar kesehatan jasmani dapat dipelihara lebih baik karenanya dalam hal keragaman watak, yang ditemukan pada seluruh zaman pada umat manusia, tidak akan menjadi salah, untuk meletakkan satu kata dalam tujuan ini, untuk menyatakan jenis Tarian mana yang lebih cocok untuk ini dan untuk itu.

Tarian Itu yang secara kuat mengaduk tubuh, harus dipilih di antarnya, yang memiliki beberapa hambatan dalam cara-cara Air Kencing, atau hambatan lain yang serupa. Dan sebaliknya harus digunakan oleh orang-orang tersebut, yang menganggap Otak mereka sendiri lemah, atau kelemahan serupa di bagian lain. Tetapi untuk yang lain Tarian itu lebih cocok, yang melatih tubuh dengan ukuran agitasi yang sesuai. Oleh karena itu mengizinkan semua orang, yang biasanya melatih-diri dalam Tarian-Tarian, dengan cermat mengamati dan memandang konstitusi tubuh mereka: untuk niat, bahwa mereka sebaiknya tidak menggunakan segala jenis Tarian, yang dengan rasa jijik mungkin menyakitkan kulit wajah mereka: Mengingat secara tekun dalam diri mereka, dan begitu lebih dalam hal ini, untuk mengakui Tuhan sebagai Penulis semua hal yang baik: menjadi Rasul S. Paulus dalam Bab 4, Epistle pertama kepada Timotheus, yang mengutuk latihan fisik, ketika itu tidak dilaksanakan dengan rasa ketuhanan.

Juga di Eropa pada tahun 1910-an di bidang pendidikan anak-anak muncul metode Dalcroze yang dirumuskan oleh pemusik Émile Jaques-Dalcroze asal Swiss dan metode Eurythmy oleh filsuf dan arsitek Rudolph Steiner asal Austria. Keduanya menggunakan kesenian untuk memelihara pengintegrasian jiwa-raga anak-anak serta para remaja.

Pada tahun 1940-an secara jelas muncul bidang terapi gerak di Inggris dan di Amerika Serikat. Pada tahun 1942, Marian Chace, penari dalam grup Denishawn yang didirikan oleh Ruth St. Denis dan Ted Shawn yang mendirikan Jacob’s Pillow Dance Festival, mulai menggunakan tari dengan grup-grup di sebuah rumah sakit jiwa. Pada periode tersebut grup Denishawn juga dipengaruhi oleh koreografi Martha Graham, Mary Wigman dan Harold Kreutzberg. Marian tetap bekerja sebagai penari dan guru tari sambil belajar psikoterapi dan psikodrama, kemudian menggarap “Dance for Communication”. Pada tahun 1947, Marian menjadi orang pertama yang diakui sebagai terapis tari oleh institusi medis. Dua dekade kemudian muncul American Dance Therapy Association pada tahun 1966.

Dalam budaya Euro-Amerika juga ada upaya untuk membedakan antara terapi tari/gerak dan tari terapeutik. Tari terapeutik dapat dipraktikkan oleh guru tari yang tidak dilatih sebagai terapis tetapi bekerja dalam berbagai konteks seperti sekolah, studio, penjara, hunian lansia, dan sebagainya. Ada pendekatan gerak dan tari yang juga bisa disebut sebagai “bersekutu”, semisal Body-Mind Centering yang dirumuskan oleh Bonnie Bainbridge Cohen, Life Art Process yang dirumuskan oleh Anna Halprin, Authentic Movement yang dirumuskan oleh Janet Adler, 5Rhythms yang dirumuskan oleh Gabrielle Roth, dan lain-lain.

Dalam bidang seni rupa, musik dan teater, pada tahun 1930-an muncul pendekatan seni ritual yang berhubungan dengan penyembuhan. Seni perdukunan (shamanic) juga, khususnya dalam bidang teater dan seni rupa, dipadukan dengan gerak dan tari. Asosiasi Terapi Seni Amerika didirikan pada tahun 1969. Pendekatan lain adalah seni kontemplatif yang tidak hanya berdasarkan latihan vipassana Budhis, tetapi juga liturgis, yaitu tari kudus Kristen, atau Circle Dance yang banyak berasal dari budaya petani, gerak alam, dan sebagainya.

Yang menarik, beberapa tokoh terkemuka Euro-Amerika di bidang tari dan praktik somatik tidak belajar secara langsung dari orang budaya Timur di wilayah Asia atau Asia Tenggara. Mereka menghadapi penyakit atau tantangan dalam tubuhnya dan mencoba sembuh-diri melalui gerak dan tari. Kemudian, selanjutnya, mencoba mengembangkan cara agar orang lain juga bisa sembuh-diri melalui kebijaksanaan tubuh dan tari-geraknya.

Semoga catatan sederhana ini berguna. ~Diane

 

Ketika membaca kembali korespondensi di atas, saya teringat bahwa Prapto sering memprakarsai sesrawungan antarpraktisi berbasis gerak dari berbagai budaya yang menerangi keragaman pendekatan serta kedekatan. Ia menikmati pertukaran dengan beberapa inovator somatik Euro-Amerika yang punya latar belakang dalam tari seperti Anna, Gabriellem dan Bonnie. Barangkali Prapto mengajukan pertanyaan itu dalam bahasa Indonesia untuk merangsang respons saya dalam bahasa Indonesia tentang cara-cara dalam pelatihan tari-gerak kontemporer Barat dan aplikasi terapeutiknya (termasuk menyebut anteseden dari abad ke-17). Ketika ia meminta saya meneruskan catatan ini ke beberapa rekan seniman Indonesia, barangkali itu untuk merangsang mereka mengartikulasikan tradisi-tradisi Asia Tenggara dan juga teknik terkini. Dengan semangat dialog ini, Prapto juga menulis tentang praktik-praktik geraknya dari pandangan “seni dalam Joged Amerta”.

The Idea of Joged Amerta bagan oleh Suprapto Suryodarmo (2009)

Topik obrolan di atas hanyalah satu dari banyak tema tentang seni gerak yang Prapto diskusikan bertahun-tahun bersama orang-orang dari berbagai bidang dan negara. Akhir April 2010, ia ingin membuat versi bahasa Inggris makalah “Meditasi dalam Tari: ‘Tari Meditasi?’” dan meminta bantuan Supriyati Pantarei, seorang pembuat film animasi 3D dan seniman performance asal Jawa. Lalu, Prapto meminta saya menerjemahkan dan hasilnya bertajuk “Meditation in Dance: “Dance Meditation?”. Halaman terakhir berisi bagan bertajuk The Idea of Joged Amerta. Bagan buatan  Prapto ini kemudian  disempurnakan dalam bentuk grafis oleh Kurnia Arianto dan R.S. Lawu,  keduanya merupakan staf Padepokan Lemah Putih. Prapto bilang jika seseorang ingin belajar pendekatan seni gerak yang ia kembangkan sejak tahun 1970-an, mereka dapat melihat bagan The Idea of Joged Amerta sebagai peta untuk latihan.

* Ringkasan dan teks yang dikutip diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Diane Butler.

 

Referensi

American Dance Therapy Association (ADTA). (n.d.). “What is Dance/Movement Therapy”

https://www.adta.org/index.php?option=com_content&view=article&id=70:what-is-dancemovement-therapy&catid=20:site-content

Indonesian Visual Art Archive. (2013). IVAA Interview: Suprapto Suryodarmo filmed at his home in Solo, Central Java. Video by Dwi and Jaya. Koleksi IVAA. https://www.youtube.com/watch?v=EXLzYJo9LSY

Butler, Diane and McHugh, Jamie. (2001). Body Melting/Nature Melting: an exchange between Anna Halprin & Suprapto Suryodarmo. In Contact Quarterly: Journal of Dance & Improvisation, Vol. 26, No. 1, winter/spring.

Butler, Diane; King, Evangel; and Maltrud, Kristine. (2003). Art Human Nature: An International Gathering of Movement Artists. With contributing writers: Helen Poynor, Annie Brook, and Jamie McHugh; video stills: Pooh Kaye. In Contact Quarterly: Journal of Dance & Improvisation, Vol. 28, No. 2 summer/fall.

Digiseni LPPM-UNS. (2005). One Lesson from the Garden with Suprapto Suryodarmo video by Digiseni LPPM-UNS, Surakarta. [Indonesian with English subtitles archived on Michael Sapp youtube channel] https://www.youtube.com/watch?v=SpImCoXGU0M

Meekums, Bonnie and Casson, John. (2007). “The Earliest Document of Dance Movement Therapy in Britain?”

In e-motion Vol. XIV, No. 22, Winter, pp.6–7. Association for Dance Movement Therapy (ADMT) U.K. See in particular section by Roscio. Available online at: https://admp.org.uk/wp-content/uploads/2007Winter.pdf

Morgan, Kate Tarlow and Butler, Diane (transcribers). (2012). An Improvised Conversation with Bonnie Bainbridge-Cohen and Suprapto Suryodarmo. In Currents: a journal of the Body-Mind Centering® Association, winter.

Padepokan Lemah Putih. (2010). Art in Amerta Movement 2010–2011 Program in Indonesia.

Suryodarmo, Suprapto. (2009). “Meditasi dalam Tari: ‘Tari Meditasi?’”. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Seni Tari dalam Kehidupan Manusia. Departemen Pendidikan Nasional, Jurusan Tari, Fakultas Seni Pertunjukan, Institut Seni Indonesia (ISI) Surakata. 19 Desember. [“Meditation in Dance: ‘Dance Meditation?’”], translation by Diane Butler. English version and The Idea of Joged Amerta diagram available on the Amerta Movers website at: https://amertamovers.wordpress.com/wp-content/uploads/2021/11/meditation-in-dance_dance-meditation_by-suprapto-suryodarmo-2009.pdf

Klik tautan ini untuk artikel versi bahasa Inggris

______________________

Diane Butler , Ph.D., adalah seniman tari-gerak, pendidik, dan direktur program budaya asal Amerika Serikat yang telah berkolaborasi dengan seniman tradisional dan kontemporer dari beragam budaya dan agama di Amerika Utara dan Selatan, Eropa, dan Asia selama empat dekade dan sejak tahun 2001 ia menetap di Desa Bedulu dan Desa Tejakula, Bali, Indonesia. Pada tahun 2001 bersama Suprapto Suryodarmo, ia mendirikan Dharma Nature Time, suatu yayasan internasional untuk mendukung antarbudaya dalam lingkungan budaya melalui “sharing” dalam kesenian, ketuhanan, dan alam. Sejak tahun 1997, Diane membina lokakarya Awakening InterArts dan menjadi pengajar tamu di berbagai negara.

[wpdm_package id=’20102′]

Tags: diane butler joget amerta

Leave A Comment Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Instagram

A M P A T Baru kemarin, pemerintah YTTA melakukan A M P A T
Baru kemarin, pemerintah YTTA melakukan aksi simsalabim dengan mencabut empat konsesi tambang di salah satu gugusan Red Line. Aksi "heroik" itu terlihat janggal ketika perusahaan yang paling bermasalah dalam perusakan lingkungan, bahkan yang menjadi pusat viral, justru dilindungi. Tentu bukan karena cocokologi dengan nama Raja Ampat sehingga hanya empat perusahaan yang dicabut konsesinya. Bukan cocokologi juga ketika Raja Ampat akan menjadi lokus tesis yang akan diuji esok di CRCS UGM. Berkebalikan dengan aksi badut jahat di Raja Ampat, @patricia_kabes akan bercerita bagaimana komunitas masyarakat di Aduwei mengelola laut dengan lestari melalui sasi. Berangkat dari negeri timur, peraih beasiswa LPDP ini justru menjadi yang pertama di angkatannya untuk menambahkan dua huruf pada akhir namanya.
For people who learn religious studies, it is comm For people who learn religious studies, it is common to say that "religion", as a concept and category, is Western modern invention. It is European origin, exported globally through colonialism and Christian mission. Despite its noble intention to decolonize modern social categories, it suffers from historical inaccuracy. Precolonial Islamic Malay and Javanese texts in the 16th and 17th century reflect a strong sense of reified religion, one whose meaning closely resembles the modern concept.

Come and join @wednesdayforum discussion at UGM Graduate School building, 3rd floor. We provide snacks and drinks, don't forget to bring your tumbler. This event is free and open to public.
I N S P I R A S I Secara satir, penyandang disabil I N S P I R A S I
Secara satir, penyandang disabilitas baru mendapatkan sorotan ketika dia mampu berprestasi, mampu mengatasi segala rintangan dan kekurangan. Singkat kata, penyandang disabilitas kemudian menjadi sumber inspirasi bagi nondisabilitas. Budi Irawanto menyebutnya sebagai "inspirational porn". Simak ulasan lengkapnya di situs web crcs ugm.
Human are the creature who live between the mounta Human are the creature who live between the mountain and the sea. Yet, human are not the only one who live between the mountain and the sea. Human are the one who lives by absorbing what above and beneath the mountain and the sea. Yet, human are the same creature who disrupt and destroy the mountain, the sea, and everything between. Not all human, but always human. By exploring what/who/why/and how the life between the mountain and the sea is changing, we learn to collaborate and work together, human and non-human, for future generation—no matter what you belief, your cultural background.

Come and join @wednesdayforum with Arahmaiani at UGM Graduate School building, 3rd floor. We provide snacks and drinks, don't forget to bring your tumbler. This event is free and open to public.
Follow on Instagram

Twitter

Tweets by crcsugm

Universitas Gadjah Mada

Gedung Sekolah Pascasarjana UGM, 3rd Floor
Jl. Teknika Utara, Pogung, Yogyakarta, 55284
Email address: crcs@ugm.ac.id

 

© CRCS - Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY

[EN] We use cookies to help our viewer get the best experience on our website. -- [ID] Kami menggunakan cookie untuk membantu pengunjung kami mendapatkan pengalaman terbaik di situs web kami.I Agree / Saya Setuju