
Joget Amerta (Amerta Movement) merupakan salah satu dari begitu banyak banyak ekspresi filosofi dan budaya Asia. Amerta Movement dikembangkan pada 1970-an oleh Suprapto Suryodarmo (Prapto), seorang seniman Jawa. Prapto mengeksplorasi Joget Amerta yang berakar dari latihan gerak bebas, Buddhisme Theravada Jawa, dan latihan meditasi Sumarah Jawa. Sumarah adalah praktik meditasi tradisional Jawa untuk “melepaskan” atau berserah diri.
Amerta adalah kata dalam bahasa Jawa yang berarti “nektar” atau “obat mujarab” kehidupan. Prapto menjelaskan bahwa latihan Joget Amerta didasarkan pada gerakan-gerakan dasar dalam kehidupan sehari-hari: berjalan, duduk, berdiri, merangkak, dan berbaring, transisi di antara gerakan-gerakan tersebut, dan pengamatan terhadap anak-anak yang sedang bermain.
Aspek utama yang melekat pada gerak Amerta adalah bergerak di alam sebagai perwujudan studi tentang kehadiran manusia dan nonmanusia. Dalam Joget Amerta, kita dapat mengembangkan hubungan antara pengalaman lahir dan batin. Kita juga memperoleh pemahaman tentang lingkungan budaya, sosial, dan ekologi. Joget Amerta menempatkan “diri yang bergerak” sebagai keragaman diri yang berubah dalam lingkungan yang terus berubah. Dalam ungkapan Herakleitos, sang filsuf Yunani kuno, manusia menyatu dengan “pantha rei kai ouden menei”. Semua bergerak dan tiada yang tetap diam.
Praktisi gerakan Amerta mempelajari gerakan dari permainan unsur-unsur yang bergerak. Umpama, deburan ombak, hutan, cakrawala, puncak bukit tandus, serta ekspresi kehidupan hewan. Selain itu, Joget Amerta menghidupkan arsitektur dan seni pahat, lukisan, dan kaligrafi.
Pusat Joget Amerta, Padepokan Lemah Putih, didirikan di Jawa pada 1986. Pada 1990, latihan dan pengajaran gerakan Amerta mulai berkembang di luar Jawa melalui inisiatif Gerakan Berbagi. Kiwari, Joget Amerta telah menyebar ke seluruh Eropa, Australasia, Cina, Rusia, dan Amerika tempat Gerakan Amerta dipraktikkan dan dibagikan oleh seniman tari dan gerak, musisi, psikoterapis, dan pendidik di berbagai disiplin ilmu termasuk seni, musik, terapi drama, dan film.
Berkaca pada Ragawidya Mangunwijaya
Ragawidya (Y.B. Mangunwijaya, 1975) adalah tajuk buku yang membedah religiositas hal-hal sehari-hari karya Mangunwijaya. Romo Mangun bertolak dari falsafah adiluhung bangsa Indonesia dalam memaknai kebertubuhan. Menariknya, sama seperti Joget Amerta, Romo Mangun dalam Ragawidya membahas gerakan dan kegiatan sehari-hari sebagai wujud transendensi diri.
Ia menyitir wejangan Sang Waicorono dalam buku Kuncorokarno. “Yang disebut hidup sejati tak lain adalah leburnya tubuh jasmani dengan batinnya. Ibarat bejana dan isinya. Demi hidup yang baik tentulah dibutuhkan bejana dan isi” (Seno Sastroamijo, 1967, h.27). Kesempurnaan hidup bukanlah mengenyahkan kejasmanian. Wejangan ini menandaskan kebijaksanaan khas leluhur bangsa kita dalam menghindari pandangan ekstrem materialistis atau spiritualistis belaka.
Romo Mangun berkeyakinan, manusia bukanlah separuh jasmani dan separuh rohani. “Manusia bukan jiwa dan raga, rohani dan jasmani, melainkan ia adalah penuh jiwa/raga/rohanijasmani (ditulis dalam satu kata) yang sepenuhnya manusiawi” (Mangunwijaya, 1975, h.12-13). Menyitir J.B. Metz, agar jiwa manusiawi menjadi sempurna, ia harus semakin menjadi badan. Sebaliknya, agar menjadi badan manusiawi yang sempurna, ia harus semakin menjadi jiwa (Metz, 1963, h.34).
Tubuh Manusia sebagai Bahasa
Mangunwijaya menegaskan, tubuh manusia adalah ekspresi sang manusia seutuhnya. Tubuh adalah sabda (ungkapan) sekaligus sasmita (lambang) yang menunjukkan realitas tak kasat mata. Tubuh manusia adalah bahasa pewarta batin.
Sedari lahir, bayi sudah mampu berbahasa melalui gerak-gerik tubuhnya. Ia tertawa, memandang dengan binar netra, dan menyambut pelukan ibunya. Beranjak dewasa, setiap insan mengungkapkan isi hati dan imannya dengan tangan menengadah, duduk bersila, dan sujud penuh bakti pada Sang Ilahi. “Bahasa pertama yang ia terima ialah bahasa peragaan cinta kasih yang ternaung oleh tekad saling setia. Bahasa pertama dari manusia yang datang ke dunia adalah memohon hidup, memohon kesayangan, serta pernyataan seluruh tubuh bayi yang mempercayakan diri,” tulis Romo Mangun (1986, h.16).
Kita tahu, dalam filsafat Barat, ada ekstrem paham filsafat yang memandang tubuh sebagai penjara bagi jiwa. Menurut Christian Irigaray, salah satu frasa yang paling terkenal di Yunani kuno mengenai ajaran Pythagoras dan Plato adalah “soma-sema” atau “penjara-tubuh”. Ungkapan ini menegaskan bahwa “tubuh adalah penjara jiwa”. Berbeda dengan pandangan ekstrem tubuh sebagai penjara jiwa, Mangunwijaya meyakini bahwa keseimbangan hidup tercapai dalam ekuilibrium antara patiraga dan ngujaraga. Hidup sejati bukanlah pencarian tanpa henti tentang kepuasan jasmani (ngujaraga). Akan tetapi, bukan pula mematikan kodrat dan daya tubuh dengan patiraga berlebihan.
Jalan tengah yang ditawarkan Mangunwijaya ialah widiraga dan widyaraga. Widiraga berarti tuntunan dari atas. Seturut widiraga, tubuh kita perlu kita bina dalam relasi dengan Tuhan. Sementara widyaraga berarti tubuh perlu kita bina dengan semangat kearifan. Kearifan mengolah keragaan kita tampak dalam kesadaran kita tentang tujuan, derajad, dan panggilan tubuh sebagai realita utuh dan diberkati rahmat ilahi. Mangunwijaya berpendapat, berdasarkan konsep widiraga dan widyaraga itulah kita menggapai ragawidya. Ragawidya adalah pencarian kearifan tentang raga manusiawi kita. Raga kita memiliki nilai ilahi yang mengejawantahkan widi (Sang Ilahi). Sembah bakti kita pada Yang Ilahi kita lakukan melalui peragaan sehari-hari.
Titik Temu Joget Amerta dan Ragawidya
Joget Amerta dan Ragawidya bertemu sebagai manifestasi kekayaan khazanah falsafah Nusantara yang membahas keragaan atau kebertubuhan dalam kaitannya dengan Sang Ilahi. Suprapto dengan Joget Amerta mempraktikkan persepsi terhadap dunia melalui gerakan dan bukan dari keadaan diam. Ia menandaskan, “dari Buddha yang berjalan, dan bukan dari Buddha yang duduk” (Triarchypress.net, Joget Amerta).
Sebagaimana Ragawidya Mangunwijaya yang mengulik praktik gerakan sehari-hari, Joget Amerta didasarkan pada gerakan dasar kehidupan sehari-hari: berjalan, duduk, berdiri, merangkak, dan berbaring. Joged Amerta juga didasarkan pada pergerakan di berbagai konteks: lingkungan alam, kuil, pasar, museum, dan galeri.
Akhirulkalam, Joget Amerta dan Ragawidya membuat pelakunya sungguh menghayati falsafah Jawa “urip iku urup”: hidup yang bernyala. Setiap insan pegiat Joget Amerta dan Ragawidya lebih terlibat dan memahami diri sendiri, lingkungan alam, dan orang lain. Gerak-gerik badani dihayati sebagai laku pencarian jati diri dalam detak dan detik sehari-hari.
Daftar Pustaka
Mangunwijaya, Y.B. (1986). Ragawidya: Religiositas Hal-Hal Sehari-Hari. Yogyakarta: Kanisius.
Metz, J.B. (1963). Handbuch theologischer Grundbegriffe, II, Muenchen: Heinrich Fries.
Rudolf, Otto. (2022). The Idea of the Holy: Text of the First English Edition. Translated by John W. Harvey. Chicago: Braunfell Books.
Sastroamijoyo, Seno. (1967). Cerita Dewa Ruci dengan Arti Filsafatnya, Jakarta: Kinta.
______________________
Bobby Steven Octavianus Timmerman ialah Dosen Fakultas Teologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta