Tindakan main hakim sendiri (vigilantisme) atas nama agama marak terjadi di Yogyakarta dalam tahun-tahun terakhir. Terhadap fenomena ini, penjelasan yang umumnya muncul ke permukaan berkisar pada meningkatnya pemahaman keagamaan yang konservatif dan intoleran.
Buku Krisis Keistimewaan: Kekerasan terhadap Minoritas di Yogyakarta (CRCS, 2017) berupaya melampaui penjelasan itu—penjelasan itu tetap relevan hingga tingkat tertentu, tapi belum memadai. Tesis utama buku ini: maraknya vigilantisme di Yogyakarta tidak bisa dilepaskan dari dinamika di tingkat lokal berupa perubahan lanskap sosial-politik Yogyakarta, fenomena yang dalam buku ini disebut dengan “krisis keistimewaan”.
Beberapa poin menjadi titik berangkat tesis itu. Pertama, angka vigilantisme di Yogyakarta melonjak dalam tiga tahun terakhir. Buku ini memaparkan data bahwa dari 66 kasus vigilantisme yang tercatat dalam kurun 2011-2016, 13 kasus terjadi pada 3 tahun pertama dan 53 kasus pada 3 tahun kedua. Ini menimbulkan pertanyaan: ada apa di tahun-tahun terakhir itu?
Kedua, dari kasus-kasus yang tercatat, razia tempat “maksiat” tidak menonjol. Sasaran dari vigilantisme di Yogyakarta adalah [urut dari yang terbanyak]: (1) kegiataan keagamaan umat Kristen; (2) acara yang dianggap mempromosikan komunisme; (3) kelompok yang dianggap “sesat” [Syiah, Ahmadiyah, LGBT, Sapto Darmo, dll]; (4) kekerasan antarormas; (5) acara aktivis hak asasi manusia dan kebebasan pers; dan (6) razia tempat maksiat. Kawasan Jalan Pasar Kembang yang terkenal menjadi lokasi prostitusi hampir tak tersentuh sementara ormas-ormas vigilante itu acapkali memaksakan pembubaran acara yang diadakan lembaga universitas.
Ketiga, mengamini tesis umum dalam ilmu sosial, vigilantisme terjadi akibat absennya negara, yang bisa terjadi karena negara lemah atau—ini tak jarang terjadi—aktor -aktor negara justru bermain kepentingan dengan kelompok vigilante itu sendiri. Berdasar pada premis ini, akar masalah vigilantisme juga harus dilihat dari konteks perubahan lanskap sosial-politik dan pergeseran kekuasaan di lingkaran elite. Perubahan lanskap politik setelah reformasi dengan adanya desentralisasi menjadi konteks besarnya, dan khusus dalam hal ini, Yogya tidaklah unik. Setelah reformasi, milisi sipil yang di masa Orde Baru mendapat bekingan yang terpusat pada rezim Soeharto mencari sandaran baru di tingkat lokal, yang tak jarang terbentuk dalam aliansi kelompok keagamaan dengan elite politik daerah.
Buku Krisis Keistimewaan menyebutkan tiga problem yang turut menyusun masalah yang disebut “krisis keistimewaan” itu. Pertama, persoalan suksesi. Pada 2015, Sri Sultan Hamengku Bawono X (waktu itu masih “Buwono”) mengeluarkan sabdatama yang, oleh para penolaknya, ditafsirkan sebagai keinginan untuk menjadikan putrinya sebagai pengganti, dan ini melawan paugeran atau tradisi turun temurun keraton. Di samping itu, pada 2016, UU No. 13/2012 tentang Keistimewaan DIY dibawa ke Mahkamah Konstitusi karena salah satu pasalnya, yang menyatakan calon gubernur DIY harus menyerahkan daftar riwayat hidup yang memuat nama “istri”, dinilai diskriminatif karena berimplikasi hanya laki-laki saja yang bisa jadi gubernur DIY. Pendek kalimat, terjadi konflik di lingkaran elite keraton ihwal suksesi.
Kedua, masalah agraria. Di Yogyakarta, selain ada tanah milik negara juga ada tanah milik keraton. Seturut dengan UU Keistimewaan DIY 2012, Gubernur DIY dan wakilnya melakukan “inventarisasi dan identifikasi” tanah keraton itu. Ini berakibat pada beberapa konflik perebutan klaim atas tanah; sebagian menyasar rakyat kecil yang sudah mendiami tanah yang kemudian “diidentifikasi” sebagai tanah keraton itu, dan sebagian juga menyasar warga Tionghoa yang, karena dianggap “non-pribumi”, hanya bisa menikmati “hak guna” dan bukan “hak milik”. Sejumlah perlawanan oleh pedagang kaki lima dengan dukungan dari masyarakat sipil pernah dilayangkan ke keraton menyangkut klaim atas tanah ini.
Ketiga, masifnya pembangunan hotel dan mal yang telah melampaui jumlah permintaan dan acapkali menyalahi aturan tata ruang dan lingkungan. Belakangan suara-suara kritis terhadap fenomena ini menguat. “Jogja Asat” (Yogya kering) dan “Jogja ora didol” (Yogya tidak dijual) menjadi slogan perlawanan yang populer.
Akumulasi dari persoalan itu ialah mulai menurunnya wibawa keraton. Di kalangan elit keraton, terjadi friksi. Di kalangan rakyat, muncul protes-protes kritis. Pada titik inilah kelompok-kelompok vigilante menemukan signifikansi, yakni dengan menjadi tempat menjalin aliansi untuk mengukuhkan basis legitimasi. Inilah lanskap sosial-politik yang menjadi lahan subur tumbuhnya milisi sipil vigilante.
Buku Krisis Keistimewaan mengurai bagaimana milisi sipil itu kemudian mampu memapankan legitimasinya. Di satu sisi, milisi sipil itu berperan menjadi broker dalam redistribusi sumber daya. Di sisi lain, milisi sipil memanfaatkan isu sektarian dan aliran “sesat” untuk menjadi alat mobilisasi gerakan dan membangun legitimasi sosial.
Buku ini memaparkan tiga hal lagi yang menyokong proses “institusionalisasi” milisi sipil vigilante itu. Pertama, politik pembagian ruang yang akarnya sudah ada sejak Orde Baru, yakni adanya polarisasi golongan “hijau” (yang berasosiasi dengan PPP) dan golongan “merah” (yang berasosiasi dengan PDIP). Masing-masing punya teritori “kekuasaan” sendiri dan memiliki semacam kesepatan untuk tak saling mengganggu. Di antara dampak dari pembagian ruang ini ialah munculnya pembiaran dari masyarakat ketika terjadi tindakan vigilantisme karena khawatir konflik akan menjadi bentrokan yang lebih besar.
Kedua, oligarki kuasa dan modal yang membanguan relasi timbal balik saling menguntungkan dengan milisi sipil itu, yang terwujud dalam adanya konsesi dalam penyelenggaraan layanan publik dan aktivitas ekonomi.
Ketiga, kontestasi identitas, yang terutama dirangkai dalam narasi melawan Kristenisasi dan aliran sesat. Hal ini kental dalam wacana yang dikampanyekan milisi sipil itu. Buku Krisis Keistimewaan berargumen bahwa isu-isu sektarian dan Kristenisasi menjadi repertoire kelompok vigilante untuk melakukan mobilisasi dan mengukuhkan basis legitimasi di masyarakat.
Selain rekomendasi kebijakan di bagian penutup, buku ini sebenarnya akan lebih baik bila diberi refleksi akademis dengan menempatkan temuannya dalam kajian vigilantisme secara umum atau setidaknya vigilantisme di Indonesia. Meski beda lanskap politik, pola pemapanan kelompok vigilante di Yogyakarta dengan aktor utamanya Forum Umat Islam (FUI) dan Front Jihad Islam (FJI) mirip dengan kasus Front Pembela Islam (FPI) di Jakarta. Yakni, meminjam istilah Ian Wilson, dalam melakukan “pemerasan atas dasar moralitas” (morality racketeering) ke bawah dan menjalin “patronase politik” (political patronage) ke atas.
Yang membedakan antara FUI-FJI di Yogyakarta dan FPI di Jakarta ialah yang di Yogyakarta tidak memiliki agenda memperjuangkan perda syariah sementara FPI memiliki misi “NKRI Bersyariah”. Yang lebih penting dari itu, utamanya dalam wacana tahun-tahun mutakhir, FUI tidak mengadopsi narasi “populisme Islam” sebagaimana FPI. Populisme Islam di sini maksudnya narasi politik yang membingkai rivalitas politik secara biner dan antagonis antara umat Islam yang dizalimi di satu sisi dan elite politik yang korup dan zalim di sisi lain. FUI memang memiliki retorika populis terhadap pemerintah pusat, tapi perlawanan terhadap kesultanan Yogyakarta nyaris tak ditemukan.
Dengan menempatkan buku ini dalam kajian vigilantisme secara khusus, argumennya bisa diperkaya dengan pertanyaan, misalnya, bagaimana mengidentifikasi vigilantisme yang menjadikan isu-isu politik atau agama sebagai instrumen belaka dan yang benar-benar “tulus”. Argumen buku ini bahwa tindakan vigilantisme terhadap kelompok minoritas di Yogyakarta “sekadar” sebagai alat mobilisasi dan untuk memperkuat legitimasi sosial berimplikasi bahwa milisi sipil itu hanya menjadikan kelompok-kelompok target mereka sebagai sasaran antara saja.
Poin terakhir itu menyisakan satu pertanyaan krusial yang belum terjawab dengan tuntas di buku: Kalau kelompok vigilante itu menjadi mitra dari satu golongan dalam lingkaran oligarki dalam menghadapi kelompok masyarakat sipil yang mewacanakan “krisis keistimewaan” (problem suksesi, agraria, dan tata kota), mengapa kelompok vigilante itu tak menyasar langsung masyarakat sipil yang kritis ini? Jawaban dari pertanyaan ini mestilah berupa penjelasan yang bisa menunjukkan hubungan (kausal) antara problem di lingkaran elite dan alasan kelompok vigilante dalam memilih sasaran.