• Tentang UGM
  • Portal Akademik
  • Pusat TI
  • Perpustakaan
  • Penelitian
Universitas Gadjah Mada
  • About Us
    • About CRCS
    • Vision & Mission
    • People
      • Faculty Members and Lecturers
      • Staff Members
      • Students
      • Alumni
    • Facilities
    • Library
  • Master’s Program
    • Overview
    • Curriculum
    • Courses
    • Schedule
    • Admission
    • Scholarship
    • Accreditation and Certification
    • Academic Collaborations
      • Crossculture Religious Studies Summer School
      • Florida International University
    • Academic Documents
    • Student Satisfaction Survey
  • Article
    • Perspective
    • Book Review
    • Event Report
    • Class Journal
    • Interview
    • Wed Forum Report
    • Thesis Review
    • News
  • Publication
    • Reports
    • Books
    • Newsletter
    • Monthly Update
    • Infographic
  • Research
    • CRCS Researchs
    • Resource Center
  • Community Engagement
    • Film
      • Indonesian Pluralities
      • Our Land is the Sea
    • Wednesday Forum
    • ICIR
    • Amerta Movement
  • Beranda
  • Perspective
  • 21 Tahun Gerakan Perdamaian di Maluku

21 Tahun Gerakan Perdamaian di Maluku

  • Perspective
  • 26 January 2020, 22.32
  • Oleh: CRCS UGM
  • 0

21 Tahun Gerakan Perdamaian di Maluku

Diah Kusumaningrum – 26 Januari 2020

— tinjauan terhadap film Beta Mau Jumpa

Banyak yang mengenang 19 Januari 1999 sebagai tanggal “meletusnya” kekerasan komunal di Maluku. Ia sering diingat sebagai titik mula peristiwa yang memakan ribuan jiwa dan mengusir sekitar setengah juta warga dari desanya. Ia dilihat sebagai awal segregasi ketat antara wilayah-wilayah Muslim dan Kristen – di mana yang Muslim terusir dari desa-desa Kristen, yang Kristen terusir dari desa-desa Muslim, dan tidak ada kebebasan melintas batas antarwilayah tersebut. Ia digambarkan oleh film Beta Mau Jumpa sebagai peristiwa yang memisahkan Mama Othe dan Ibu Maemunah.

Tetapi, kita bisa juga memilih merayakan 19 Januari 1999 sebagai tanggal “bangkitnya” gerakan perdamaian di Maluku. Di sini, kita mengapresiasi 21 tahun warga Muslim dan Kristen saling merengkuh, di tengah kekuatan-kekuatan yang ingin memisahkan mereka.

Pada tanggal 19 Januari 1999 tersebut, tidak sedikit warga Kristen melindungi, menyelamatkan, atau menyembunyikan warga Muslim dari amukan massa Kristen dan massa tak dikenal[1] – begitupun sebaliknya. Dimulai di hari-hari, minggu-minggu, dan bulan-bulan pertama kekerasan komunal, beberapa warga Muslim dan Kristen bertemu diam-diam. Ada yang saling bertukar informasi – siapa yang meninggal, siapa mengungsi ke mana, rumah siapa saja yang dibakar, di mana tempat yang aman, dan sebagainya. Ada yang saling bertukar komoditas – warga Kristen butuh sayur, ikan, dan “barang pasar” lainnya, sementara warga Muslim butuh gula, minyak goreng, susu formula, dan “barang toko” lainnya. Ada yang saling bertemu dan merancang kerja bersama – ibu-ibu Gerakan Perempuan Peduli membagikan pita damai dan menyerukan Suara Hati Perempuan, para wartawan mengembangkan jurnalisme damai dan Maluku Media Center,[2] anak-anak muda memilih bergabung dengan jaringan dan LSM lokal maupun internasional supaya dapat menjadi bagian dari solusi,[3] dan sebagainya.

Seiring berjalannya waktu, riak-riak perdamaian di tengah lautan kekerasan ini menjadi arus, dan bahkan ombak, yang mentransformasi konflik di Maluku. Beta Mau Jumpa mengarahkan perhatian kita pada ranah-ranah rekonsiliasi yang biasanya kurang ditonjolkan.

Dari empat ranah rekonsiliasi – formal, lingkungan sekitar, fungsional, dan narasi – yang cenderung dikenal orang adalah yang pertama saja. Di ranah formal, rekonsiliasi ditandai dengan komitmen para perwakilan resmi kelompok-kelompok yang bertikai untuk kembali berbaikan. Dalam konteks Maluku, rekonsiliasi di ranah formal diilustrasikan dengan Perjanjian Malino II.

Rekonsiliasi di ranah lingkungan sekitar merevitalisasi hubungan-hubungan antara mereka yang terikat secara spasial. Dalam konteks Maluku, ini adalah rekonsiliasi yang melibatkan para tetangga satu desa yang terpencar akibat konflik, para tetangga sebelah desa, serta antardesa yang terikat pela (ikatan persekutuan) dan gandong (ikatan persaudaraan). Beta Mau Jumpa menyoroti inisiatif-inisiatif rekonsiliasi antara para mantan tetangga. Sekalipun Mama Othe dan warga Kristen yang dulu tinggal di Desa Batu Merah Dalam memilih opsi relokasi ke Desa Kayu Tiga, Ibu Maemunah dan warga Muslim Batu Merah Dalam tetap meneruskan kebiasaan pertetanggan mereka, yaitu merayakan Natal dan Idul Fitri bersama-sama. Nampak dalam film bagaimana ibu-ibu Muslim Batu Merah Dalam menyiapkan ketupat dan opor lalu membawanya ke rumah ibu-ibu Kristen Kayu Tiga.

Rekonsiliasi di ranah fungsional ditandai dengan interaksi lintas kelompok di mana pihak-pihak yang ada mengedepankan profesi atau peran sosialnya, alih-alih identitas kelompoknya. Dalam konteks Maluku, warga tidak berinteraksi sebagai Muslim dan Kristen, melainkan sebagai ibu, pendeta, wartawan, guru, atau lainnya. Sebagaimana dituturkan oleh Pendeta Margaretha Hendriks-Ririmasse dalam Beta Mau Jumpa, para ibu Muslim dan Kristen berjuang menyingkirkan kecurigaan dan stigma antarmereka, lalu memperjuangkan perdamaian melalui Gerakan Perempuan Peduli. Rekonsiliasi sehari-hari di ranah fungsional inilah yang paling menentukan pemulihan pascakonflik di Maluku.

Yang terakhir adalah rekonsiliasi di ranah narasi. Di sini, pihak-pihak dalam konflik menyimpan dan membagikan cerita dan memori transformasi hubungan mereka. Di satu sisi, Beta Mau Jumpa mengangkat bagaimana Eklin memfasilitasi anak-anak Muslim dan Kristen menarasikan hubungan lintas kelompok di Maluku. Di sisi lain, film ini sendiri adalah bentuk rekonsiliasi di ranah narasi. Ia tidak sekadar menghadirkan cerita konflik dan cerita pascakonflik, melainkan perjuangan mengubah kehidupan konfliktual tersebut kembali kepada kehidupan basudara yang damai. Film ini menambah ramai rekonsiliasi di ranah narasi, bersanding dengan buku-buku Carita Orang Basudara, Jalan Lain ke Tulehu, dan Kei: Kutemukan Cinta di Tengah Perang, film-film Provokator Damai, Hiti-hiti Hala-hala, dan Cahaya dari Timur: Beta Maluku, Maluku Art Walk, serta produk kesenian lainnya.

Di balik plot utama perjumpaan Mama Othe dan Ibu Maemunah, film Beta Mau Jumpa menyelipkan inisiatif-inisiatif rekonsiliasi di ranah-ranah yang tidak menjadi perhatian orang kebanyakan. Ia merayakan 21 tahun warga Maluku saling merengkuh di tengah provokasi melakukan kekerasan.

________________

Dr. Diah Kusumaningrum adalah staf pengajar di Departemen Ilmu Hubungan Internasional UGM dan di Magister Perdamaian dan Resolusi Konflik UGM.

Simak cuplikan video komentar Dr Diah Kusumaningrum dalam acara rilis pers Beta Mau Jumpa di Humas Gedung Pusat UGM pada 24 Januari 2020 di IGTV CRCS.

Beta Mau Jumpa adalah film dokumenter kedua dalam seri Indonesian Pluralities, kerja kolaborasi CRCS UGM, Watchdoc, dan Pardee School of Global Studies, Boston University. Gambar header: Mama Othe dan Nafsiah, dua dari tokoh-tokoh yang tampil dalam film.

________________

Catatan kaki:

[1] Baca bab yang ditulis oleh Sandra Lakembe dalam buku Carita Orang Basudara.

[2] Baca bab yang ditulis oleh Rudi Fofid dan oleh Zairin Salampessy dalam buku Carita Orang Basudara.

[3] Baca bab yang ditulis oleh Inggrid Silitonga dan oleh Helena M. Rijoly dalam buku Carita Orang Basudara.

Tags: indonesian pluralities

Leave A Comment Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Instagram

Faith could be cruel. It can be used to wound thos Faith could be cruel. It can be used to wound those we might consider "the other". Yet, rather than abandoning their belief, young queer Indonesians choose to heal by re-imagining it. The Rainbow Pilgrimage is a journey through pain and prayer, where love becomes resistance and spirituality turns into shelter. Amidst the violence, they walk not away from faith, but towards a kinder, more human divine. 

Come and join #wednesdayforum discussion at UGM Graduate School building, 3rd floor. We provide snacks and drinks, don't forget to bring your tumbler. This event is free and open to public.
H I J A U "Hijau" punya banyak spektrum dan metrum H I J A U
"Hijau" punya banyak spektrum dan metrum, jangan direduksi menjadi cuma soal setrum. Hijau yang sejati ialah yang menghidupi, bukan hanya manusia melainkan juga semesta. Hati-hati karena ada yang pura-pura hijau, padahal itu kelabu. 

Simak kembali perbincangan panas terkait energi panas bumi bersama ahli panas bumi, pegiat lingkungan, dan kelompok masyarakat terdampak di YouTube CRCS UGM.
T E M U Di antara sains yang mencari kepastian, a T E M U

Di antara sains yang mencari kepastian, agama yang mencari makna, dan tradisi yang merawati relasi, kita duduk di ruang yang sama dan mendengarkan gema yang tak selesai. Bukan soal siapa yang benar, melainkan  bagaimana kita tetap mau bertanya. 

Tak sempat gabung? Tak perlu kecewa, kamu dapat menyimak rekamannya di YouTube CRCS.
Dance is a bridge between two worlds often separat Dance is a bridge between two worlds often separated by distance and differing histories. Through Bharata Natyam, which she learned from Indu Mitha, Aslam's dances not only with her body, but also with the collective memory of her homeland and the land she now loves. There is beauty in every movement, but more than that, dance becomes a tool of diplomacy that speaks a language that needs no words. From Indus to Java, dance not only inspires but also invites us to reflect, that even though we come from different backgrounds, we can dance towards one goal: peace and mutual understanding. Perhaps, in those movements, we discover that diversity is not a distance, but a bridge we must cross together.

Come and join #wednesdayforum discussion at UGM Graduate School building, 3rd floor. We provide snacks and drinks, don't forget to bring your tumbler. This event is free and open to public.
Follow on Instagram

Twitter

Tweets by crcsugm

Universitas Gadjah Mada

Gedung Sekolah Pascasarjana UGM, 3rd Floor
Jl. Teknika Utara, Pogung, Yogyakarta, 55284
Email address: crcs@ugm.ac.id

 

© CRCS - Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY