Yulianti | CRCS | Perspektif
Perayaan Waisak adalah salah satu hari besar umat Buddha untuk memperingati tiga peristiwa: hari lahir Sidharta Gotama (calon Buddha Gautama), momen Sidharta mendapatkan pencerahan ilmu, dan hari mangkatnya Buddha. Ketiga peristiwa ini terjadi pada bulan Waisak saat purnama.
Waisak dirayakan dalam berbagai bentuk dengan skala yang beragam. Denyut perayaan Waisak tidak hanya terasa di negara-negara berpenduduk mayoritas Buddha seperti Sri Lanka, Thailand, Myanmar, atau wilayah mainland Asia Tenggara lain. Negara-negara di mana agama Buddha tidak dipeluk mayoritas penduduknya seperti Indonesia pun menggemakan Waisak melalui acara-acara besar.
Di Indonesia, dengan jumlah pemeluk Buddha sekitar 1.700.000, hari perayaan Waisak menjadi salah satu hari libur nasional. Penetapan hari libur ini berdasarkan Keputusan Presiden No. 3/1983. Waisak menjadi satu-satunya hari besar agama Buddha yang masuk dalam daftar hari libur nasional.
Waisak di Nusantara
Waisak telah dirayakan di Nusantara beberapa dekade sebelum Indonesia merdeka. Beberapa dokumen penting terbitan kelompok spiritual Teosofi menunjukkan bahwa Waisak sudah diselenggarakan sejak awal abad 20 ketika Indonesia masih di bawah pemerintahan kolonial Belanda. Candi Borobudur, candi Mendut, loji-loji Teosofi dan klenteng-klenteng Tionghoa menjadi pusat-pusat peringatan.
Perayaan-perayaan Waisak pada zaman itu lebih banyak diisi dengan ritual sembahyang bersama dan perenungan. Doa atau harapan-harapan untuk kebaikan umat manusia, seperti doa-doa supaya perang yang pada waktu itu terjadi di Asia maupun Eropa segera berakhir, menjadi salah satu agenda penting.
Pada periode itu perayaan Waisak juga menjadi ruang individu-individu dari beragam latar etnis dan kelompok untuk berkumpul. Orang Eropa, India, penduduk lokal Jawa, Ceylon (Sri Lanka), dan Tionghoa membaur dalam satu ruang spiritual. Doa-doa dibacakan dalam berbagai bahasa yang merepresentasikan latar belakang kelompok-kelompok yang hadir.
Setelah Indonesia merdeka, Waisak tetap menjadi hari penting bagi umat dan simpatisan agama Buddha. Tahun 1953 tercatat sebagai tahun penting saat umat Buddha Indonesia mengorganisasi Waisak pertama di Borobudur. Pada 1956, umat Buddha Indonesia berpartisipasi dalam perayaan Waisak global, Buddha Jayanti, guna memperingati 2500 tahun wafatnya Sang Buddha.
Merekatkan Solidaritas
Perayaan Waisak di Indonesia mengandung pelbagai corak yang khas. Di antaranya adalah padatnya muatan budaya lokal di dalamnya. Beberapa foto arsip kegiatan Waisak pada tahun 1950-an hingga 1970-an menunjukkan prosesi pengambilan air suci yang diiringi tari-tarian dan gamelan. Rangkaian ritual yang berpadu dengan budaya dan tradisi lokal lain pun masih dilakukan sampai hari ini.
Perayaan-perayaan Waisak dalam berbagai organisasi dan denominasi agama Buddha juga kerap mengambil tema-tema tertentu yang selaras dengan kondisi nasional atau global. Pada 2010, misalnya, Sangha Agung Indonesia (SAGIN) mengangkat tema “Kesadaran Penuh Waisak Menyadarkan Kembali pada Nilai-nilai Spiritual dan Nasionalisme”. Pada 2013, Konferensi Agung Sangha Indonesia (KASI) mengangkat tema “Kejujuran Pembangun Kesejahteraan Bangsa”. Sangha Mahayana Indonesia menempatkan semangat Waisak dalam konteks konflik yang terjadi di berbagai belahan dunia dengan mengangkat tema “Berkah Waisak Membawa Kedamaian bagi Semesta”. Tahun lalu, 2016, Sangha Theravada Indonesia (STI) mengambil tema “Cinta Kasih Penjaga Dunia”. Tahun ini, organisasi-organisasi Buddhis kembali merespons isu nasional kontemporer dengan perayaan Waisak bertema “Cinta Kasih Penjaga Kebhinekaan”. Sangha Mahayana Indonesia juga mengangkat tema yang seirama: “Dengan Semangat Waisak Kita Tingkatkan Toleransi dan Kerukunan demi Tercapainya Kedamaian”.
Peringatan Waisak menjadi ritual keagamaan untuk merekatkan solidaritas antarindividu. Sejalan dengan yang dikatakan sosiologis Emile Durkheim tentang event, Waisak sebagai event yang terjadi sekali setahun ini menjadi aparatus untuk menyatukan umat Buddha hampir di seluruh dunia. Kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan dalam rangka Waisak bisa meluruhkan sekat-sekat sektarian maupun denominasi. Waisak menjadikan ruang yang lentur, yang tak terbatasi oleh denominasi tertentu.
Dalam beberapa kasus, Waisak bahkan bukan hanya menjadi ruang solidaritas antarumat Buddha, melainkan juga antarumat beragama. Di Banyuwangi, Jawa Timur, misalnya, Waisak menjadi momen saat para tetangga yang non-Buddhis bertandang ke rumah-rumah umat Buddha untuk memberikan ucapan selamat. Tradisi ini sudah terjalin turun temurun.
Dalam skala yang lebih besar, Waisak dirayakan dengan pelbagai bentuk kegiatan amal atau sosial. Tahun lalu, Festival Waisak Indonesia (FWI) digelar selama sebulan penuh di Ancol Taman Impian, Jakarta, bekerja sama dengan Badan Koordinasi Pendidikan Buddhis. Sebagaimana dinyatakan penyelenggara festival, FWI ini digelar “untuk memperkenalkan seni budaya dan karakter pendidikan yang bersinergi dengan wisdom dan kemanusiaan”.
Perayaan Waisak dalam bentuk konferensi Internasional juga diadakan tahun lalu dan tahun ini di Candi Borobudur. Konferensi ini diadakan oleh PT Taman Wisata Candi Borobudur, Prambanan, dan Ratu Boko dan didukung oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta panitia Waisak nasional. Dua konferensi tahunan ini secara berturut-turut mengambil tema perdamaian. Tahun ini secara lebih spesifik konferensi berfokus pada isu hubungan antariman sehingga melibatkan tidak hanya tokoh agama Buddha tetapi juga pemimpin dan peserta dari agama lain.
Dengan bentuk perayaan yang demikian beragam, Waisak menjadi ruang yang terbuka untuk semua dan akomodatif terhadap keberagaman budaya di Indonesia.
Selamat hari raya Waisak 2561/2017. Semoga semua makhluk hidup damai dan bahagia.
Yulianti adalah alumnus CRCS angkatan 2006 dan kini kandidat doktor di Institute for History, Universiteit Leiden/Universitas Gadjah Mada. Ia sedang menulis disertasi berjudul The Making of Buddhism in Modern Indonesia: South and Southeast Asian Networks and Agencies.
[Dari redaksi: CRCS mengadakan semester pendek mulai pekan depan dengan salah satu mata kuliahnya berjudul Muslim-Buddhist Relations yang diajar oleh Dr. Imtiyaz Yusuf dari Mahidol University, Thailand.]