Esai ini untuk mengenang Taliesin Myrddin Namkai-Mechen, lulusan Reed College, Portland, Oregon, Amerika Serikat. Pada 26 Mei 2017, dalam kereta komuter di Portland saat membela dua orang perempuan yang dilecehkan, Taliesin dan dua orang lainnya ditikam. Taliesin meninggal karena luka itu. Keluarganya berharap tragedi ini menjadi satu refleksi dan menggerakkan perubahan. Esai ini adalah terjemahan dari tulisan aslinya dalam bahasa Inggris berjudul Courageous pluralism: Remembering Taliesin in the stand against hate in Indonesia and the United States.
Mengenang Taliesin: Melawan Kebencian di Amerika dan Indonesia
Kelli Swazey – 27 Juni 2017
Sebagaimana banyak ekspatriat Amerika lain, saya dari jauh menyaksikan tanda-tanda perpecahan dan semakin maraknya intoleransi di negara asal saya. Dengan adanya peristiwa-peristiwa kekerasan terhadap minoritas atas dasar etnis, ras, dan identitas keagamaan dan maraknya kebencian di muka umum, Amerika kini sedang mengalami ujian besar atas slogan nasionalnya: “Dari yang banyak, satu adanya” (Out of many, one).
Menjalani hidup di belahan dunia yang lain, di Indonesia, saya mengamati bahwa persoalan tentang bagaimana cara hidup bersama dengan orang-orang yang berbeda bukanlah persoalan orang-orang Amerika semata. Isu ini melibatkan kita semua di dunia yang makin terglobalisasi kini, ketika identitas dan persepsi terhadap yang berbeda telah menjadi titik tengkar yang berujung pada kekerasan. Tentang siapakah kita dalam hubungannya dengan yang lain merupakan persoalan esensial bagi semua orang, persoalan yang mengandung konsekuensi berat bagi komunitas dan individu yang menjadi target kekerasan dan persekusi.
Persoalan semacam ini membawa saya pada ingatan akan negara asal saya saat membaca berita beberapa pekan lalu. Pada hari Jumat, 26 Mei 2017, tiga lelaki menghadapi seorang penumpang kereta komuter di Portland, Oregon. Diberitakan, Jeremy Joseph Christian (35 tahun) mengganggu penumpang lain dan meneriakkan ancaman bernada rasis dan anti-Muslim terhadap dua perempuan Afro-Amerika yang sedang duduk di komuter, yang salah satu dari keduanya memakai hijab. Berupaya mengintervensi, Ricky John Best (53 tahun) dan Taliesin Myrddin Namkai-Meche (23 tahun) akhirnya terlibat dalam konflik fisik dengan Christian. Anak muda lainnya, Micah David-Cole Fletcher, berupaya menolong. Christian menikam ketiga orang itu, dan dalam kondisi panik, dua perempuan itu melarikan diri. Best dan Namkai-Meche meninggal karena luka. Fletcher menjalani operasi dan nyawanya terselamatkan. Dua perempuan itu berhasil kembali ke rumah mereka dengan selamat dan baru kemudian menyadari bahwa dua penolong mereka telah kehilangan nyawa.
Hidup dengan Keragaman: Pengalaman Taliesin di Indonesia
Foto yang beredar mengenai kejadian itu cukup familiar bagi saya: wajah seorang pemuda dalam jubah wisudanya. Saya sempat berharap saya keliru, namun itu wajah yang saya kenal. Taliesin adalah siswa saya dalam program pendidikan pengalaman (experiential education) di Indonesia pada 2011. Pada tahun itu, ia mengikuti satu kelompok alumni SMA dari Amerika menjalani program satu semester berkeliling Indonesia untuk mengalami budaya dan keragamannya. Saya bersama tiga instruktor Amerika lainnya menjadi konsultan untuk kelompok ini di Kolonodale, kota pertambangan di ujung Taman Nasional Morowali, Sulawesi Tengah. Selama tiga bulan para siswa tinggal bersama keluarga dari berbagai latar etnis dan agama yang berbeda, antara lain keluarga Hindu di Bali; keluarga Kristen di perbatasan taman nasional di Seram, Maluku; dan keluarga Muslim di Wakitobi, Sulawesi Selatan.
Program ini fokus mengeksplorasi keragaman—bukan hanya keragaman kultural, agama, dan etnis, melainkan juga mengenai apa makna keragaman bagi sekelompok anak muda berkulit putih dari Amerika ini. Bagi setiap yang terlibat, perjalanan ini merupakan tantangan menghadapi perbedaan secara langsung: perbedaan gaya hidup, kepercayaan, dan bahkan orientasi moral yang di permukaan tampak tak selaras dengan cara hidup diri mereka sendiri. Dalam menjalani kehidupan sehari-hari bersama keluarga mereka di Indonesia, kami berharap para siswa tidak hanya belajar mengenai Indonesia, tetapi juga mendapat cara pandang yang kritis terhadap diri mereka sendiri sebagai warga global.
Para siswa didorong untuk belajar secara langsung mengenai konsekuensi dari kekerasan sektarian dalam konteks politik—satu hal yang benar-benar asing bagi mereka. Mereka mendengarkan instruktor lokal menceritakan kembali hari-hari ketika ia terjebak di tengah-tengah kekerasan antaragama di kota Ambon. Mereka berkeliling di sekitar Danau Poso, di sekitar perumahan yang ditinggalkan penghuninya saat konflik terjadi. Mereka berjuang menghadapi kenyataan konflik yang berbasis kita versus mereka, konflik yang tak bisa dijawab dengan mudah. Dengan cara ini, para siswa dapat melihat bahwa perbedaan sering merupakan persoalan perspektif dan posisi, satu hal yang memungkinkan mereka untuk memikirkan ulang prasangka dan prakonsepsi mereka.
Lebih dari itu, para siswa mulai memeriksa kembali budaya Amerika yang membentuk mereka; melihat ulang asumsi-asumsi tentang cara hidup yang, sebelum mengalami perjalanaan ini, tampak natural belaka. Hal yang tampaknya natural ini segera sirna setelah para siswa mengarahkan diskusi pada isu mengenai kekuasaan, privilese, dan rasisme. Mereka belajar mengenai apa makna menjadi orang Amerika, dengan segala hal positif dan negatifnya. Bagi para siswa, pengalaman mereka memiliki pengaruh yang dalam dan lama, melampaui beberapa bulan mereka mengelilingi Nusantara. Pengalaman ini memengaruhi bagaimana mereka melihat diri mereka sebagai anak muda yang hidup di negara multikultural yang memiliki kemiripan dengan Indonesia.
Dalam acara berkumpul mengenang Taliesin di Portland, Oregon, para siswa hadir dan menyampaikan bahwa perjumpaan mereka terhadap keragaman Indonesia membentuk diri mereka dalam menjalani kehidupan sebagai anak muda di Amerika. Apa yang mereka saksikan hari ini berkaitan dengan isu-isu yang mereka pelajari di Indonesia tentang persepsi atas perbedaan “Barat” dan yang lain; tentang bagaimana diskriminasi atas dasar agama, ras, dan etnis sering diperburuk oleh cara institusi-institusi negara mengelola keragaman; dan tentang akses yang tak setara terhadap sumber daya yang berkontribusi dalam terjadinya kekerasan.
Wacana Kebencian di Amerika dan Indonesia
Bagi saya, kematian Taliesin menyiratkan implikasi akan adanya hal yang mirip dalam kehidupan publik di negara asal saya dan negara tempat saya tinggal dan bekerja kini. Membandingkan ekspresi xenofobia di Amerika dan Indonesia, tampak bahwa retorika kebencian di kedua negara mengujarkan ekspresi kekerasaan dan ketakutan yang sama banalnya. Di Amerika, pemerintahan Trump mengujarkan steretotipe tentang siapa yang benar-benar orang Amerika, yang didefinisikan secara sempit berdasar pada privilese lelaki berkulit putih. Di Indonesia, ras, etnis, dan identitas keagamaan diperalat dalam rivalitas politik, satu hal yang berat dampaknya bagi mereka yang berasal dari kalangan minoritas.
Dalam surat terbuka kepada Presiden Trump, ibu Taliesin, Asha Deliverance, mengidentifikasi ujaran kebencian dan “kelompok pembenci” sebagai aktor di balik tindakan kekerasan yang mengakhiri hidup anaknya. Dalam suratnya, ia memohon agar Trump tidak hanya mengecam tindakan kekerasan, tetapi juga menggunakan kekuasaannya untuk menggerakkan masyarakat agar saling melindungi: “Please, ajak semua orang Amerika agar memperhatikan dan melindungi satu sama lain. Please, kecam tindakan-tindakan kekeraan, yang merupakan dampak langsung dari ujaran kebencian dan kelompok pembenci. Saya berdoa Anda menggunakan kekuasaan Anda untuk melakukan itu.”
Indonesia juga sedang berjuang menghadapi ujaran kebencian dan dampaknya. Banyak analis menyatakan adanya hubungan antara ujaran kebencian di media sosial atas dasar agama, gender, ras, atau etnis terhadap terjadinya kekerasan. Kelompok pengujar kebencian ini sering mendasarkan ajakan aksinya pada kegagalan penegakan hukum dalam ‘melindungi’ agama dan para pemeluk agama—alasan yang dibuat untuk mendukung klaim mereka bahwa tindakan kekerasan adalah bagian dari hak warga negara mereka. Hal ini mirip dengan wacana kekerasan di Amerika, termasuk dalam kasus pembunuh Taliesin, yang mengklaim bahwa aksi kekerasannya adalah tindakan patriotis.
Dalam kesaksian tertulisnya dalam pengadilan terhadap Christian, opsir yang menangkapnya melaporkan bahwa Christian berharap korban-korbannya mati karena luka mereka sebab itulah “akibat liberalisme bagi kalian.” Ini adalah narasi yang sama yang kita dengar dari organisasi-organisasi represif di Indonesia, yang suka melakukan tindakan kekerasan, yang menyatakan bahwa “liberalisme” adalah semacam penyakit yang telah menjangkiti orang-orang Indonesia dan mengancam moralitas kolektif bangsa. Sasaran dari wacana ini bisa bermacam-macam, dan digunakan dalam konteks yang berbeda-beda, namun intensinya sama: untuk menebar ketakutan dan menyetujui dilakukannya kekerasan terhadap orang-orang “yang lain” seraya mendaku bahwa orang-orang “yang lain” itu membahayakan identitas nasional yang murni. Wacana semacam ini memiliki dua tujuan sekaligus. Ia bukan hanya membuat kekerasan terhadap warga negara lain diterima sebagai tindakan mempertahankan diri (self-defense), melainkan juga membingkai para pelaku sebagai para korban yang hak-haknya telah dilanggar.
Di Indonesia, aturan-aturan yang ditujukan untuk mengontrol ujaran diskriminatif dan fitnah di muka umum, baik daring maupun luring, telah diaplikasikan secara berat sebelah atau, lebih buruk dari itu, telah dipakai oleh individu-individu atau kelompok tertentu sebagai manuver legal untuk mendiskriminasi, menyasar kaum minoritas, dan membungkam orang-orang yang berupaya mengadili kelompok-kelompok besar. Alih-alih digunakan untuk menyasar ujaran dan tindakan yang menghasut kekerasan, aturan-aturan itu malah diperalat untuk mempersekusi. Rappler Indonesia baru-baru ini melaporkan bahwa 59 orang telah dipersekusi atau diintimidasi oleh kelompok yang memakai Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) untuk melancarkan tuduhan penodaan agama, satu tuduhan yang dapat digunakaan untuk mendorong aksi main hakim sendiri (vigilantisme).
Kecenderungan undang-undang itu untuk digunakan sebagai alat untuk mempersekusi, alih-alih melindungi, telah ditunjukkan dalam kontroversi berskala nasional atas pernyataan mantan gubernur Jakarta yang kini dipenjara, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Dakwaan penodaan agama dijatuhkan kepadanya menyusul viralnya rekaman pernyataannya mengenai makna satu ayat dalam Al-Quran. Aksi-aksi protes yang masif yang menyuarakan agar pemerintah mendakwa Ahok telah membawa kepada pengadilan dramatis yang, menurut pandangan banyak orang, kurang menerapkan pengujian tuntas terhadap kesaksian dan bukti-bukti. Ahok dijatuhi hukuman dua tahun penjara dengan dakwaan penodaan agama. Sebagai perbandingan, orang-orang dari 12 orang yang membunuh tiga orang Ahmadiyah di Cikeusik pada 2011 hanya dijatuhi hukuman penjara beberapa bulan. Pantas bila orang bertanya-tanya, undang-undang itu sebenarnya melindungi siapa.
Bahwa undang-undang itu, dan masyarakat umum, terpaku pada kasus-kasus politis, sementara banyak kelompok membuat pernyataan publik yang mempromosikan kekerasan terhadap orang-orang non-Muslim, Tionghoa, LGBT, atau Muslim dari sekte minoritas, menunjukkan adanya penerapan inkonsisten dari ideal mengenai kesetaraan dan keadilan yang tertahbiskan dalam dasar negara Pancasila. Berkililing di tempat saya tinggal, di Yogyakarta, kota yang dielukan-dielukan karena toleransi dan populasi multikulturnya, tak sulit untuk menemukan spanduk yang menghina berbagai kelompok yang menjadi target karena mereka berbeda: Muslim Syiah, orang-orang Indonesia Timur, dan orang-orang dari komunitas LGBT. Demonstrasi sektarian juga ditolerir meski undang-undang melarangnya. Orang-orang takut melawan ujaran kebencian di muka umum ini karena mereka khawatir kalau mereka juga akan menjadi target. Kekhawatiran mereka bukannya tak berdasar, mengingat mereka berada dalam lingkungan di mana para pelaku kekerasan mendapat impunitas, atau setidaknya menikmati aturan yang tidak berhasil melindungi korban. Di Amerika, etos yang mirip terlihat ketika keluarga Taliesin menerima ancaman pembunuhan, dan kelompok supremasi kulit putih melakukan protes di luar tempat acara mengenang Taliesin dan berupaya mengadakan demo pro-Trump di Portland pada hari-hari setelah terjadinya peristiwa di kereta komuter itu.
Contoh-contoh ini merepresentasikan efek yang paling berbahaya dari wacana diskriminasi dan kebencian, terutama ketika ujaran-ujaran itu muncul dari para politisi. Ujaran-ujaran itu akan merasuk ke masyarakat umum dan dapat mengembangkan lingkungan yang menoleransi aksi-aksi diskriminatif dan kekerasan. Tahun lalu, pernyataan publik Menristekdikti Muhammad Nasir mengenai ancaman moral dari mahasiswa LGBT terhadap universitas-universitas Indonesia adalah satu dari sekian pernyataan anti-LGBT yang muncul dari politisi, pemimpin agama, dan institusi pemerintah. Gubernur Jakarta yang baru terpilih, yang pada waktu itu merupakan Mendikbud, juga ikut dalam barisan orang-orang berkuasa yang melabeli kaum LGBT sebagai ancaman terhadap pendidikan moral para pemuda. Beberapa bulan lalu, kita menyaksikan berita tentang razia atas dasar penegakan hukum terhadap warga yang diduga terlibat dalam hubungan homoseksual di ruang privat (belum illegal di Indonesia) yang disusul dengan hukuman publik di Aceh. Kelompok berkepentingan itu telah membuat pernyataan publik yang mengimplikasikan bahwa hubungan non-heteronormatif bertentangan dengan moralitas publik, mengancam bangsa, dan dalam beberapa kasus dapat dianggap perilaku ilegal (dalam kasus razia yang berdasar pada aturan mengenai penyebaran konten-konten tak pantas secara online seperti UU Anti-Pornografi dan UU ITE). Bahwa beberapa pernyataan dari para politisi dapat dengan cepat membuat kaum LGBT menjadi target intimidasi dan persekusi, dan mungkin juga kriminalisasi, merupakan contoh akan kuatnya wacana identitas yang divisif ini.
Sulit untuk menampik adanya hubungan dialektis antara pernyataan diskriminatif para politisi, kebijakan yang menyasar kelompok tertentu yang konon berdasar pada alasan keamanan, dan meningkatnya kekerasan terhadap mereka yang diidentifikasi sebagai “yang lain”, “tak bermoral”, atau “anti-nasionalis”. Di Amerika, larangan imigran Muslim oleh Trump dan pernyataan-pernyataan dari anggota kabinetnya terkait dengan tindakan kebencian, pelecehan, dan kekerasan terhadap warga negara dari kaum minoritas. Di negara asal dan negara tempat tinggal saya ini, para politisi menyuarakan nilai-nilai toleransi tapi tidak melaksanakannya dalam tindakan dan kebijakan. Sebagaimana ditulis pengacara hak-hak sipil Arjun Singh Sheti mengenai respons politik terhadap kejadian di Portland, para politisi harus melakukan hal yang lebih dari sekadar mengecam. Mereka harus menyelesaikan problem dalam kebijakan yang berdasar pada stereotipe yang melanggengkan kebencian terhadap kelompok minoritas. Berbicara dari perspektifnya sebagai bagian dari komunitas religius minoritas Amerika, ia melihat adanya keterkaitan yang nyata antara kebijakan yang berbasis prasangka dan apa yang kini terjadi di masyarakat Amerika. “Jika pemerintah melihat komunitas kami sebagai patut dicurigai dan tak pantas dimuliakan dan dihormati,” tulisnya, “maka demikian pula orang-orang Amerika sehari-hari.”
Etika Pluralisme yang Berani (Courageous Pluralism)
Saya menghabiskan satu pekan untuk menyelesaikan esai ini, dan berpikir lama mengenai apa yang seharusnya saya ungkapkan demi menghaluskan emosi saya dalam menulis. Saya berusaha untuk membuat suatu argumen yang membuat masuk akal hal yang tak masuk akal (make sense of the senseless) dan dengan cara pandang yang berjarak dari mata seorang akademisi. Saya menyadari bahwa saya tidak bisa tidak mengekspresikan kesedihan yang saya rasakan atas kematian Taliesin. Saya tak bisa meredakan kemarahan saya terhadap sistem yang memfasilitasi kekerasan itu, atau hal-hal yang mirip yang saya lihat dalam kehidupan publik di dua negara yang saya anggap rumah saya. Kematian Taliesin telah membawa saya kembali kepada pertanyaan-pertanyaan mengenai bagaimana kita seharusnya menjalankan kehidupan yang etis di dunia modern.
Menurut seorang saksi yang bersamanya di kereta komuter, Taliesin tahu bahwa ia terluka parah. Satu hal yang Taliesin minta kepadanya ialah: “katakan pada semua orang di kereta komuter bahwa saya mencintai mereka.” Saya takjub pada keberaniannya menghadapi kebencian dalam bentuknya yang paling keji, bahkan dalam momen ketika ia tahu bahwa dirinya harus membayar dengan harga yang teramat mahal. Taliesin bertindak berdasar etika cinta. Hukum, institusi, politik, dan kekuasaan adalah bagian dari yang menentukan tindakan publik kita, tapi emosi juga berperan sentral dalam kehidupan etis. Di ranah ketika emosi bersimpangan dengan ide-ide yang lebih luas mengenai menjadi manusia yang seharusnya, etika mendapat bentuk yang dapat dikenali. Dalam bukunya tentang kehidupan etis, antropologis Webb Keane memeriksa peran yang dimainkan diskursus dalam menciptakan batas-batas dunia etis kita; bagaimana kehidupan batiniah individual kita berhubungan dan berinteraksi dengan lingkungan sosial dan budaya kita. Keane menjelaskan bahwa “mengeksplisitkan ide-ide etis dapat membawa perubahan dalam konteks publik yang menjadi tempat ekspresi kognisi dan emosi. Ide-ide etis itu mengubah lanskap dengan menyalurkan ide-ide. Dalam konteks apapun, beberapa konsep dan argumen dapat diterima bagi sebagian orang, dan bagi sebagian lainnya, kurang berterima. Titik krusialnya di sini ialah bahwa ide-ide ini masuk ke dalam interaksi sosial” (Webb Keane, Ethical Life: Its Natural and Social Histories, 2016: 251. Tulisan miring dari saya).
Taliesin mencontohkan orientasi etis semacam ini dalam waktu hidupnya yang singkat. Ia mengerti bahwa menjadi manusia yang etis dan terlibat adalah satu komitmen yang dapat kita lakukan dengan sadar. Ini satu proses yang meniscayakan refleksi diri dan kehendak untuk mengesampingkan ego. Berkeliling dengan kelompok kami di Indonesia, Taliesin suka menegur kawan-kawannya yang terlalu banyak membicarakan kehidupannya di Amerika seraya mendorong mereka untuk membuka diri secara penuh terhadap pengalaman mereka. Sebagai refleksi atas ucapan terakhir Taliesin, dosennya di Reed College, Kambiz Ghanea Bassiri, menulis tentang kekagumannya terhadap upaya Taliesin untuk melampaui prasangkanya dan motivasinya “dalam belajar tentang Islam karena etika cintanya mengharuskan ia mendapat asupan informasi tentang budaya dan agama-agama lain dalam kehidupan sehari-hari sehingga, alih-alih bertindak tanpa pengetahuan, ia bisa bertindak secara adil karena cinta kepada yang lain.”
Kematian Taliesin seharusnya mengingatkan bahwa nasib kita juga dalam taruhan. Nasihat lama mengatakan: jika kita diam ketika yang lain dipersekusi, kita terlibat bukan hanya dalam penderitaan mereka, melainkan juga penderitaan kita. Kebencian tak tebang pilih, dan ia dapat menyasar siapa saja. Sebagaimana ditulis kolumnis New York Times Nicholas Kristof dalam responsnya terhadap kejadian di Portland, “Apa yang dipahami tiga orang di Oregon, dan yang tak dipahami Gedung Putih, ialah bahwa dalam masyarakat yang sehat, Islamofobia tidak hanya mencela kaum Muslim, rasisme tidak hanya menghina orang-orang berkulit hitam, misogini tidak hanya menyakiti kaum perempuan, xenophobia tidak hanya menistakan orang-orang imigran. Kita semua juga direndahkan. Kita semua bertaruh dalam menghadapi bigotri.” Di sini, di Indonesia, yang dipersekusi boleh berbeda, namun konsekuensi terhadap ideal mengenai masyarakat yang adil adalah sama.
Dalam banyak kasus, kita tak dapat bergantung pada peran hukum, para politisi, atau institusi-institusi negara untuk mengemban tanggung jawab menciptakan masyarakat sebagaimana kita harapkan. Tidak ada yang dapat dengan arogan mendaku paling tahu tentang satu-satunya cara hidup yang benar atau bahwa kita dapat hidup di dunia kini tanpa mempertimbangkan perspektif yang lain. Jika dunia yang etis adalah yang diciptakan melalui interaksi dengan yang lain, maka toleransi tidak cukup. Kita harus berupaya terlibat bergaul dengan mereka yang berbeda. Jika kita memahami etika sebagai “etika intersubjektif di mana kita saling bertukar intensi dan perspektif” (Keane, Ethical Life, 21), maka kehidupan modern yang etis meniscayakan agar kita menciptakan ruang untuk berinteraksi dengan yang lain yang mendiami dunia sosial kita. Di sini, di CRCS, kita berupaya menciptakan ruang yang mengembangkan interaksi semacam itu, interaksi antarorang dari berbagai latar belakang dan kepercayaan, dan kita melakukan advokasi agar negara menjamin perlindungan terhadap ruang-ruang tempat interaksi itu dapat tumbuh. Namun demikian, di kalangan masyarakat sipil, dalam interaksi sehari-hari antarwarga negara, prinsip-prinsip ini harus didorong dan dijalankan jika kita menghendakinya sebagai bagian dari nilai-nilai yang dibagi bersama dalam kehidupan berbangsa.
Kita semua mungkin tak seberani Taliesin, atau banyak orang lain yang melawan kebencian dengan mempertaruhkan nyawa. Tapi saya yakin bahwa di Amerika dan Indonesia, kita harus melampaui konsep toleransi, menuju pluralisme yang berani dan dihidupi, yakni yang menjadikan beban dari kehidupan bersama dibagi semua dengan setara, bukan hanya menjadi tanggung jawab mereka yang dilabeli minoritas. Ini adalah imperatif etis kita, seruan kita terhadap mereka yang memimpin. Sebagai bentuk penghormatan terhadap mereka yang berdiri melawan kebencian, kita harus mengambil bagian tanggung jawab kita dan menolak menoleransi wacana yang mendemonisasi yang lain, yang merendahkan manusia lain.
Beberapa pekan sebelum kematiannya, Taliesin mendiskusikan satu kutipan dari filsuf sufi Rumi dengan teman-teman dan keluarganya: “Hauslah terhadap air keutamaan (the ultimate water), dan kemudian bersiaplah mendapati apa yang akan mengucur dari mata air.” Ini adalah pesan yang dipilih keluarga Taliesin untuk dicetak dalam kartu yang diberikan kepada mereka yang hadir dalam acara pemakamannya. Saya memilih untuk menafsirkan kutipan ini sebagai maklumat untuk bertindak, satu gagasan yang membuat Taliesin berada di garis depan melawan kebencian yang melanda di banyak tempat di penjuru dunia. Kita boleh jadi tak tahu apa yang akan datang setelah mengambil risiko untuk bersuara melawan intimidasi dan kebencian. Namun mengarungi air itu mungkin menjadi harapan terbaik kita terhadap etika interaksi yang didorong oleh semangat cinta.