“Wisatawan datang untuk menikmati adat istiadat, keasrian, dan keindahan hutan kami, tetapi mewariskan ‘sampah’ di atas tanah kami” —masyarakat adat Ammatoa.
Menjadikan lingkungan masyarakat adat sebagai tempat pariwisata menyisakan efek samping tersendiri, yakni keberadaan para wisatawan yang belum sadar akan pentingnya pelestarian dan keasrian lingkungan adat bagi masyarakat yang mendiaminya. Hal ini telah menimpa masyarakat adat Ammatoa Kajang, Sulawesi Selatan. Dalam kerangka persoalan yang demikian ini, maka Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana UGM, menyelenggarakan lokakarya bertajuk “Kelompok Sadar Ekowisata” di University Club UGM pada Kamis, 9 April 2018.
Disamping perwakilan masyarakat adat Ammatoa, lokakarya ini turut dihadiri Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Kabupaten Bulukumba, Andi Misbawati Wawo; Kepala Dinas Pariwisata (Dispar) Kabupaten Bulukumba, Muh. Ali Saleng; dan jajaran staf dinas terkait dari Kabupaten Bulukumba. Lokakarya ini merupakan rangkaian kegiatan dari penelitian “Ekowisata untuk Pelestarian Ekologi Adat dan Pengembangan Ekonomi Kreatif Berbasis Komunitas di Masyarakat Adat Ammatoa Kajang”. Penelitian ini diketuai oleh dosen CRCS UGM, Dr. Samsul Maarif, bersama Prof. Dr. IGP Suryadharma (ahli Etnobotani UNY) dan Dr. Muhammad (dosen Pariwisata Sekolah Pascasarjana UGM) dan dibiayai oleh Lembaga Pengelola Dana Penelitian (LPDP) Kementerian Keuangan selama dua tahun (2018-2019).
Dalam sambutannya, Dr. Zainal Abidin Bagir selaku Kaprodi CRCS UGM mengatakan bahwa CRCS telah lama memiliki perhatian serius terkait isu masyarakat adat. Di samping menawarkan mata kuliah terkait agama dan budaya lokal, CRCS juga menerbitkan buku-buku yang berhubungan dengan masyarakat adat dan terlibat aktif dalam mengadvokasi masyarakat adat. Dalam hal ini, Dr. Bagir mengutarakan, ekowisata merupakan salah satu metode advokasi dan pemberdayaan masyarakat adat. Dalam kegiatan ini, CRCS sebagai lembaga pendidikan tidak hanya melakukan penelitian, tetapi juga secara langsung terlibat dalam kegiatan pengabdian masyarakat, khususnya terhadap masyarakat adat.
Sejak awal, CRCS UGM merancang program ekowisata di masyarakata adat Ammatoa dengan pendekatan lintas disiplin ilmu. Kelompok peneliti yang berlatarbelakang disiplin ilmu yang berbeda bekerja sama mengupayakan rancangan yang menyeluruh. Karena inilah CRCS UGM juga menggandeng Lembaga Adat Ammatoa Kajang (LAAK), Dispar, dan DLHK Bulukumba, Sulawesi Selatan, sebagai mitra.
Lokakarya ini bertujuan untuk merumuskan materi capacity building dan metode pelatihan partisipatif yang efektif, termasuk sinergitas antara program riset CRCS UGM dan program-program dari dinas-dinas terkait di pemerintahan Kabupaten Bulukumba. Rumusan tersebut nantinya akan dituangkan dalam modul pelatihan. Di antara materi yang dirumuskan adalah ekologi adat, khususnya terkait masyarakat adat Ammatoa. Ekologi adat, sebagai basis utama ekowisata, dikaji, didiskusikan dan didialogkan dengan sains dan kebijakan pemerintah terkait lingkungan. Selain itu, materi juga mencakup sejarah komunitas adat, pengakuan adat Ammatoa dalam peraturan daerah, ekowisata sebagai strategi pemberdayaan, dan lain sebagainya.
Lima belas orang dari komunitas adat Ammatoa dan 10 perwakilan dinas-dinas dan swasta akan dilibatkan dalam pelatihan ini. Mereka adalah kelompok utama yang merancang program, menjalankan, dan mengembangkannya. Dua puluh lima peserta pelatihan akan dibagi dalam 5 kelompok dengan fokus program berupa pengelolaan sarung adat, pengelolaan sampah, seni tradisi, tata kelola (koperasi), dan tata ruang ekowisata. Kelima program tersebut bertumpu pada penelitian dasar (baseline research) yang dilakukan sebelumnya pada tanggal 6-9 April oleh kelompok peneliti.
Kelima program ini dipilih dengan pertimbangan makin mendesaknya persoalan tersebut untuk diselesaikan. Produksi sarung adat, misalnya, masih belum cukup memenuhi kebutuhan ritual masyarakat adat, padahal telah dianggarkan oleh Dispar. Sampah, yang dibuang sembarangan oleh para wisatawan dan dikeluhkan banyak orang Ammatoa, juga harus mendapat perhatian serius.
Selain materi dan metode pelatihan, workshop ini juga menghasilkan beberapa rencana tindak lanjut yang akan dilaksanakan oleh dua dinas peserta lokakarya. Kepala Dinas Pariwisata, Muh. Ali Saleng, mengatakan bahwa pihaknya segera membangun “sentra ekowisata”, tempat dan pusat kegiatan kelompok-kelompok di atas. Sementara DLHK akan melakukan penanaman tanaman murbei untuk pakan ulat sutra sebagai bahan baku untuk memproduksi sarung tenun. Menurut Kadis DLHK, Andi Misbawati Wawo, pada tahun 70-an, wilayah Kajang pernah menjadi sentra produksi kain sutra. Penanaman tanaman murbei ini akan menghidupkan kembali produksi sarung sutra yang secara tidak langsung akan berdampak pada pemberdayaan dan peningkatan taraf ekonomi masyarakat adat. Romlah, selaku warga masyarakat adat Ammatoa dan sekaligus Kepala Dusun di Desa Tanah Toa mengatakan bahwa pemasaran sarung tenun saat ini mengalami kendala dikarenakan mahalnya bahan baku dan tingginya biaya produksi. Budidaya murbei ini akan mendekatkan bahan baku sehingga biaya produksi dapat ditekan, dan harga sarung tenun (adat) dapat lebih bersaing.
Lokakarya tersebut juga memutuskan bahwa aktivitas pembangunan sentra kerajinan dan pengelolaan desa ekowisata akan dilaksanakan di Kawasan Luar masyarakat adat Ammatoa. Daerah Ammatoa terbagi dua: Kawasan Dalam, yakni area “inti” di mana hal-hal baru dari luar tak boleh masuk; dan Kawasan Luar. Pembagian kawasan tersebut telah berhasil menjaga kelestarian adat dan lingkungan masyarakat adat Ammatoa.
Dr. Samsul Maarif selaku ketua peneliti menyampaikan rasa haru dan bangga dengan kehadiran Kadis Pariwisata dan Kadis LHK Kebupaten Bulukumba dalam merancang kegiatan ini. Desa ekowisata Ammatoa akan dijadikan proyek percontohan (pilot project) bagi desa-desa lain di Bulukumba, atau bahkan di Sulawesi Selatan secara umum. Kerja sama dan komitmen pelbagai elemen masyarakat sangat dibutuhkan untuk menyukseskan program ini.