Dekolonisasi Masyarakat Adat: Catatan dari Seminar PGI
Trisno S Sutanto – 26 April 2018
Persoalan masyarakat adat sesungguhnya menggugat secara radikal seluruh cara keberadaan “kita”, kalau kata ganti ini bisa dipakai, baik sebagai negara-bangsa yang sedang tertatih-tatih membangun tata kehidupan bersama yang lebih demokratis dan adil maupun sebagai umat beragama di dalam memaknai keberagamaannya. Setelah cukup lama terpinggirkan dan bahkan eksistensinya dinafikan, tuntutan masyarakat adat yang akhir-akhir ini terasa semakin nyaring itu menantang kita untuk merumuskan ulang identitas keindonesiaan dan pesan profetik yang dibawa oleh agama-agama.
Kesadaran itu mencuat sangat jelas dalam Seminar Agama-Agama (SAA) ke-33 yang diselenggarakan Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) 20—23 Maret 2018 di Parapat, Sumatera Utara, dan dihadiri lebih dari 50 orang utusan dari berbagai sinode gereja anggota PGI maupun di luar PGI, serta lembaga-lembaga terkait lainnya. Forum SAA sendiri merupakan kegiatan tahunan PGI. Mulanya SAA merupakan forum yang khusus ditujukan untuk mahasiswa teologi dan calon-calon pendeta yang secara khusus mendalami Islam. Tetapi dalam perkembangannya, SAA makin melibatkan khalayak yang lebih luas, termasuk agama-agama lain di luar Islam, dan membahas isu-isu kebangsaan yang dinilai krusial di mata PGI. Rekomendasi yang dilahirkan SAA nantinya akan menjadi salah satu butir penting bagi PGI di dalam merumuskan langkah-langkah strategis ke depan.
Menarik sekali untuk diamati, dalam SAA tahun ini PGI justru menaruh perhatian khusus pada pergulatan masyarakat adat—suatu tema yang diakui memiliki dimensi sangat kompleks dan beragam, karena menyentuh dan berkelindan dengan dimensi politik, sosial, ekonomi, sampai keagamaan. Di dalam seluruh dimensi itu, orang dapat menengarai proses-proses peminggiran dan kolonisasi masyarakat adat yang berlangsung sudah sejak lama. Karena itu, perjuangan masyarakat adat sesungguhnya merupakan perjuangan “de-kolonisasi” atau, memakai ungkapan Abdon Nababan, wakil ketua Dewan Nasional Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), perjuangan untuk merebut dan mengembalikan “otonomi asli komunitas adat”.
Penyingkiran Masyarakat Adat
Dalam makalahnya, Abdon memperlihatkan bagaimana proses-proses peminggiran dan kolonisasi itu berlangsung sejak “kompeni”, dengan sokongan pemerintah Belanda, mulai bercokol di Nusantara. Lewat berbagai taktik divide et impera, mereka berhasil menguasai kawasan-kawasan hutan jati dan mulai menjarah kekayaan masyarakat adat secara besar-besaran. Terbitnya UU Agraria tahun 1870 menjadi salah satu tonggak kolonisasi itu, karena UU tersebut berhasil menghilangkan hak-hak masyarakat adat melalui doktrin domeinverklaring-nya yang terkenal, yakni doktrin bahwa semua tanah hutan dan tanah yang tidak dapat dibuktikan kepemilikannya merupakan tanah milik negara.
ersoalan itulah yang ingin diterobos lewat UU No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, atau yang lebih dikenal sebagai UU Pokok Agraria (UUPA), yang disahkan Presiden Soekarno pada 24 September 1960. Di dalam UUPA, hak konstitusional masyarakat adat di bidang agraria diakomodasi lewat apa yang disebut “hak ulayat”, walau posisinya masih merupakan subordinat negara yang menguasai seluruh kekayaan alam, baik bumi, air maupun udara. Dalam pelaksanaannya, hak menguasai oleh negara ini “dapat dikuasakan kepada daerah-daerah Swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat” (Pasal 2 ay. [4] UUPA).
Marko Mahin (paling kiri) dan Abdon Nababan (kedua dari kanan).Namun, kita tahu, UUPA belum sempat dilaksanakan. Presiden Soekarno justru jatuh pasca pembantaian massal 1965. Rezim Orde Baru yang menggantikannya memang tidak mencabut UUPA, tetapi juga tidak melaksanakannya. Alih-alih menerapkan UUPA, demi “pembangunanisme” yang diusungnya, rezim Orba malah menghidupkan kembali doktrin domainverklaring UU Agraria Belanda (1870) dan menerbitkan serangkaian UU dan peraturan yang makin menyingkirkan masyarakat adat. Dengan penerapan doktrin tersebut, seperti disebut Abdon, “sekitar 72% wilayah adat atau hak ulayat berubah status menjadi hutan Negara. Kawasan hutan Negara inilah yang kemudian dibagi-bagi kepada kroni Soeharto, pejabat sekitar Istana dan perusahaan-perusahaan asing tertentu dengan menerapkan sistem konsesi sebagai instrumen privatisasi.”
Sejak saat itu, eksploitasi sumber-sumber daya alam secara besar-besaran berlangsung di seluruh pelosok Nusantara demi membangun dunia “modern” yang kita nikmati sekarang. Komunitas-komunitas adat tidak saja kehilangan hak atas tanah, yang menjadi landasan eksistensi mereka, tetapi juga semakin disingkirkan dari pergaulan. Mereka dikategorisasi dan didefinisikan sepihak entah sebagai “masyarakat primitif”, “masyarakat terasing”, “peladang berpindah”, “masyarakat tertinggal”, dan lainnya.
Begitu juga hak atas keyakinan yang selama ini menjadi nafas budaya-spiritual mereka ikut dinafikan negara. Demi menjaga stabilitas yang sangat dibutuhkan bagi “pembangunanisme”, rezim Orba secara masif melancarkan politik agama guna menjaga kerukunan antarumat beragama. Salah satu aspek penting dalam politik agama itu adalah penafian kepercayaan dan agama-agama leluhur Nusantara. Hal ini tercermin jelas dalam UU No. 1/PNPS/1965 yang mewariskan, sampai sekarang, apa yang saya sebut sebagai “politik pembedaan” antara enam agama besar (Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha dan Khonghucu) dengan kepercayaan atau agama-agama leluhur Nusantara. Sementara keenam agama besar itu mendapat bantuan, jaminan dan perlindungan Negara—dalam istilah Jeremy Menchik, keenam agama itu ialah “jalan-jalan menuju Tuhan yang direstui negara” (state-sanctioned pathways to God)—eksistensi agama-agama leluhur Nusantara justru tidak diakui.
alam Sidang Pleno tanggal 7 November 2017 lalu, Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan Putusan No. 97/PUU-XIV/2016 yang historis dan membawa angin segar bagi para penganut agama leluhur Nusantara. Dalam putusan itu, MK menilai bahwa perintah UU No. 23 tahun 2006 jo UU No. 24 tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan untuk mengosongkan kolom KTP dan dokumen kependudukan lain bagi penduduk yang “agamanya belum diakui sebagai agama” maupun kelompok kepercayaan, bertentangan dengan konstitusi. Itu berarti, kelompok-kelompok penghayat kepercayaan kini dapat mencantumkan nama kepercayaannya dalam dokumen kependudukan mereka.
Putusan MK itu juga bergaung dalam komunitas-komunitas adat. Ini terlihat, misalnya, dalam komunitas penganut agama Kaharingan di Kalimantan, sebagaimana dituturkan oleh Marko Mahin, aktivis dari Lembaga Studi Dayak-21. Selama ini, penganut agama leluhur Nusantara di Kalimantan ini secara tegas dan konsisten menolak dikategorikan negara ke dalam “aliran kepercayaan”. Dalam penelitiannya, Marko menuturkan bagaimana para penganut agama Kaharingan menegaskan, “Kami bukan aliran kepercayaan, secara de facto kami adalah agama.”
Karena itu, tutur Marko, para penganut agama Kaharingan secara aktif melakukan siasat kultural maupun sosial dan politik, agar tidak didefinisikan sebagai kelompok “belum beragama”. Dalam paparannya Marko memperlihatkan bagaimana para penganut agama Kaharingan melakukan rasionalisasi (sistematisasi, kanonisasi dan kodifikasi ajaran serta ritual), proses mimesis (upaya menyesuaikan dan memantaskan diri dengan ide-ide agama), apropiasi dan abrogasi terhadap definisi-definisi preyoratif dan diskriminatif yang sering dialamatkan pada mereka, menciptakan “ruang hidup dialogis” dengan kekuatan-kekuatan politik, seperti misalnya aktif di dalam pembentukan Provinsi Kalimantan Tengah, mengikuti proses pemilu, dll.
Namun putusan MK juga menimbulkan dilema serius bagi komunitas Kaharingan. Marko menengarai, putusan MK itu makin mempertajam perpecahan internal antara mereka yang sudah merasa puas berintegrasi ke dalam agama Hindu (sehingga disebut Hindu Kaharingan), dengan mereka yang tidak puas. Pascaputusan MK, misalnya, Majelis Agama Kaharingan Indonesia (MAKI) segera berkomunikasi dan mengirim surat kepada Presiden, Menteri Agama, maupun Mendikbud dan Ketua DPD RI. Dalam surat tertanggal 29 Januari 2018, MAKI secara tegas menyatakan telah melepaskan diri dari Dirjen Hindu RI. Begini bunyi surat yang dikutip Marko:
“Sehubungan dengan telah dikeluarkannya Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 97/PUU-XIV/2016 tanggal 07 November 2017, tentang pengakuan Agama dan Kepercayaan sesuai dengan UUD 1945, pasal 29, ayat (1) dan (2), maka semenjak saat itulah keberadaan kami sebagai pemeluk agama Kaharingan Kalimantan Tengah telah melepaskan diri secara resmi dari Dirjen Hindu RI.”
Surat itu memperlihatkan bagaimana putusan MK dimaknai sebagai dasar hukum pengakuan Kaharingan sebagai “agama” dan karenanya dapat menuntut jaminan perlindungan maupun bantuan negara sebagaimana dijanjikan konstitusi. Sementara itu, bagi komunitas-komunitas lain, putusan MK masih mengawang-awang dan tidak jelas bagaimana implementasi riilnya. Saya menengarai, ketidakjelasan ini merupakan akibat dari warisan “politik pembedaan” yang sudah lama membentuk langgam birokrasi kita, serta tidak adanya kemauan politik yang membuat nasib putusan tersebut menjadi “bola panas” di tahun politik (lihat Trisno S. Sutanto, “Ujian Konstitusional”, Kompas, 17 April 2018).
Para peserta SAA berkunjung ke komunitas Parmalim di Samosir.Pertobatan Gereja
Rangkaian persoalan di atas berhasil memancing diskusi cukup panas di kalangan peserta SAA yang sebagian besar adalah pendeta jemaat atau utusan Sinode gereja. Memang, bagi kebanyakan peserta, isu pergulatan masyarakat adat masih merupakan isu yang sama sekali baru. Gereja-gereja selama ini, seperti ditengarai oleh hasil penelitian Biro Litkom-PGI tentang “Gereja dan Pergulatan Masyarakat Adat” di lima wilayah (Sumatera Utara, Jawa Barat, Kalimantan Tengah, Sumba, dan Maluku) nyaris abai, atau setidaknya sangat lemah, dalam advokasi hak ulayat masyarakat adat.
Ada cukup banyak faktor yang menjadi penyebab. Di beberapa wilayah ada persoalan warisan historis yang merepotkan, karena sebagian tanah adat itu pernah dihibahkan kepada gereja namun belum didukung oleh dokumen hukum yang kuat, sehingga dapat menjadi titik konflik antara gereja dan masyarakat adat. Begitu juga, konflik internal gereja-gereja membuat mereka gamang di dalam menentukan sikap. Apalagi warisan teologi yang ada tidak menempatkan masyarakat adat sebagai pihak yang setara, tetapi lebih sebagai “objek misi”.
Rangkaian diskusi selama SAA ini agaknya telah membuka mata gereja-gereja mengenai kompleksitas persoalan masyarakat adat. Seperti sudah disebut di muka, tantangan persoalan itu menggugat seluruh cara keberadaan “kita”, termasuk gereja-gereja, guna merumuskan ulang kehadiran dan perannya. Karena itu para peserta SAA membuat rekomendasi yang ditujukan baik kepada negara maupun pada gereja-gereja. Kepada negara mereka mendesak agar pemerintah secara konsekuen segera melaksanakan putusan MK, mendorong percepatan pembahasan Rancangan Undang-Undang Masyarakat Hukum Adat (RUU MHA), maupun pembentukan badan khusus untuk menangani penyelesaian konflik agraria yang makin marak dewasa ini.
ekomendasi kepada gereja-gereja dan PGI lebih kompleks dan substansial. Di dalamnya dapat dirasakan dorongan agar gereja-gereja “bertobat” dan mengembangkan keterbukaan teologis yang memungkinkan mereka, bersama agama-agama lain, membangun dialog dan aksi nyata penguatan masyarakat adat. Para peserta juga mendesak Biro Litkom-PGI melaksanakan pelatihan etnografis bagi calon pendeta, sehingga mereka menjadi lebih sensitif terhadap kebutuhan masyarakat, termasuk di dalamnya masyarakat adat yang ada di sekitar gereja. Selain itu, gereja-gereja juga didorong untuk membuka forum-forum lintas budaya dan lintas agama guna menuliskan narasi-narasi bersama masyarakat adat sebagai proses penyembuhan “trauma” dan membangun relasi yang lebih setara.
Boleh jadi, SAA ini akan menjadi tonggak baru perjalanan gereja-gereja di tanah air. Semoga!