Membaca Manifesto Pelaku Teror di Selandia Baru
Suhadi Cholil – 26 Maret 2019
Penembakan terhadap jamaah Masjid Al-Noor dan Linwood Islamic Centre di Christchurch, Selandia Baru, pada 15 Maret lalu memakan korban tak kurang dari 50 meninggal dan puluhan terluka. Ekspresi solidaritas bermunculan di Selandia Baru, Australia, dan banyak tempat lain. Perdana Menteri Selandia Baru Jacinda Ardern memberikan teladan penting tentang bagaimana seharusnya pemimpin berempati pada warganya, apapun agamanya. Memulai sambutan di parlemen Selandia Baru dengan “assalamualaikum”, Ardern menyampaikan, “Mereka [yang tertembak dalam tragedi Christchurch] adalah warga Selandia Baru [New Zealanders]. Mereka adalah kita [They are us].” Koran-koran arus utama Selandia Baru turut menyampaikan pelbagai rupa solidaritas terhadap Muslim di halaman depan.
Namun demikian, di tengah solidaritas kemanusiaan yang amat mulia ini, selayaknya kita mengurai nalar apa yang mendasari perilaku keji tersebut. Tidak seperti banyak teroris lain, pelaku penembakan itu sadar, dan bahkan bangga, bahwa aksi yang direncanakannya merupakan tindakan terorisme. Di samping menyiarkan langsung aksinya di Facebook, ia mengunggah manifestonya di media sosial. Manifesto itu berjudul The Great Replacement: Toward A New Society (selanjutnya: GR-TNS). Sebagaimana sudah tampak dari judulnya (The Great Replacement: Penggantian Besar-Besaran), pelaku teror itu berpikiran bahwa kedatangan imigran dan tingginya angka kelahiran Muslim mengancam eksistensi ras kulit putih.
Le Grand Replacement
Nalar konspirasi mendasari pemahaman pelaku teror itu. Konsep the great replacement itu sendiri, yang bukan baru-baru ini muncul, berdasar pada ‘teori’ konspirasi yang khas dari kelompok sayap kanan (right-wing) masyarakat ‘Barat’ kulit putih.
Teks GR-TNS sendiri sejak awal dengan jelas memberikan identifikasi diri dan identifikasi terhadap masalah; bahwa dia merupakan orang kulit putih (lahir di Australia, dari keturunan berdarah Skotlandia, Irlandia dan Inggris) yang berpikir sedang membela ras kulit putih dari ancaman yang ia sebut sebagai “genosida kulit putih” (“white genocide”).
Tampaknya pandangan GR pelaku terinspirasi dari pikiran penulis Perancis, Renaud Camus, yang memopulerkan konsep Le Grand Replacement. Meski Camus memiliki pengaruh kecil dalam politik Perancis, konsepnya tentang adanya konspirasi di balik fenomena imigrasi di Perancis dikenal luas. Pada 2014, Camus pernah dibawa ke pengadilan lantaran pernyataannya yang menyebut Muslim sebagai ‘hooligans’ (para pengacau) yang memiliki kekuatan bersenjata yang berniat menaklukkan Perancis.
Ide dasar Le Grand Replacement ada pada keyakinan bahwa saat ini sedang terjadi konspirasi mengubah negara-negara berpenduduk Katolik di Perancis atau berpenduduk Kristen di Eropa pada galibnya. Konspirasi tersebut dipercayai telah secara sistematis dilakukan orang-orang non-Eropa, khususnya orang-orang dari Timur Tengah, Afrika Utara, dan Afrika Sub-Sahara melalui proses migrasi dan pertumbuhan penduduk. Imigrasi dan pertumbuhan penduduk ini dipercayai akan memusnahkan kultur dan peradaban Eropa.
Pengikut nalar konspirasi ini juga memercayai bahwa yang tersalah dalam hal ini bukan hanya para imigran yang berduyun-duyun datang ke Eropa, melainkan juga para pemimpin PBB serta elite Uni Eropa di Brussel dan para sekutu mereka di negara masing-masing yang mengedepankan kebijakan ramah terhadap para imigran. Jadi para pemercaya konsep GR melihat sosok musuh yang menjadi akar masalah berasal dari dua aras sekaligus.
Sebelum bergema kian kuat belakangan ini, ide tentang Le Grand Replacement sudah terdengar samar-samar dalam polemik perpolitikan Eropa awal 1970-an menanggapi gelombang awal migrasi orang-orang dari Timur Tengah dan Afrika ke Eropa. Novel besutan penulis Perancis, Jean Raspail, yang berjudul Le Camp des Saints (Kamp Orang-orang Suci) turut mendengungkan potensi runtuhnya budaya Barat karena gelombang pasang imigrasi penduduk Dunia Ketiga.
Identitas Rasial
Di bagian belakang manifesto setebal 74 halaman tersebut, penulis GR-TNS menyodorkan satu sub-bab yang dia beri judul panjang: “Jika siapapun bisa menjadi seorang Jerman, Inggris, atau Perancis, maka menjadi Eropa [ke-Eropa-an] akan sungguh kehilangan makna” (When anyone can be a German, a Brit, a Frenchmen, then being European has truly lost all meaning). Baginya, identitas bangsa-bangsa Eropa seharusnya murni dan tanah mereka seharusnya tetap dimiliki dan dihuni bangsa-bangsa Eropa sendiri.
Sebenarnya, sampai di sini logika tersebut sangat mudah patah, apalagi bila melihat sejarah Australia maupun Selandia Baru sendiri. Bangsa-bangsa Eropa di dua negara ini merupakan para pendatang sejak tiga abad lalu, yang kemudian mendesak warga etnik Aborigin, Maori, dan yang lain yang sudah jauh lama menghuninya.
Dalam kerangka nalar rasis itu, penulis manifesto GR-TNS memprotes kebijakan asimilasi. Dalam pikirannya, jika kebijakan liberal yang membuka pintu lebar terhadap para imigran dipertahankan, ras Eropa akan kalah. Salah satu faktor utamanya adalah kemalasan bangsa Eropa untuk memiliki anak atau memproduksi generasi baru. Masalah rendahnya natalitas dan fertilitas ‘bangsa Eropa’ ini banyak diulang dalam teks GR-TNS.
Penulis manifesto GR-TNS berasumsi bahwa para imigran tidak akan mau meninggalkan budaya mereka untuk berintegrasi ke dalam kultur orang-orang Eropa. Karena itu, baginya, kebijakan asimilasi imigran (di sebagian negara disebut naturalisasi) ke dalam kultur Eropa bakal memusnahkan peradaban Eropa di masa depan.
Meskipun di sebagian tempat teks GR-TNS sangat mudah dipatahkan oleh akal sehat, teks ini jelas berbahaya jika dibaca oleh sebagian generasi muda yang tidak mau berpikir kritis. Si penulis menyajikan fakta-fakta sederhana dalam kehidupan sehari-hari. Keyakinan esensialisnya terhadap identitas etnik dan ras dapat menggelincirkan pembaca sebagaimana teks ajakan jihad untuk berperang melawan Barat di kalangan Muslim berhaluan esktrem atau seperti propaganda untuk menghanguskan etnik lain di kalangan ekstremis Hindu di India dan ekstremis Buddhis di Myanmar.
Kalangan esensialis memandang identitas ras, etnik, agama memiliki definisi yang beku dan harus murni. Ketidakmurniannya merupakan ancaman eksitensial. Dan pesan utama manifesto tersebut sangat jelas, bahwa identitas, budaya, dan tanah yang sekarang dihuni oleh bangsa Eropa harus dibersihkan dari pencemaran yang dibawa para pendatang.
Trajektori Polemik
Penulis GR-TNS menyatakan bahwa dia sudah mempersiapkan rencana aksinya sejak dua tahun sebelumnya. Pada mulanya dia tak hendak memilih jalur kekerasan. Salah satu hal utama yang kemudian mendorong dia mengambil keputusan tersebut ialah, saat ia beriwisata ke sejumlah negara di Eropa Barat, terjadi serangan teror di Stockholm, ibukota Swedia, pada April 2017.
Pada aksi teror tersebut seorang imigran asal Uzbekistan yang mengaku simpatisan ISIS membajak truk dan kemudian menabrakkannya ke orang-orang di ruas jalan sebuah pusat perbelanjaan kota. Penulis GR-TNS menulis satu paragraf agak panjang mengenai sosok Ebba Akerlund, bocah perempuan 11 tahun, yang akhirnya meninggal sebagai salah satu korban aksi terorisme di Stockholm itu. Di akhir paragraf yang menceritakan Ebba ini, ia menulis, “Saya tidak bisa mengabaikan lagi serangan-serangan seperti itu. Mereka menyerang masyarakatku, menyerang kebudayaanku, menyerang iman dan menyerang jiwaku”.
Keputusannya untuk merencanakan aksi kekerasan balasan semakin bulat, sebagaimana dia tulis. Kebetulan tidak lama setelah itu juga terdapat perhelatan demokrasi di Perancis. Sosok kandidat presiden yang dia idolakan, Marine Le Pen, yang dia harapkan berani mendeportasi para imigran ilegal, kalah bersaing dengan kandidat dari partai tengah, Emmanuel Macron, seorang globalis yang bersimpati terhadap para imigran.
Manifesto tersebut, pernyataan tertulis, unggahan video, dan ceramah para pembela ideologi ultra-nasionalisme di Barat berbagi cara pandang khas dengan hal-hal serupa dari para ‘jihadis’ di dunia Muslim maupun para etno-nasionalis di India dan Myanmar: kuatnya reproduksi diskursus bahwa masyarakat, budaya, agama, serta ekonomi-politik kaumnya sedang terancam.
Setelah peristiwa teror di Selandia Baru ini, polemik tentang kebijakan bagi imigran akan mengemuka kembali dalam wacana politik khususnya di Barat. Pertanyaannya berkisar pada dua isu klasik yang tak mudah didamaikan: Apakah gelombang imigrasi harus direstriksi guna meredam perasaan keterancaman itu? Atau justru kampanye multikulturalisme malah harus semakin digalakkan guna membiasakan masyarakat akan keragaman?
Apapun jawaban dari pertanyaan itu, yang jelas tragedi di Selandia Baru mengajarkan bahwa cara pandang yang berupaya membekukan definisi tentang ras yang ‘murni’, warga yang ‘asli’, atau penduduk ‘pribumi’ mengandung potensi yang dapat mendorong orang melakukan aksi teror dan kekerasan.
___________________
Penulis, Suhadi Cholil, adalah dosen Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.
Foto header: Aksi solidaritas terhadap korban tragedi Christchurch di University of Western Australia, 19 Maret 2019. Foto oleh Elis Zuliati Anis.